Bab 18

Aku dan dokter menyebalkan itu berdiri bersebelahan, saling bertatapan. Kulit wajahnya begitu bersih dan mulus, tak ada cacat sedikit pun. Wajah tampannya memang sulit untuk diabaikan.

"Mama kamu udah stabil, untung tadi art kamu langsung sigap menemui suster," ujar Dokter Arka sambil tersenyum.

Aku menghela napas lega, "Terima kasih, Dok," balasku sambil tersenyum tipis.

"Iya, sama-sama," sahutnya ramah.

Tiba-tiba, seorang suster berlari mendekat dan berseru, "Dokter Arka, pasien di lantai tiga di ruang Flamboyan kejang!"

"Oke, Suster," jawab Dokter Arka dengan sigap, lalu segera berlari meninggalkanku untuk

menangani pasien tersebut.

Aku memandangi punggungnya yang menjauh. Ternyata namanya Arka, gumamku dalam hati. Setelah itu, aku segera masuk ke ruangan Mama untuk menjenguknya.

Siang ini suasana kamar rawat di rumah sakit tampak hening dan sepi. Aku melihat Mamah yang sudah terbaring lemas di ranjang.

wajahnya pucat dan nafasnya terengah-engah. Aku tak tahan melihat keadaan Mamah seperti ini, perasaan khawatir dan sedih bercampur menjadi satu.

Dengan hati-hati, aku duduk di samping bed Mamah, menggenggam tangan yang lemah itu dan menciumnya dengan penuh kasih sayang.

"Makasih ya, Bik, udah jagain Mamah," ucapku dengan suara bergetar kepada bibik yang selama ini setia menemani Mamah.

"Iya, Non. Maaf, Non, kalau bibik mengagetkan Non tadi. Bibik takut tadi Nyonya kenapa-kenapa," jawab bibik dengan nada cemas.

"Iya, Bik, nggak apa-apa. Bibik, kalau mau pulang, biar Mamah aku yang jagain," tawarku, merasa bersalah karena bibik sudah begitu lelah.

"Baik, Non. Bibik pulang dulu ya?" ujar bibik, tampak ragu dan ingin memastikan apakah aku benar-benar bisa menjaga Mamah sendirian.

"Iya, Bik, hati-hati," sahutku sambil tersenyum.

Bibik mengangguk dan mengambil tas yang tadi membawa baju ganti Mamah. Dengan langkah gontai, ia pun berlalu keluar dari bangsal Mamah.

Setelah bibik pergi, aku menyenderkan tubuhku di samping ranjang Mamah, merasakan kelelahan yang tak tertahankan.

Namun, lebih dari itu, aku merasa bersyukur karena masih memiliki kesempatan untuk menjaga dan merawat Mamah yang selama ini sudah begitu banyak berkorban untukku.

Ponselku berbunyi nyaring di meja, menunjukkan nama Hans di layar. Aku segera mengangkatnya, rasa cemas bercampur harap di hatiku.

Aku [  "Iya, Hans?" ]

Hans [ "Beraninya kamu menggugat cerai aku!" ] teriaknya marah, membuatku terkejut.

Aku ["Syukurlah, udah sampai situ suratnya,"] jawabku berusaha tenang.

Hans ["Oke, kalo ini yang kamu mau, aku malah gak usah capek-capek untuk mengurusnya." ]

Aku ["Apa kamu bahagia, Hans?"  ]tanyaku lirih, menahan getir di hati.

Hans [ "Tentu." ]

Aku ["Apa aku sudah tidak ada arti apa-apa di hatimu?"  suaraku bergetar

Hans [ "Tidak." ]

Aku ["Jadi selama ini aku ini anggap kamu apa?" ] kecewaku tak terbendung.

Hans ["Istri, tapi aku lebih cinta ke Rena karena dia lebih segala-galanya." ]

Aku merasakan air mata menggenang di sudut mataku, hatiku bagai teriris mendengar pengakuan Hans yang begitu menyakitkan.

Mematikan teleponku air mataku menetes begitu saja dengan pandangan kosongku, kenapa Hans mempertahankan aku?

Aku terlarut dalam lamunan dan kesedihan, hingga tak menyadari sosok Dokter Arka yang sudah berdiri tepat di depanku. Rasa terkejut menyergap ketika ia memanggilku dengan suara keras.

"Hey!" seru Dokter Arka.

Cepat-cepat kuhapus air mata yang membasahi pipiku, lalu kutatap dokter itu dengan wajah merah padam.

"Iya, Dok, ada apa?" sahutku dengan suara parau.

"Besok, kalau kondisi ibu kamu sudah membaik, boleh pulang dan rawat jalan saja," ujarnya.

