Bab 15

Tak lama setelah menikmati sarapan pagi, aku bergegas menuju halaman rumah. Hari ini adalah hari yang menentukan bagi perusahaan, karena kami akan mengikuti tender yang sangat penting.

Titin, sekretarisku, sudah menungguku di kantor dan aku berharap semoga kami bisa memenangkan tender ini, sehingga perusahaan kami tidak perlu lagi bekerja sama dengan perusahaan Hans yang menyebalkan itu.

Aku melajukan mobil dengan kecepatan sedang, menikmati suasana pagi yang segar menuju kantor.

Sesampainya di sana, para karyawan menyapaku dengan ramah dan aku pun membalas sapaan mereka satu per satu.

Dengan langkah tegap dan percaya diri, aku berjalan menuju ruanganku yang terletak di lantai paling atas.

"Ibu bos!" seru Titin begitu aku memasuki ruanganku.

"Hai, Tin. Sudah siap semuanya?" tanyaku sambil melempar tas ke sofa yang ada di ruangan itu.

"Udah, Bu. Kita langsung berangkat saja, ya?" ajak Titin dengan semangat.

Aku mengangguk, lalu mengecek berkas-berkas yang akan kami bawa untuk tender hari ini.

Semua tampak rapi dan lengkap, membuatku semakin yakin bahwa kami akan memenangkan tender ini.

Dengan perasaan optimis, aku dan Titin pun meninggalkan kantor menuju tempat penyelenggaraan tender, berharap agar hari ini menjadi awal dari kesuksesan baru bagi perusahaan kami.

Aku dan Titin berjalan menuju lift, hendak pergi ke lantai bawah. Begitu pintu lift terbuka, kami segera masuk dan menekan tombol lantai bawah.

Lift bergerak perlahan, menurunkan kami ke arah lobi. Begitu tiba di lantai bawah, Titin segera pergi untuk mengambil mobil, sedangkan aku menunggu di lobi.

Drrt.

Ponselku berbunyi, mengagetkanku. Aku mengambil ponsel dari dalam tas dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata, itu Hans. Hatiku langsung berdebar kencang, namun aku tidak ingin mengangkat teleponnya.

Ting.

Hans mengirimkan pesan, memaksa aku untuk membacanya. Isinya membuatku semakin kesal.

Hans [ Angkat teleponku, Rea! Jangan sombong, kamu. Aku masih suami sah kamu!"]

Hans kembali menelponku, kali ini aku mengangkatnya dengan rasa terpaksa.

Aku ["Hallo," ucapku dengan suara datar. ]

Hans [ "Akhirnya kamu mengangkat teleponku, Rea," ] Hans berkata dengan nada mencemooh. [ "Kenapa kamu jadi susah dihubungi? Apa karena rena?" ]

Aku mengepal tangan, berusaha menahan emosi.

Aku ["Apa yang kamu mau, Hans?  Jangan ganggu hidupku lagi ! Aku ingin lepas dari kamu, orang yang menyakiti perasaan aku ] teriakku, berusaha menjaga agar suaraku tidak terdengar oleh orang lain di lobi.

Hans [ sepertinya kami perlu bicara, setelah meeting kita bicarakan hall ini ]

Hans mematikan teleponnya, memasukkan kembali ponselku kedalam tas, tak berselang lama Titin datang aku langsung masuk kedalam mobil.

Titin mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, aku merasakan keningku yang terasa nyut-nyutan.

Pikiranku terus melayang pada Hans, pria yang telah mengecewakanku dengan menikah diam-diam di belakangku.

Apakah dia tidak tahu betapa sakit hatiku? Betapa rasa percayaku padanya hancur berkeping-keping?

"Ibu bos, Titin mau ngomong sesuatu," ujar Titin dengan serius.

"Iya, Tin, apa?" tanyaku mencoba menyembunyikan kegundahan hatiku.

"Mau ngomong, tapi nggak enak," lanjut Titin ragu-ragu.

"Nggak apa-apa, Tin, kamu ngomong aja," jawabku memberinya dukungan.

"Maaf sebelumnya, Bu bos. Tapi waktu itu, aku sempat melihat Tuan Hans sedang berjalan ke arah toko bunga. Dia membeli seikat mawar merah dan kemudian masuk ke sebuah restoran," ungkap Titin dengan hati-hati.

Mendengar pengakuan Titin, hatiku semakin tercabik-cabik. Apakah mawar merah itu untuk wanita yang kini menjadi istrinya? Ataukah Titin tau kalo Hans selingkuh?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiranku, sementara Titin terus melajukan mobil dengan wajah yang penuh kekhawatiran.

