Bab 12. Kecemburuan Ipar dan Ibu Mertua.

"Bela terus istrimu itu, Pet. Kamu gak tau seperti apa kelakuannya dibelakang kamu." Aku sangat terkejut ketika mendengar ucapan Ibu mertuaku ketika tanpa sengaja mendengar mereka membicarakanku di kamar Ibu.

Aku saat itu baru pulang belanja membeli kebutuhan sehari- hari kami. Langkahku terhenti di depan pintu kamar Ibu karenan suaranya cukup keras.

"Sebenarnya ada masalah apa Ibu dan Rena sama Kayla, Bu?" tanya suamiku dengan lembut. Aku juga berusaha mempertajam pendengaranku kudekatkan telingaku hingga merapat di daun pintu.

"Kamu terlalu memanjakan, Kay. Sejak kamu menikah dengannya kamu tidak peduli lagi pada Ibu dan Rena." protes Ibu mertua.

"Maksud Ibu? Petra gak merasa berubah kok, Bu. Petra tetap sayang sama Ibu dan Rena. Kalau waktu Petra lebih banyak tersita pada Kay, itu 'kan karena dia istri aku, Bu." ucap suamiku tetap lembut.

"Iya, tapi kamu sudah berubah. Kamu tidak pernah lagi membiayai hidup kami." Sentak Ibu membuat keningku mengernyit.

"Lho, kita 'kan tinggal satu rumah, Bu. Petra juga masih tetap memberi Ibu uang jajan. Kalau Ibu butuh tambahan 'kan bisa minta ke menantu Ibu. Semua kebutuhan Ibu dan Rena juga kami yang tanggung. Kurang apa lagi, Bu?" Aku mendengar helaan napas Petra yang terasa berat.

"Tapi, jelas-jelas kamu telah berubah Petra. Kamu tidak seperti dulu lagi yang penuh perhatian pada Ibu dan adikmu Rena!" suara Ibu kembali meninggi.

"Bu, jangan keras-keras. Ntar Kayla pulang dan dengar ucapan Ibu tidak enak, Bu."

"Biar saja dia dengar, malah bagus. Biar dia tau diri dan ngaca."

"Astaga, Ibu. Kayla itu istri aku, menantu Ibu. Ibu harus jaga perasaannya, Bu. Aku sayang Kayla, sama seperti kasih sayang aku sama Ibu dan Rena."

"Tuh 'kan! Kamu ngaku juga. Mestinya kamu lebih sayang Ibu dan Rena. Kayla itu orang lain yang kebetulan jadi istri dan menantu Ibu. Jelas tidak sama. Dari darah saja sudah berbeda, tapi kamu samakan kasih sayang kamu sama Ibu dengan Kayla. Ingat, surga mu itu terletak dikaki Ibumu ini. Ibu yang telah susah payah mengasuh dan membesarkan kamu. Membuat kamu hingga sukses seperti ini. Lantas kamu tega sama Ibu. Mau jadi anak durhaka kamu ya." Aku terlonjak saat mendengar ucapan Ibu mertuaku. Seperti beribu jarum tertancap di jantung dan hatiku sekaligus.

Aku tidak menduga kata-kata itu meluncur dari mulut Ibu. Mertua yang selalu aku hormati selama ini. Yang kuanggap sebagai Ibuku sendiri. Karena aku telah kehilangan beliau saat aku masih kecil.

Bagaimana mungkin Ibu tega seperti itu, menganggap aku sebagai orang lain di rumah ini. Semua rasa hormatku padanya serta pengabdianku sebagai seorang menantu tidak dianggap. Aku tidak merasa sebagai istri atau menantu yang baik. Tapi selama ini, aku berusaha berbuat yang terbaik buat keluarga ini.

Kurang apa pengorbananku setelah menikah aku berhenti bekerja, padahal aku punya karir yang cukup bagus di sebuah perusahaan bonafide di kotaku. Mengikuti suamiku dan mengabdi padanya. Meninggalkan ayah sendirian di rumah bersama pengasuhku.

Aku tidak keberatan setiap kali Petra membagi gajinya untuk Ibu dan Rena. Toh, aku masih punya banyak uang simpanan, tanpa sepegetahuan mereka. Uang hasil kerjaku semasih lajang. Ayahku juga tidak bergantung padaku. Beliau punya bisnis yang masih bisa menunjang kehidupan beliau bahkan masih mengirimi aku uang meski sudah menikah.

"Sebenarnya apa yang Ibu inginkan. Apa Ibu keberatan kami tinggal bersama Ibu?"

"Ibu ingin, Ibulah yang pegang keuangan dirumah ini. Seperti dulu, sebelum kamu menikah."

Deg!

"Astaga Ibu, bagaimana Ibu bisa punya keinginan seperti itu. Kayla adalah istri aku, Bu.Apa Ibu tidak perduli akan perasaannya, Bu?" Petra masih berusaha menyadarkan Ibu atas jalan pikiran ibu.

