Bab13

Dokter itu keluar dari ruang UGD, menghentikan langkah kakiku yang hendak mendekatinya.

Aku segera berdiri tegak, menatap pria yang tak asing bagiku. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dokter itu adalah pria yang pernah kutemui sebelumnya. Kami saling menatap dengan keterkejutan, bahkan terkesiap sejenak.

"Dokter, bagaimana keadaan ibuku?" tanya Kimberly dengan nada khawatir.

"Ibu kalian baik-baik saja, tetapi tetap harus dirawat di rumah sakit ya?" jawab dokter itu sambil tersenyum lembut.

"Baik dokter," sahut Kim sambil tersenyum lega. "Apa aku sudah boleh masuk ke dalam, Dokter?"

"Tentu," jawab dokter itu, mengangguk.

Kimberly segera masuk ke dalam ruangan, meninggalkan aku yang masih berdiri mematung di luar.

Pria itu menatapku dengan sorot mata yang tajam, seolah-olah ia masih mengingat betul pertemuan kami sebelumnya.

"Kita ketemu lagi, perempuan cengeng," ujarnya sambil tersenyum sinis.

Aku merasa jantungku berdegup kencang, tak menyangka akan bertemu lagi dengan pria yang pernah melihatku teriak teriak gak jelas waktu itu melupakan semua kekecewaanku.

Aku hanya bisa berdecak kesal saat pria itu berlalu, aku Langsung saja aku masuk untuk menemui mama yang sedang bersiap-siap untuk pindah ke bangsal VVIP. Di dalam hati, aku mulai merasa cemas dan takut akan kesehatan mama.

Ketika tiba di kamar mama, suster yang sedang menemani mama menyuruhku untuk pergi ke administrasi guna membayar DP terlebih dahulu. Aku mengangguk dan segera keluar dari ruangan tersebut, berjalan menuju ke bagian administrasi.

Di tengah perjalanan, aku mendengar seruan "Dokter!" dari seorang perawat yang berlari ke arah dokter yang sedang berjalan di depanku. Keduanya pun berhenti dan mulai berbicara satu sama lain.

Tanpa menyadari, ternyata pria yang berbicara dengan dokter itu adalah pria yang sempat membuatku kesal tadi.

Aku tak ingin berurusan dengannya, jadi aku memutuskan untuk membuang muka dan melanjutkan perjalanan menuju ke bagian administrasi.

Saat berjalan melewati mereka, aku merasa ada tatapan tajam dari pria tersebut, namun aku tak peduli.

Yang terpenting bagiku saat ini adalah menyelesaikan urusan administrasi dan kembali menemani mama di kamar.

Setibanya di tempat administrasi, aku langsung membayar DP yang diminta oleh suster tadi. Setelah itu, aku berjalan kembali ke arah bangsal tempat Mama berada.

Drrrttt...

Ponselku berbunyi, membuatku menghentikan langkah. Aku melihat layar ponselku dan ternyata yang menelponku adalah bibik Art yang bekerja di rumah Mas Hans. Aku segera mengangkatnya.

Aku [ "Halo, Bik?" ]

Bibik ["Non, ini Bik." ]

Aku ["Iya, Bik. Ada apa?"]

Bibik [ "Non, tau gak sih, sekarang Tuan dan istri mudanya suka ngadain pesta di rumah?" ]

Aku [ "Apa? Serius, Bik?" ]

Bibik [ "Iya, Non. Kayaknya Tuan udah terpesona sama si pelakor itu bener bener Sangat berbeda tuan saat ini. Malah mengabaikan Non rea" ]

Mendengar kabar itu, hatiku terasa sakit. Airmataku mulai menggenang di pelupuk mata.

Rasa kecewa dan marah campur aduk dalam dada. Tangan gemetar saat memegang ponsel, tapi aku berusaha menenangkan diri dan mencari tahu lebih banyak tentang kejadian itu.

Aku [ "Bik, sejak kapan kejadian ini mulai?" ]

Bibik Hmm, sekitar seminggu yang lalu, Non. Semenjak Tuan dan pelakor itu tinggal di sini ]

Aku menghela nafas berat, mencoba menahan amarah dan kesedihan yang menyesakkan dada.

Bagaimana mungkin Mas Hans berubah begitu drastis dan tega tidak ingat aku? Apakah semua ini karena pengaruh si pelakor itu? Aku bener bener sakit.

Aku berjalan dengan langkah gontai setelah menutup telepon dari bibik. Kedua kakiku terasa berat, seperti memikul beban yang tak tertahankan.

