Bab 4. Om Piet.

Tapi sekarang dia muncul setelah sepuluh tahun berlalu. Mempertanyakan kehidupanku kembali.

Mencari keberadaanku yang telah lama dia abaikan. Mencurigai siapa gadis kecil yang bersamaku.

 Entah apa yang melatari pikirannya untuk mencariku setelah apa yang dia lakukan. Sesal? Setelah sepuluh tahun? Duhai, apa yang telah terjadi padamu Petra dan juga keluargamu selama sepuluh tahun ini. Hingga membuatmu datang mencari-cariku.

"Kayla, maafkan aku," desah Petra lirih.

"Maaf?" ucapku. Ingin sekali aku terbahak keras mendengar kata itu. Tapi aku urungkan karena akan menarik perhatian para tetangga dan tentunya, Bella juga. Semudah itukah berucap setelah semua yang terjadi. Tidakkah kata-kata itu teramat terlambat untuk disampaikan.

Kemana dia sepuluh tahun ini ketika muncul tiba- tiba dan hanya mengucap sepatah kata itu?

Dikira apa aku goblok dan akan menerimanya begitu saja.

"Pergilah, jangan pernah datang lagi." Aku mengusir Petra dan berharap dia segera pergi. Malas rasanya untuk meladeni rasa ingin tahunya. Memuaskan rasa penasarannya.

"Jadi dia benar anakku, Kay?" Suara itu menghentikan langkahku yang sudah naik ke teras. Apa katanya? Berani sekali dia melontarkan tanya itu.

"Dia bukan siapa-siapamu, Petra!" Aku berbalik dengan napas memburu. Emosiku sudah di ubun- ubun. Petra benar-benar lancang mengucap kata itu. Aku mendengus angkuh.

"Tapi dia darah dagingku 'kan? Raut wajahnya sangat mirip denganku."

"Bukankah aku ini adalah perempuan tidak sempurna, Bang. Bagaimana bisa aku melahirkan darah dagingmu. Sementara aku telah kamu tinggalkan sepuluh tahun yang lalu. Ngaco, kamu." Aku bergegas mask ke rumah. Tidak ingin Bella curiga dan mendengar percakapan kami.

Petra mengetuk pintu berkali-kali agar aku membukakan pintu untuk bicara. Dasar lelaki pecundang, sungguh aku muak melihatnya. Aku bertahan tidak mau membuka pintu. Hingga suasana jadi senyap. Aku mengintip lewat celah gorden, masih sempat kulihat punggung Petra, yang melangkah gontai dibalik pintu pagar.

Aku menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Untuk saat ini mungkin aku bisa mengusir Petra. Tapi bagaimana untuk hari besok dan selanjutnya. Aku ragu kalau Petra akan berhenti sampai disini. Ini masih permulaan, dia tidak akan berhenti sampai apa yang dia mau bisa dia dapatkan.

Namun, aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja. Bila nantinya Petra akan menuntutku tentang Bella. Aju sudah siap dengan segala kemungkinan. Aku bukan lagi Kayla, yang dulu selalu menurut dan mengalah.

"Mama, Mama kenapa?" tiba-tiba saja Bella sudah berdiri di depanku. Menatapku dengan entahlah apa yang tengah berkecamuk di hatinya saat ini.

Kubuka kedua mataku, dan berusaha menahan air mata yang menggenang agar tidak luruh.

"Mama kenapa? Siapa om tadi, Ma. Apa om itu orang jahat?" Bella membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya. Mengusap sudut mataku yang berair.

"Ah, Mama gak pa-pa sayang. Tadi mata Mama kena debu," kukucek mataku meyakinkan, Bella. Dari sorot matanya, meragukan ucapanku.

"Omnya sudah pergi, Ma?" Aku mengangguk, " dia siapa, Ma? Kenapa datang kemari?" selidiknya menatapku polos. Ak melengos menghindari tatapannya itu.

"Dia teman papa." Aku berbohong.

"Hah! Om itu teman, Papa? Yah, Mama. Kenapa Mama gak bilang dari tadi. Bella 'kan mau tanya-tanya soal Papa." Aku kaget mendengar ucapan Bella yang agak kecewa. Ekspresi yang dia tunjukkan diluar dugaanku. Apakah Bella merasakan sesuatu saat keduanya bertemu. Meski sekilas, mungkinkah mereka merasa terhubung satu sama lain.

"Bella sudah lapar, Nak? Ayo, kita makan!" Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. Untunglah Bella tidak protes. Bahkan sepanjang kami makan dia tidak bertanya apa-apa lagi. Entah, karena dia sudah lapar sekali atau memang tidak ingin membuatku sedih.

