Bab 5

Aku masih terduduk di tepi ranjang, merasa kesepian dan cemas. Mas Hans tak kunjung muncul di kamar, pasti dia pergi lagi. Aku beranjak dari dudukku, lalu mencoba keluar kamar untuk mencari tahu keberadaan mas Hans.

"Bik, lihat mas Hans?" tanyaku pada pembantu yang sedang membersihkan ruang tamu.

"Tuan keluar, Non," jawabnya singkat.

"O yaudah," ucapku dengan kecewa.

Aku kembali masuk ke dalam kamar, merasa bingung dengan sikap mas Hans yang tidak biasa.

Biasanya, meski kami bertengkar, dia tak pernah pergi meninggalkanku begitu saja. Aku mencoba untuk menenangkan diri dan menutup kedua mataku, berharap tidur dapat mengusir kekhawatiranku.

Keesokan paginya, aku dan Imas, sahabatku, berencana pergi ke rumah Rena, teman kami yang baru saja kita temui kemarin.

Rena mengatakan bahwa suaminya sedang tidak ada di rumah, jadi kami bisa berkumpul dan mengobrol santai tanpa gangguan.

Ting..

Ponselku berbunyi, aku segera meraih ponselku yang berada di meja rias, sambil menyisir rambutku.

Imas [ aku otw kerumah kamu ]

Aku [ aku tunggu ]

Imas Dita lagi membalas pesanku pasti dia sedang berjalan menuju ke sini aku pun menyelesaikan make up ku dan juga mengambil tas keluar dari kamar lalu berjalan menuju ke ruang makan..

"Sarapan non" tawar bibik kepadaku

"Oke bi siapkan dulu semua masakan bibik aku mau sarapan bersama sahabatku" seruku

"Beres non" bibik tersenyum kearahku

Begitu Imas sampai di rumahku, kami langsung duduk di ruang tamu yang nyaman. Sambil menyeruput kopi hangat..

aku bercerita tentang kejadian semalam dan sikap aneh mas Hans yang membuatku semakin penasaran dengan sikapnya.

"Kamu jangan terlalu khawatir, mungkin mas Hans sedang ada masalah di kantor yang membuat dia stres," ujar imas mencoba menenangkanku.

Namun, di lubuk hati, penasaran itu masih menghantuiku. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mas Hans?

Meletakkan cangkir berisikan kopi di atas meja, aku lihat keningku yang terasa sangat pusing karena mas Hans.

Aku menggenggam erat tangan Imas, mengekspresikan kekecewaan dan kekhawatiranku.

"Mas Hans akhir-akhir ini sangat berubah. Dia tidak pernah lagi mengeluh tentang pekerjaannya di kantor. Tapi setiap kali pulang, dia selalu terlihat murung dan marah-marah padaku. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang salah denganku?

Setelah aku dan mas Hans bertengkar hebat tadi malam, aku jadi tau kalo dia sangat kecewa kalo aku belum bisa memberikan dia keturunan"  isakku

Imas menatapku dengan wajah bingung dan khawatir. "Wah, padahal selama ini Hans gak pernah menyingung tentang anak kan? Tapi sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran mas Hans. Apakah kamu pernah bilang kalo kalian berusaha dengan bayi gabung??"

Aku menggeleng. "Belum, Imas. Dia selalu menghindari pembicaraan tentang itu. Aku jadi semakin cemas dan takut. Apakah dia kecewa padaku? Atau bahkan, apakah dia sudah mulai mencari kebahagiaan di tempat lain?"

Imas menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan lembut, "Rea, jangan terlalu khawatir. Mungkin mas Hans hanya sedang stres pengen mempunyai anak dari kamu, Tapi, jika kamu benar-benar merasa ada yang tidak beres, kamu harus berbicara dengannya. Jangan biarkan ketidakpastian ini menghancurkan pernikahan kalian."

Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. Namun, di lubuk hati yang paling dalam, ketakutan akan pengkhianatan masih menghantui pikiranku.

Aku berharap semoga semua kekhawatiranku ini tidak terbukti. Dan semoga mas Hans tetap setia padaku, meski aku belum bisa memberinya keturunan yang dia inginkan.