Aku duduk di kursi depan bangsal, di mana mama terbaring lemah. Aku menangis sesenggukan sambil menundukkan kepalaku, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar di hati.

"Sepertinya kamu masih cengeng," seru seseorang dengan nada menggoda. "Ini," ia menyodorkan sehelai tissue padaku.

Aku mendongakkan kepalaku, menatap wajah orang yang bicara dan memberikan tissue untukku.

"Kamu!" sewotku, kesal. Ternyata pria menyebalkan itu. Rasa geli dan marah bercampur menjadi satu.

Dia duduk di sampingku, menatapku dengan pandangan mencengangkan. "Sepertinya kamu lagi ada masalah besar," katanya sambil mengernyitkan dahinya.

"Sok tahu!" balasku ketus, berusaha menyembunyikan air mata yang masih mengalir deras.

"Aku rasa kamu sedang tidak baik-baik saja," ujarnya dengan nada lebih serius, matanya menatapku dengan perhatian.

Aku menatapnya balik, bingung dan tidak mengerti mengapa pria menyebalkan itu tiba-tiba begitu peduli.

Namun, di balik semua kesewotan ku, ada rasa lega yang mulai terasa di hati. Mungkin, hanya ada seseorang yang masih peduli padaku di saat yang penuh kepedihan ini.

Aku kembali menangis sesenggukan, merasa hancur dan tak sanggup menahan beban hidup. Tiba-tiba, pria itu menghampiriku dan menompang kepalaku di pundaknya, memberi dukungan emosional yang tak kuduga.

"Aku tau perasaan kamu saat ini, tapi aku hanya bilang semangat," ucapnya dengan suara lembut dan penuh empati.

"Kamu tau aku sangat sakit sekali," keluhku, merasa lega ada seseorang yang mengerti perasaanku.

"Aku tau itu," ucapnya lagi, memberikan kehangatan dalam kata-katanya.

Setelah merasa lebih tenang, aku mengusap air mataku menggunakan tissue yang diberikan pria itu barusan. Tanganku gemetar saat mengusap wajah yang basah oleh air mata.

"Kenalkan, aku Arka," serunya memperkenalkan diri dengan senyum ramah di wajahnya.

"Dokter Arka ya?" tanyaku sambil tersenyum, mencoba mengalihkan perhatian dari kesedihan yang baru saja kurasakan.

"Bisa dibilang begitu," jawabnya sambil tersenyum balik, menunjukkan keramahannya.

"Maaf ya, Dok, aku mau masuk dulu," ucapku dengan malu, merasa telah merepotkan orang yang baru saja kukenal.

Aku berdiri dari tempat dudukku, masih merasa sedikit lemah dan perlahan berjalan menuju pintu.

Arka mengangguk mengerti dan membiarkanku pergi, memberikan waktu untukku merenungi perasaan dan memulihkan diri dari beban yang baru saja kualami.

Saat aku membuka pintu bangsal, tampak mama terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang, sementara Kimberly tertidur di sofa. Aku menutup pintu dengan hati-hati, takut membangunkan mama yang sedang istirahat.

Langkahku perlahan mendekati mama, dan hatiku terasa teriris melihat keadaannya yang sekarang. Suamiku yang bahagia bersama Rena, istri keduanya, membuat diriku semakin hancur.

"Kak," lirih Kimberly, membuyarkan lamunanku.

"Iya, Dek?" sahutku sambil menatap Kim.

"Kakak kok belum tidur?" tanyanya heran.

"Nanti, Dek. Kamu tidur dulu saja," sahutku lembut.

Kimberly menatapku tajam. "Kakak abis nangis?"

"Gak, Dek. Tadi Kakak jalan-jalan saja, biar sedikit meresapi udara malam," jawabku, berusaha menyembunyikan kebenaran bahwa aku baru saja menangis tersedu memikirkan keadaan keluargaku.

Sejenak kami saling menatap, lalu Kimberly kembali tidur di sofa. Sementara aku, duduk di samping ranjang mama, merenung dalam-dalam tentang kehidupan yang terus berputar tak henti-hentinya, penuh liku dan rintangan yang harus dihadapi.

***

Terpopuler

Comments

Nnek Titin

Nnek Titin

di Hans d guna guna istri mudanya kali yaa makanya sampe lupa diri

2024-04-29

1

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

Rea ,tenang aja yah .... badai pasti berlalu

2024-03-23

0

Masitoh Masitoh

Masitoh Masitoh

up

2024-03-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!