"Lalu?" tanyaku penasaran, tak bisa menahan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.

"Aku melihat bunga itu diberikan untuk teman Ibu bos, Rena namanya," ungkap Titin dengan wajah cemas.

Hatiku berdebar kencang mendengar nama itu. "Kamu membuntuti Hans?"

"Iya, Bu bos, maaf sekali sebelumnya. Tapi aku penasaran, Bu bos kan tidak suka bunga, jadi aku mengikuti Tuan," jelas Titin dengan wajah bersalah.

"Apa yang kamu lihat antara Hans dan Rena?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Rena langsung memeluk Tuan, lalu Tuan mencium kening Rena. Mereka sangat mesra, Bu bos. Sebenarnya, aku sudah lama ingin mengabarkan hal ini kepada Ibu bos, tapi aku tidak tega. Namun, aku tidak bisa menyembunyikan ini semua dari Ibu bos," ujar Titin dengan suara bergetar.

Aku merasa jantungku serasa teriris mendengar pengakuan Titin. "Kamu sudah benar, Titin. Terima kasih sudah jujur kepadaku," ucapku sambil menahan air mata yang mulai menggenang di sudut mataku.

"Jangan nangis dong, Bu bos," ucap Titin dengan nada lembut, mencoba menghiburku.

"Gak kok, Tin," balasku berusaha tersenyum.

"Dan aku melihat tuan sering jalan sama Rena, bahkan waktu tuan mau pergi ke mana itu, dia pergi sama Rena. Aku gak nyangka teman ibu bos kok tega ngelakuin itu ke Bu bos," kesal Titin sambil memegang tanganku.

Air mataku tak bisa dibendung lagi, menetes membasahi pipiku. Memang tidak heran sih, hubungan mereka sangat dekat, mereka berdua kan suami istri.

Aku sendiri yang bodoh, diselingkuhi suami tanpa tahu sampai menikah. Tapi mau dia menyembunyikan sekalipun, tetap saja kebenaran pasti terungkap.

"Jangan-jangan tuan selingkuh, Bu bos," gumam Titin dengan nada ragu.

Hatiku semakin teriris mendengar perkataan Titin. Padahal aku sudah tau, entah kenapa merasa diriku telah dikhianati oleh suami sendiri dan teman dekatku berkali kali.

Rasa sakit yang mendalam membuatku tak bisa menahan tangisan yang terus mengalir, seperti air terjun yang tak pernah berhenti.

"Sudah cukup, Titin. Aku tahu semuanya," ujar ku dengan mata yang berkaca-kaca. "Hans dan aku akan bercerai sebentar lagi."

"Apa?!" Titin terkejut mendengar pengakuan ku itu

"Untuk apa aku mempertahankan Hans yang ternyata bermain api di belakangku?" lanjut ku dengan nada sedih dan kecewa. Wajahku tampak pucat dan mataku sembab karena menangis.

Titin menggigit bibirnya, "Benar juga, Bu bos. Lebih baik cerai masih banyak yang lebih baik daripada tuan Hans. Lagipula, ibu masih banyak yang menginginkan. Jangan takut menjadi janda, Bubos, Yang terpenting adalah menjadi janda yang terhormat, bukan perempuan yang merusak rumah tangga orang."

Mendengar kata-kata Titin, aku teringat kembali pada saat aku melihat Rena, sahabatku sendiri yang telah mengkhianatiku dengan suamiku. Wajah aku memerah karena marah dan hatiku seperti tertusuk duri.

"Aku jadi geram sama Rena" seru Titin dengan suara bergetar. "Padahal dulu aku melihat bus bos dan Rena saling menyayangi. Tapi ternyata, Rena tidak bisa dipercaya."

Titin menepuk-nepuk pundak ku, mencoba memberikan dukungan pada aku yang sedang terluka. "Tenang saja, Bu bos,. Semua akan baik-baik saja. Percayalah, Tuhan pasti punya rencana yang lebih baik untuk ibu bus."

Aku menatap Titin dengan mata berkaca-kaca, berusaha tersenyum walau hatinya hancur berkeping-keping. "Terima kasih, Titin. Terima kasih sudah selalu ada untukku."

***

Terpopuler

Comments

Soraya

Soraya

ayo Rea kalahkan perusahaan hans bikin perusahaan nya bangkrut

2024-05-05

1

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

lengkap sdh penderitaan mu Rei

2024-03-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!