Ungkapan Rasa

Ngelamun aja loe." Dengan menepuk pundak Ranis, Citra mencoba mengagetkan sahabatnya itu. Ranis benar-benar tidak konsen sampai-sampai jam bel istirahat telah nyaring di telinga dia hanya bengong saja.

"Mikirin apa sih loe?" Citra sungguh penasaran apa yang membuat Ranis tidak fokus karena Citra sendiri tau bagaimana seriusnya Ranis dalam belajar. " Pasti kemaren gak sesuai ekspetasi ya, pinging ketemu camer." Citra menggoda dengan menyenggol lengan Ranis.

" Apaan sih." Ranis menoleh sebal." Jangankan ketemu, gue kemaren malah ngobrol banyak sama camer gue." Ranis mulai mengembangkan senyumnya, mengingat kejadian kemaren.

" Terus ngapain loe bengong."

Ranis menarik nafas, mulai cemberut dan menatap Citra memelas." Ada apa sih?" Citra mengerutkan alisnya.

" Kantin yok." Belum sempat mendapat jawaban dari Ranis, Dimas yang tiba-tiba menghampiri mereka bersama dengan Yoga sudah berdiri disebelah mereka.

" Boleh, gue juga laper. Ayo Nis." Giliran Citra yang berdiri dan menunggu Ranis juga ikut berdiri.

Yoga, Dimas dan Citra saling melempar pandang seakan bertanya kenapa Ranis, sementara citra hanya mengedikan bahunya.

" Laper sih gue, tapi gue ndak nafsu makan." Ranis mukai aksi lemasnya kembali, tanpa persetujuan Citra menarik tangan Ranis agar dia berdiri. Terpaksa Ranis menuruti Citra agar tangannya tidak terlalu sakit akibat tarikan.

Mereka ber empat akhirnya melangkahkan kaki ke kantin, tanpa ada obrolan yang bearti haya cuap-cuap saja namun Ranis terlihat enggan.

"Ran.Ran. . ." Sambil berbisik Citra menoel lengan Ranis yang dirangkulnya. Otomatis Ranis menoleh melihat Citra. Dengan gerakan mata saja Citra memberi isyarat untuk Ranis melihat kearah depan. Ranis langsung gugup melihat sosok Vian didepannya, berjalan kearahnya bersama dengan Andre sang sahabat.

" Jangan lupa, nanti aku tunggu." Biarpun hanya berpapasan namun Vian sempat mengingatkan Ranis akan pertemuan mereka nanti.

Ranis hanya diam menundukkan kepala melanjutkan langkahnya dan tidak menjawab apapun. Vian tidak peduli yang penting adalah nanti sepulang sekolah titik.

" Mau kemana loe nanti?" Andre mencoba mengintrogasi.

" Kepo!"

" Awal loe suatu saat minta bantuan gue soal asmara." Ancam Andre tidak sungguh-sungguh.

" Gue ngajak Ranis ngobrol." Jawab Vian tanpa disangka Andre, Dia pikir Vian tidak akan mempan di Ancam seperti itu.

" Wah. . . Salut gue sama Ranis." Andre menepuk-nepuk bahu sahabatnya.

Sementara Ranis dan kawan - kawan baru saja menginjakkan kakinya di area kantin dan menempati salah satu meja yang kosong. Yoga kali ini yang bertugas memesan makanan. "Emang ada janji sama kak Vian?" Tanya Citra penasaran.

" Dia bilang mau ngomong sama gue" Ranis melirik Citra." Gue takut." Ucapnya kembali.

" Gue rasa loe gak perlu takut, menurut gue kak Vian itu suka sama loe dan nggak mungkin kak Vian jahat sama loe."

" Gue setuju" Timpal Dimas yang sedari tadi menyimak obrolan kedua gadis itu.

" Gue juga" Yoga pun tak mau kalah, dia baru mendudukkan dirinya disamping Dimas ikut membenarkan, walaupun dia sendrii tidak tau apa yang mereka bicarakan.

" Kalian ini gimana? Nggak mungkin lah seorang kak Vian suka sama gue yang hanya remahan rempeyek, Yang ada gue takut bakal jadi mainan sama kak Vian." Sangkal Ranis dengan malas.

" Namanya juga cinta tidak pandang rempeyek Ran, Tai kucing aja rasa coklat" Kini Dimas yang bicara. " Kalo nggak mau sama kak Vian, mending sama gue aja." Lanjutnya bercanda.

" Enak aja, gue udah punya calon imam tau!"

" Tepatnya cinta bertepuk sebelah tangan." Ralat Citra. Ranis pun cemberut mendengar ucapan Citra.

