Bab 14

Pagi yang cerah, mentari menyinari kamar dengan lembut saat aku terbangun dari tidurku.

Aku melihat Mama yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Pikiranku langsung teringat pada pekerjaan di kantor dan tanggung jawabku.

Sedangkan Kimberly berangkat sekolah hari ini, aku jadi bingung siapa yang akan jagain mama?

"Rea," lirih  Mama dengan suara parau.

"Iya, Ma," jawabku sambil tersenyum.

Aku duduk di kursi di samping tempat tidur Mama, menatap wajahnya yang tampak lelah. Tiba-tiba, Mama mengejutkanku dengan pertanyaan yang tak pernah kusangka akan dia tanyakan.

"Nak, apa benar istri kedua suamimu itu sedang hamil anak Hans ? Dan perempuan itu adalah Rena, teman baikmu sendiri, bukan?" tanya Mama dengan sedih.

Deg!

Hatiku berdebar kencang mendengar pertanyaan itu. Bagaimana Mama bisa tahu? Padahal aku sudah berusaha keras merahasiakan hal ini darinya.

"Mama, kok tahu, Ma?" tanyaku dengan gugup.

"Hans dan Rena, ke rumah mama"

Aku membulatkan kedua mataku,  Hans dan rena yang menjadi sumber informasi Mama ternyata telah memberitahu semuanya.

Wajah Mama tampak sedih dan khawatir, membuat hatiku semakin terpuruk. Aku mencoba menenangkan diri, sambil berpikir bagaimana cara menghadapi situasi ini dengan bijak.

"Kenapa kamu tidak menceritakan ke Mama, Nak? Kenapa kamu hanya cerita kalau Hans nikah diam-diam saja?" tanya Mama dengan suara bergetar.

"Aku takut Mama kaget dan sakit, Mah," jawabku sambil menunduk.

Mama menggenggam tanganku erat, matanya berkaca-kaca. "Rea, kamu harus sabar, Nak. Mama tidak menyangka Hans dan rena bisa setega itu."

"Lalu, kapan Hans dan Rena ke rumah, Ma?" tanyaku ingin tahu.

Mama menghela napas, "Kamu pergi ke Imas, mereka datang, Nak. Mama sangat kaget dan syok saat tau Rena jadi madu kamu. Dia tidak punya hati, Rea."

"Iya, Mah. Rea juga tidak tahu Rena bisa sejahat itu padaku," ucapku sambil menangis.

"Setahu Mama, Rena keluar negeri saat kamu nikah sama Hans kan? Bahkan Rena juga berpamitan sama mama. Tapi sekarang rena kembali dan merusak hidupmu, Nak. Kita harus kuat menghadapinya bersama," tutur Mama dengan penuh kekhawatiran.

Aku mengangguk, "Mama, yang sehat ya, jangan sakit lagi. Rea sangat khawatir. Mulai sekarang, Mama gak usah memikirkan Hans dan Rena," pekikku dengan nada penuh harap.

Mama tersenyum lemah dan mengangguk mengerti. Tampaknya dia merasa lega mendengar perkataanku.

Sementara itu, Kimberly yang baru saja terbangun dari tidurnya, menoleh ke arah kami. Ia mengusap matanya yang masih mengantuk, lalu berkata,

"Aku gak mau sekolah, aku mau menjaga Mama."

Aku pun langsung melarangnya, "Kim, sekolah itu penting. Nanti aku yang minta Bibik untuk menunggu Mama di sini. Kamu harus tetap fokus belajar, ya."

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Kimberly setuju dengan usulanku. Dia pun bergegas bersiap-siap untuk pulang dan pergi ke sekolah, mengingat waktu yang sudah mepet.

Aku berharap, Mama bisa lebih tenang dan fokus untuk segera pulih dari sakitnya, aku berdiri dari dudukku bejalan kearah kamar mandi.

Aku merasakan perasaan yang campur aduk setelah tau Hans dan Rena diam diam ke rumahku.

Aku  keluar dari kamar mandi lalu segera berpamitan pada Mama, mengatakan bahwa aku harus pulang lebih dulu karena nanti ada meeting di tempat kerja.

Mama tampak mengerti dan mengizinkan aku untuk pulang dengan senyum yang lelah, dan sayu. Gak tega aslinya tapi mau bagaimana lagi.

Setelah berjalan melewati koridor rumah sakit, aku menemui suster yang  tadi malam  membantu merawat Mama.

Dengan hati berdebar, aku menitipkan Mama padanya sebelum bibik datang nanti untuk menggantikan jagaan.