Bella sejak kecil memang selalu patuh dan penurut. Bahkan sikapnya lebih dewasa dari anak seumurannya. Perasaannya sangat peka, terutama bila melihatku sedih atau saat ada masalah. Dia tidak suka memaksakan keinginannya. Misal saat menginginkan sesuatu, dia akan bersabar menunggunya. Disaat keuanganku seret.

Selalu berusaha menghiburku dengan tingkahnya disaat aku kehilangan mood. Terkadang aku heran sebagai ibunya. Diusianya yang masih sembilan tahun, dia bisa bersikap lebih dewasa.

***

Aku tengah asyik menggunting kain di atas meja. Ada pelanggan yang memintaku menyelesaikan jahitan karena keburu waktu. Saking fokus pada pekerjaan aku lupa untuk menjemput Bella di sekolah. Sebenarnya Bella bisa pulang sendir dengan naik becak. Atau pulang bareng bersama teman sekolahnya naik angkot.

Hanya sesekali aku mengijinkannya disaat waktuku mepet karena pekerjaan. Selebihnya akulah yang selalu mengantar jemputnya sekolah.

Deringan telepon menghentakkan keasyikanku. Aku langsung tersadar belum menjemput Bella saat melihat jarum jam di dinding. Segera kubuka ponsel dan menyahut panggilan itu. Panggilan dari nomor yang tidak kukenal.

"Mama, ini Bella. Kenapa Mama telat jemput Bella." terdengar ucapan panik diseberang. Ternyata Bella yang menelpon, entah ponsel siapa yang dia pinjam untuk menghubungiku.

"Mama minta maaf sayang. Mama lupa karena sibuk kerja. Tunggu Mama, ya. Jangan kemana- mana." Giliran aku yang cemas. Pastinya, sekolah sudah sepi sampai Bella panik dan menelponku. Aku telat menjemputnya lebih dari satu jam.

Astaga, bisa-bisa aku lupa. Padahal Bella pulang sekolah sekitaran jam sebelas lewat. Sementara ini sudah hampir jam satu. Bella masih duduk di kelas tiga. Jarak kesekolahnya memakan waktu lima belas menit. Kalau jalanan tidak macet.

Buru-buru aku mengunci pintu rumah, membiarkan kain yang masih berserak di lantai.

Saat aku tiba di sekolah, Bella tengah berdiri sendirian di pintu gerbang sekolah. Kepalanya menekuk, memperhatikan kakinya.

"Bella," panggilku. Bella mendongak dan turun dari bangku semen tempatnya duduk.

"Mama kenapa lama?" air mata telah menggenang dipelupuk matanya. Membuat hatiku dipilin rasa bersalah.

"Maafkan Mama sayang, telah membuatmu panik ." Kurengkuh tubuhnya dalam pelukan. Aku mengedarkan pandanganku kesekitar. Pintu gerbang sudah terkunci. Beberapa anak memang masih ada yang bermain sambil menunggu jemputan orang tua mereka.

"Bella tadi minjam ponsel siapa saat menghubungi Mama," ucapku. Karena kupikir tadi dia menelpon dari ponsel gurunya.

"Tadi ada Om Piet. Dia yang minjamkan ponsel untuk Bella."

"Siapa Om Piet?" tanyaku cemas.

"Tadi dia disini, Ma. Menemani Bella. Tapi udah pergi katanya mau beli rokok," ucap Bella santai tapi mampu membuatku cemas berlebihan.

Karena hingga kami mau pulang, aku sengaja menunggu sebentar agar bisa kenal siapa om yang disebut Bella. Sekalian mengucap terima kasih karena telah menemaninya sebelum aku datang.

Namun sosok Om Piet yang di sebut Bella tidak muncul. Aku jadi begitu penasaran sekaligus cemas.

"Bella, Mama kan sudah bilang jangan ngomong dengan orang asing yang belum di kenal. Ntar dia berbuat jahat gimana?" ucapku tidak bisa menyembunyikan kecemasanku.

"Om Piet baik kok, Ma. Bella juga dikasi boneka tadi." Bella membuka tasnya dan memperlihatkan sebuah boneka panda mungil. ***

Terpopuler

Comments

Cidaha (Ig @Dwie.author)

Cidaha (Ig @Dwie.author)

Duh, emg ribet klo berurusan dg anak. Jd serba salah. Mau diceritain masalah ortunya salah, diam aja pun salah. 😓

2024-03-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!