"Lantas, apa kamu peduli perasaan Ibumu ini. Ibumu yang selama ini berjuang untuk kamu dan adikmu. Kamu tidak peduli perjuangan Ibu yang membesarkan kalian sendirian. Setelah Bapakmu meninggal, Ibu berjuang mati-matian membesarkan kamu dan Rena." Terdengar isakan Ibu. Aku yakin Petra tengah memeluk Ibu, mencoba menenangkannya. Petra tidak akan tega melihat air mata Ibunya.

"Baiklah, Bu. Aku akan bicarakan ini sama Kayla. Sudah, Ibu jangan menangis lagi." Aku buru-buru berlari keluar tanpa suara. Seolah baru datang, aku mengucap salam. Berusaha bersikap wajar seolah aku tidak mendengar apa-apa. Petra segera keluar dari kamar ibu menyambutku.

"Eh, kamu sudah pulang sayang?" sambutnya dengan senyum manis yang menurutku terlalu dipaksakan.

"Tumben cepat pulang, Bang?" tanyaku karena ini masih jam kantor.

"Iya, Abang menjemput berkas yang ketinggalan." ucapnya meraih belanjaanku. Bersamaan dengan Ibu keluar kamar.

"Eh, Kamu sudah pulang, Kay?" sapa beliau dengan senyum penuh kemunafikan itu. Selama ini aku telah terkecoh dengan senyum dan ucapan manisnya yang kukira tulus adanya.

"Iya, Bu. Kay agak telat karena macet." Aku menyusul suamiku ke dapur yang membawa belanjaanku.

"Abang sudah makan siang? Makan dulu sebelum balik ke kantor," ucapku.

"Iya, Dek. Biar abang ambil sendiri, kamu 'kan masih capek sepulang belanja."

"Gak apa-apa kok, Bang. Bentar ya, aku cuci tangan dulu." Aku segera menuju kamar mandi mencuci kaki dan tanganku. Saat aku kembali, kulihat Ibu telah menyiapkan makanan suamiku.

"Eh, Ibu ...." ucapku melongo. Menatap Ibu dan Petra bergantian.

"Tidak apa-apa, Kay. Ayo makan." ucap Ibu seraya menyendok nasi serta lauknya buat suamiku. Aku melihat piring diatas meja cuma dua, kenapa ibu tidak sekalian mengambil tiga. Bukankah kami bertiga mau sama-sama makan.

"Kay, ngapain berdiri saja di situ?" tegur Ibu menyadarkaku.

"Eh, iya Bu." buru- buru kuambil piring dan duduk disisi Petra. Aku mengisi piringku, agak canggung karena teringat ucapan Ibu barusan di kamar. Selain menginginkan keuangan keluarga dipegang ibu. Apakah Ibu juga mau mengambil alih tugasku sebagai seorang istri meladeni suamiku?

"Kalo makan jangan sambil melamun, sayang." Suara Petra mengagetkanku. Dia mengisi piringku dengan lauk pauk. Aku tersenyum manis dan mengucapkan terima kasih. Masih sempat kulirik wajah ibu yang berubah karena perlakuan Petra. " Ayo dimakan, sayang."

Sungguh, tidak mudah bagiku menelan makanan itu. Nasi yang kutelan seolah serpihan beling melintasi leherku. Aku seperti terkcekik. Beberapa kali aku meneguk air putih untuk melancarkan makanan lewat tenggorokanku. Membuat Petra bertanya heran.

"Kamu kenapa, Dek? Sariawan ya?"

"Egh, iya Bang. Susah kali aku menelan, " ucapku.

"Masih sariawan," sindir Ibu, tidak suka perlakuan suamiku yang begitu perhatian padaku. Mengelus leherku dan mengusap punggungku.

Ibu batuk-batuk mungkin mau cari perhatian Petra juga.

"Aduh, Ibu. Hati-hati makannya. Ibu keselek, ya?" Petra mengambilkan air putih didepan ibu, " ini Bu, diminum dulu." Aku terpana melihat senyum ibu yang penuh kemenangan. Kalau saja aku tidak mendengar percakapan mereka di kamar tadi, tentu aku tidak tau makna senyum itu. ***

"

Terpopuler

Comments

Erni Kusumawati

Erni Kusumawati

beginilah kalo punya mertua yg berfikiran kalo dia berjuang demi anaknya karena pamrih.. semua perjuangan di ungkit.. pdhl perjuangan orang tua adalah kewajiban krn diberikan amanah titipan anak..

2024-04-27

1

Yutaka Kansaki

Yutaka Kansaki

ya Allah...masih ada mertua yg spt itu...
Astaghfirullah hal adzim... og aq jdi takut klau punya mertua spt itu...


next kak..aq tunggu up selanjutnya 👍👍 semangat 💪..🌹🌹🌹🌹🌹🌹

2024-03-15

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!