Pagi itu, aku dan Imas duduk di meja sarapan, menikmati hidangan yang kami siapkan bersama.

Setelah sarapan selesai, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Rena yang sudah mengirimkan alamatnya kemarin. Cuaca pagi itu cerah, memberi semangat bagi kami berdua.

Rumah Rena ternyata terletak tidak jauh dari perusahaan suamiku. Kami melihat perusahaan tersebut tampak sepi karena hari ini adalah hari Minggu. Aku mencoba menghubungi Hans, namun nomornya tak bisa dihubungi.

"Rea, ini bener kan alamat rumahnya?" tanya Imas dengan ragu.

"Iya, Im, gede juga ya," seruku sambil mengamati rumah mewah di depan kami.

"Aku yakin pasti dia nikah sama orang kaya raya," senyum Imas penuh dugaan.

"Bisa jadi," balasku sambil mengangguk.

Imas lalu menekan klakson mobilnya beberapa kali, berharap Rena segera keluar dari rumahnya.

Tak lama, pintu rumah terbuka dan Rena melambaikan tangan sambil tersenyum, menyambut kedatangan kami berdua.

Ketika kami memasuki halaman rumah Rena, Imas menghentikan mobilnya dan kami berdua turun dari mobil. Terlihat jelas di wajah Rena betapa bahagianya ia melihat kedatangan kami.

"Akhirnya kalian datang juga, mari masuk," ajak Rena dengan semangat.

"Iya, im," sahut aku dan Imas serempak.

Rena berjalan di depan kami, membuka pintu rumahnya dan mempersilakan kami masuk sambil mengucapkan salam.

"Silahkan duduk," ajak Rena dengan ramah.

Aku dan Imas pun duduk di sofa yang empuk dan nyaman. Imas mengamati sekeliling rumah dan berkomentar, "Rumah kamu gede juga ya, Ren?"

"Iya, Im. Untung Mas Hans selalu ada untukku," jawab Rena sambil tersenyum lebar.

"Hans?" Kaget aku dan Imas 

"Oh, Hans itu suamiku. Dia selalu mendukungku dalam segala hal, termasuk membantu mengurus rumah ini," jelas Rena dengan bangga.

Hatiku bergemuruh saat mendengar perkataan Rena, mengapa namanya sama dengan suamiku? 

Aku merasa ada sesuatu yang salah di sini, namun tidak tahu apa itu. Seiring dengan detak jantung yang semakin kencang, aku berusaha mencari tahu lebih jauh.

"Aku mau lihat suami kamu boleh?" ujar Imas dengan wajah yang merah padam, seolah-olah ia juga merasakan ketegangan yang sama.

"Boleh, itu fotonya," jawab Rena sambil menunjuk foto besar pernikahannya yang terpajang di dinding ruang tamu.

Aku dan Imas membulatkan kedua mata kami saat melihat foto itu. Aku seakan kehabisan oksigen, sulit bernapas karena terkejut. 

"mas Hans" lirihku lemas

Ternyata suami Rena adalah suamiku juga! Apakah ini doa yang selama ini aku panjatkan, agar aku tahu alasan suamiku berubah total kepadaku, dan sekarang aku tahu jawabannya?

Imas menggenggam tanganku erat, seakan dia tahu apa yang aku rasakan. Hatiku hancur berkeping-keping, tak sanggup menahan kesedihan dan kekecewaan.

Aku merasa dikhianati oleh suamiku sendiri, yang ternyata memiliki istri lain di belakangku.Ekspresi wajah Imas yang pucat dan sedih juga menunjukkan bahwa ia merasa sama sepertiku.

Kami berdua saling berpandangan, mencari kekuatan dan dukungan dari satu sama lain. Dalam diam, aku berjanji akan menghadapi kenyataan pahit ini.

Aku harus tegar gak boleh oleng, aku akan mencari semua kebusukan suamiku dari Rena, meskipun aslinya aku ingin banget nangis dan langsung ingin menemui mas Hans.

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

ikut merasakan betapa sakit di duakan,tanpa kabar dan izin istri pertama

2024-03-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!