"Baik, Dokter, terima kasih banyak," ucapku dengan haru.

"

Sama-sama," balas Dokter Arka sambil mengambil tisu dari saku jas putihnya. "Usap ingus kamu," lanjutnya dengan nada bercanda.

"Apaan sih, Dok!" kataku sambil tersipu malu.

Aku menerima tisu pemberian dokter, sementara Dokter Arka berlalu keluar dari ruangan dengan senyum ramah.

Suster berjalan cepat menuju ruangan mama dengan sejumlah obat di tangannya. Dia tersenyum ramah padaku sebelum berkata,

"Jangan lupa langsung di minumkan ya, Mbak."

"Iya, Suster, terima kasih banyak," jawabku dengan senyum penuh harapan.

"Iya sama-sama, permisi," ucap Suster sebelum keluar dari ruangan.

"Iya, Suster," sahutku. Begitu Suster pergi, perlahan mata mama mulai terbuka. Hatiku berbunga-bunga bahagia melihat mama sudah bangun dari tidurnya.

Dengan penuh perhatian, aku membantu mama duduk dari posisi tidurnya. Mama terlihat lemah, namun semangatnya untuk segera pulang terlihat jelas di matanya. Aku menyiapkan segelas air dan obat yang baru saja diberikan Suster kepadaku.

"Mama, minum obat dulu ya," ucapku lembut sambil menyuapkan obat tersebut ke mulut mama. Mama menelan obat itu dengan susah payah, kemudian meneguk air yang kuberikan.

"Rea, Mama ingin segera pulang," ujar mama dengan suara serak, namun penuh tekad.

Aku mengelus punggung mama, berusaha menenangkannya. "Tenang, Ma, sebentar lagi kita bisa pulang. Tapi sekarang mama harus istirahat dulu biar cepat sembuh," ucapku berusaha memberi semangat dan dukungan.

Mama mengangguk lemah, namun matanya terlihat bersinar dengan harapan. Kuperhatikan wajah mama yang pucat dan letih, berjanji dalam hati akan menjaga dan merawatnya sebaik mungkin hingga kembali pulih.

Setelah memberikan obat kepada mama, aku mengambil handuk kecil yang disediakan rumah sakit untuk membersihkan tubuh mama dengan lembut.

Setelah itu, aku mengganti pakaian mama yang sudah basah oleh keringat dan menyemprotkan parfum kesukaannya agar mama merasa lebih segar dan harum.

Mama tersenyum lemah sambil mengelus lembut rambutku. "Kamu harus kuat, Nak," kata mama dengan suara parau, "Jangan menangisi orang seperti Hans. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik." Aku mengangguk, menahan air mata yang hendak jatuh.

Aku kemudian menceritakan kabar baik bahwa aku berhasil menang tender yang telah lama aku kejar.

Wajah mama langsung berseri, terlihat sangat bahagia mendengarnya. Kami pun melanjutkan obrolan dengan asyik, seolah melupakan sejenak sakit yang mama rasakan.

Setelah beberapa waktu, mama mulai terlihat lelah dan kembali tertidur. Aku pun kembali duduk di sofa, memijat keningku yang terasa tegang. Meski mama terbaring sakit, aku bersyukur masih bisa berbagi kebahagiaan dengannya.

Krieeet.

Suara pintu terbuka, aku menoleh kearah pintu terlihat titin berada di ambang pintu ia tersenyum kearahku.

"Sini tin" seruku

Titin mengangguk, melangkahkan kakinya masuk kedalam tidak lupa ia menutup pintu terlebih dahulu.

"Ini bu bos buah untuk mama"

"Duh, jadi merepotkan"

"Gak bu bos" senyum Titin meletakkan buah di atas meja dan juga tas laptopku.."laptopnya aku sengaja membawanya Bu bos, besok kita harus meeting lagi, semoga besok juga kita memenangkan tender lagi" semangat Titin

"Amin tin, nanti malam aku lembur pokonya, aku akan berusaha sebisa mungkin"

"Bener bu bos, semangat"

"Makasih ya tin" senyumku

***

Terpopuler

Comments

Soraya

Soraya

Rea bgo ngapain jg nanya bikin sakit hati aja bukan pokus aja sm perusahaan nya bikin hans hancur

2024-05-05

1

Wulan Catur

Wulan Catur

kan sudah kenalan,, apa rea lupa 🤔

2024-04-30

0

Sunarmi Narmi

Sunarmi Narmi

Ngapain Rea kamu bikin pertanyaan kayak gitu...Oneng juga kmu lama" tak getok centong kamu....mancing pertanyaan kok yg bikin hati sakit..mbok cerdas dikit....dunia halu bikin emossi 😁😁😁😁

2024-03-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!