Suster itu mengangguk penuh pengertian dan menyanggupi permintaanku. Aku pun merasa lega, kemudian berlalu meninggalkan rumah sakit menuju parkiran mobil.

Begitu sampai di parkiran, aku masuk ke dalam mobil dengan perasaan marah yang memuncak kepada Hans.

Wajahku memerah dan tanganku mengepal, menggenggam setir mobil dengan erat. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu; kekhawatiran terhadap kondisi Mama, serta kemarahan yang tak terbendung pada Hans yang telah menyebabkan semua ini terjadi.

Aku menyalakan mesin mobil, bersiap untuk pulang, sepanjang perjalanan aku fokus menyetir, berusaha tidak memikirkan Hans dan perempuan gila itu.

Setibanya di rumah, aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan memakai outfit terbaikku hari ini.

Setelah selesai, aku berdiri di depan meja rias, memandangi wajahku yang tampak muram dan lelah.

Aku mengenang masa lalu saat menolak semua pria yang mencoba mendekatiku, hanya demi Hans. Namun ternyata, dia bukanlah sosok yang sebaik yang kubayangkan.

Sementara itu, Rena, sahabatku yang kukira selalu ada untukku, ternyata selama ini diam-diam menyukai suamiku.

Aku merasa terkhianati oleh dua orang yang sangat kucintai. Dengan perasaan sedih dan marah, aku mulai memoles wajahku dengan perlahan.

Setiap kukenang kata-kata manis Hans saat aku sedang berdandan dulu, "Makin sayang sama kamu, sayang," katanya sambil tersenyum.

Namun, sekarang aku sadar bahwa itu hanyalah kebohongan belaka. Kenangan bersama Hans kembali berputar di benakku, membuat hatiku semakin tercabik-cabik.

Aku mencoba menenangkan diri dan melanjutkan memoles wajahku. Sambil mengoleskan blus on di pipiku, air mataku mulai mengalir perlahan.

Aku berusaha menahan tangis, namun semakin lama semakin sulit untuk mengendalikan perasaan yang memburuk ini.

Namun, aku tahu bahwa aku harus tetap kuat dan melanjutkan hidup. Aku harus melupakan Hans dan Rena, serta pengkhianatan yang telah mereka perbuat.

Setidaknya, untuk saat ini, aku akan berusaha untuk tampak cantik dan bahagia, meskipun di dalam hati, aku merasa hancur dan pilu.

Drrt..

Ponselku berbunyi, membuatku menghentikan aktivitasku. Aku mengambil ponsel dan melihat nama yang tertera di layar panggilan masuk.

Rena, apa yang diinginkan perempuan licik ini? Aku ragu untuk mengangkatnya, namun panggilan itu terus berdering, membuatku merasa terganggu.

Akhirnya, aku mengangkat sambungan telepon sambil keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan.

Aku [ "Ada apa?" ] ucapku dengan nada kesal.

Rena ["Wah, galak amat, istri pertama," ]sindir Rena dengan suara meremehkan.

Aku [Mau apa kamu sebenarnya, Rena?" ] tanyaku, semakin kesal dengan sikapnya.

Rena tertawa sinis, lalu berkata, [ "Tenang dong. Aku hanya mau tanya, kamu jadi kan mau gugat cerai suamiku?" ]

Aku [ "Tentu,"  ] jawabku tegas,

Menyeret kursi akupun duduk, mengambil lauk pauk dan menyentong nasi,

Rena tampak girang, ["Aaa, bahagianya aku! Akhirnya, sebentar lagi aku menjadi istri satu-satunya. Terima kasih ya!" ]

Mendengar perkataan Rena, hatiku merasa sakit dan marah. Namun aku tak ingin terjebak dalam permainan perempuan itu.

Aku memutuskan sambungan telepon dan membuang perasaan marahku. Kini, aku akan fokus untuk memulai hidup baru tanpa suamiku dan Rena yang menghancurkan kebahagiaanku.

**

Terpopuler

Comments

Andini Putri

Andini Putri

udah gak setia bodoh lagi..udah dpt berlian masih aja ngutip baru kerikil.. ku tunggu kehancuran mu Hans..

2024-04-29

1

Soraya

Soraya

klo q jdi Rea ku blokir no HP rena sm hans klo perlu ganti no HP biar mrka ga bsa ngehubungin lagi

2024-05-05

0

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

semoga Rena mendapat karma yg lebih pedih dari ini

2024-03-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!