***

Ranis bergegas keluar kelas setelah bel pelajaran berakhir sekitar pukul dua siang, dengan cepat dia meninggalkan Citra menuju parkiran. Berharap jika Vian masih belum ada disana dan dia bisa kabur. Namun siapa sangka Vian sudah duduk manis di bawah pohon rindang yang telah disediakan tempat duduk untuk para siswa.

Ranis melemaskan bahunya dan berjalan mendekat lantaran tatapan Vian yang menatapnya tajam sejak melihat gadis itu sudah ada area parkir.

" Hay kak." Sapanya, tanpa sengaja Ranis melihat pergelangan tangan kanan Vian yang menggunakan gelang darinya kapan hari itu. Ranis sedikit tersenyum menarik sudut bibirnya.

" Ayok" Vian bangkit dari duduk.

" Tunggu kak" Tahan Ranis, " Mau kemana?" Tanyanya.

" Mau cari tempat yang enak buat ngobrol." Jawab Vian jujur.

" Disini aja." Tolak Ranis.

" Yakin?" Ranis melihat sekeliling dan melihat beberapa siswa melihat kearah mereka. " Yaudah." Akhirnya Ranis setuju karena dia tidak mau jadi pusat perhatian.

Dengan mengendari motor mereka masing-masing dimana si Vian mengawal Ranis dari belakang sambil tersenyum memandang pungung gadis pujaannya. Sekitar lima belas menit akhirnya mereka di sebuah cafe kecil namun dengan suasana yang nyaman, tidak banyak pengunjung lantaran hari ini adalah hari kerja.

"Silahkan" Seorang waiters mengantarakan pesanan mereka setelah itu pergi meninggalkan kecanggungan diantara mereka.

" Kak Vian mau ngomong apa?" Kembali Ranis bertanya untuk memecah keheningan, mereka kini duduk berhadapan dengan meja bundar kecil sebagai penengah.

" Emm. . ." Via nampak berfikir bagaimana enaknya memulai obrolan ini. " Ranis sudah punya pacar?" Akhirnya Vian mengutarakan isi pikirannya, yang semalam membuatnya tidak bisa tenang.

"Enggak, aku ndak pernah pacaran kak," Jawabnya enteng

" Trus. .  Ammar?" Tanyanya Ragu.

Ranis diam mendengar Vian menyebut nama Ammar, akhirnya dia menarik kesimpulan jika kemaren dia benar-benar mendengar pembicaraannya.

" Insha allah, kalau Allah mengijinkan dia yang aku harapkan jadi calon imam ku kak, aku sih berharapnya gitu." Bagaikan di timpa barbel hati Vian merasa hancur mendengarnya.

" Kak. . Kak Vian." Ranis melambaikan tangannya didepan wajah Vian lantaran pria itu langsung diam tidak ada tanggapan.

" Apa dia juga mencintai kamu ?" Suara Vian lirih menahan sakit hatinya. " Hmm?" Vian menuntut jawaban lantaran Ranis belum menjawab.

Ranis tersenyum sebelum menjawab." Dia tidak tau jika aku menyukainya kak." Jawab Ranis. Ranis tak sungkan jujur kepada Vian, lantaran Vian tidak mengenal Ammar. Jadi aman menurutnya.

Ranis hanya akan bungkam jika lawan bicaranya mengenal Ammar, hanya kepada Citra, Ranis berani bicara selebihnya dia akan bungkam bahkan kepada sang Bunda.

" Ran." Panggil Vian dengan lembut, menarik nafas sejenak sebelum berbicara. Ranis menunggu apa yang akan diucapkan Vian kepadanya. " Aku tidak tau kenapa hatiku rasanya sakit mendengar penjelasanmu barusan. Mungkin kamu tidak akan percaya dengan apa yang akan aku katakan, aku pun sendiri begitu. Aku tidak percaya mempunyai perasaan seperti ini kepadamu." Vian menjeda ucapannya sejenak.

" Entah bagaimana bisa hatiku tertarik kepadamu Ran, pikiranku selalu dipenuhi olehmu sejak pertama aku melihatmu. Rasa ini tidak salah Ran, seperti perasaanmu kepada orang yang bernama Ammar. Aku mencintai mu Ran."

Mata Ranis melotot hingga akan keluar mendengar ucapan Vian yang seperti menembak dia. " Aku tidak meminta mu membalas perasaanku sekarang, namun ijinkan aku mengenali perasaanku iki Ran, Jangan pernah menghindariku mulai dari sekarang."

" Kak. . .kak Vian bicara apa?" Dengan terbata Ranis mencoba memahami. Dia masih Syok dengan pengakuan yang baru saja dia dengar, begini kah rasanya?

" Seperti yang kamu dengar, aku mencintaimu."

* TBC*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!