Bab 20

Aku hanya diam tidak mengubris perkataan dokter muda tampan tersebut, entah kenapa air mataku tidak hentinya mengalir.

Kini, arka seorang dokter muda yang tampan, berdiri di hadapanku dengan senyum hangat yang menenangkan.

Arka seolah menjadi pelipur lara di saat yang sulit ini. Dia menatapku dengan penuh perhatian, seolah ingin menyemangati.

"Jadilah perempuan yang hebat, Rea. Aku mungkin di sini tidak mengenalmu, dan kamu menganggap aku sok tau, tapi apapun masalahmu tetaplah menjadikan perempuan yang hebat.

Jangan sia-siakan air matamu kepada orang yang menyakitimu, seharusnya kamu itu tahan banting! Maka orang yang menyakitimu akan kesal melihat kamu baik-baik saja," kata Arka dengan nada yang meyakinkan.

Aku menatap ke arah Arka, meresapi setiap kata yang diucapkannya. Memang benar, aku tidak boleh terpuruk terus-menerus.

Aku harus bangkit dan menjadi perempuan yang kuat, pantang menyerah dalam menghadapi segala rintangan.

"Kenalkan aku Arka," seru dokter itu sambil mengulurkan tangannya. Aku terkejut dengan tawaran persahabatannya yang tulus, namun aku tidak ingin menyia-nyiakannya.

"Rea," jawabku sambil menjabat tangan Arka dengan erat.

Aku melihat semangat baru yang muncul di wajahku, terpancar dari mataku yang kini mulai kering dari air mata.

"Maaf jika aku menyakiti perasaan kamu dengan perkataanku tadi," ucap Arka dengan nada yang lembut dan tulus. "Aku hanya ingin melihatmu bangkit dan menjadi perempuan yang hebat. Kamu pasti bisa, Rea. Aku yakin itu."

Mendengar kata-kata Arka, aku merasa semakin termotivasi untuk menghadapi segala rintangan yang ada di depanku.

Aku akan menjadi perempuan yang hebat, seperti yang diharapkan oleh Arka. Aku tidak akan mengecewakan mama dan Kimberly, dan terpenting, aku tidak akan mengecewakan diriku sendiri.

"Tidak apa-apa, Dok," ucapku dengan senyum sendu, berusaha menyembunyikan perasaan cemas yang menghantui pikiranku.

Dokter yang tampan dan berwajah manis itu menatapku lembut. Aku memalingkan wajahku, tidak ingin menatapnya terlalu lama, takut malah semakin aneh.

"Maaf, Dok, aku ke ruangan Mama dulu," seruku sambil beranjak dari kursi.

Dokter itu mengerutkan kening, seolah merasakan kegelisahanku. "Kamu berani jalan sendirian? Kalau malam gini biasanya ada sesuatu loh, Rea," ujarnya sambil tersenyum misterius.

Entah kenapa, aku jadi merasa takut. Apakah dokter ini tau sesuatu yang tidak kubayangkan sebelumnya?

"Ah, Dokter, aku penakut loh," sahutku dengan wajah takut, menunjukkan kekhawatiran yang mulai menyelimuti diriku.

Dokter itu tertawa pelan. "Hehehe, aku hanya bercanda, Rea. Selama aku jadi dokter di sini, belum pernah kok jumpa poci atau mbak Kunti," katanya, mencoba menenangkanku.

Aku menghela napas lega, wajahku sedikit lebih cerah. "Cukup, Dok, jangan bikin aku makin takut," kataku sambil tersenyum tipis, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dokter Arka tersenyum dan menawarkan dirinya untuk mengantar aku ke bangsal di mana mama berada.

Sebenarnya, aku ingin menolak tawaran itu, tetapi karena sifat penakut aku, akhirnya aku menerima bantuan dokter Arka.

Kami berjalan berdampingan di lorong rumah sakit yang sunyi, sambil mengobrol ringan tentang berbagai hal.

Ternyata, dokter Arka tidak semenyebalkan seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Dia sangat ramah dan menyenangkan, membuat ku merasa lebih nyaman.

Ketika kami sampai di depan lift, detak jantung ku mulai berdebar lebih cepat. Aku selalu merasa takut naik lift terutama di malam hari.

Bayangan-bayangan menyeramkan selalu muncul dalam benakku, seperti pintu lift yang tiba-tiba terbuka dan menampakkan sesuatu yang mengerikan di baliknya.

Dengan rasa cemas, kami masuk ke dalam lift. Baru saja lift mulai bergerak, tiba-tiba saja listrik padam dan lift pun berhenti. Saya langsung merasa panik, takut akan terjadi sesuatu yang menakutkan.

Dokter Arka berusaha menenangkan saya, "Tenang, listrik pasti akan segera menyala kembali. Jangan khawatir."

Reflek aku langsung memegang erat tangan dokter arka, banget takutnya aku sampai mencubit tangan dokter.

Namun, detak jantungku semakin kencang dan rasa takut semakin memuncak. Sementara itu, dokter Arka terus berbicara dan mencoba mengalihkan perhatianku dari ketakutan yang sedang kualami.

Walaupun rasa takut itu masih menghantuiku, namun perlahan aku mulai merasa lebih tenang karena dukungan dan pengertian dari dokter Arka.

Lift mulai bergerak naik, dan detak jantungku semakin kencang, merasa lega sekaligus khawatir.

Begitu pintu lift terbuka di lantai atas, aku langsung menyeret tangan Dokter Arka yang masih kugenggam erat. Aku tersadar dan buru-buru melepaskan genggamanku, merasa sangat bersalah.

"Maaf, Dokter," ucapku dengan wajah memerah. Lo Aku terkejut melihat bekas cubitan tanganku tampak sangat keras hingga membuat tangan Dokter Arka sedikit terluka.

"Dokter," pekikku, syok melihat luka di tangannya. "Tangan Dokter terluka, maafkan aku, Dokter. Aku obati ya, Dok?" seruku dengan wajah penuh penyesalan.

Dokter Arka tersenyum kecut, menenangkan hatiku yang resah. "Kamu lupa aku seorang dokter?" katanya sambil mengelus luka di tangannya. "Tidak apa-apa, aku bisa mengobatinya sendiri. Kau hanya panik tadi, jadi aku mengerti."

Aku masih merasa bersalah, tetapi lega melihat Dokter Arka tidak marah. Kedepannya, aku berjanji pada diri sendiri untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi situasi yang menegangkan agar tak lagi melukai orang lain.

"Maaf sekali lagi ya, Dok," ucapku sambil tersenyum malu.

"Iya, Rea, gak papa. Yaudah, sana masuk," balas Dokter Arka dengan ramah.

"Terima kasih, Dokter," ucapku sambil tersenyum dan beranjak masuk ke dalam bangsal.

Hatiku merasa aneh, jantungku berdetak kencang seolah tak bisa tenang. Apakah perasaan ini disebabkan oleh kehadiran Dokter Arka yang begitu tampan?

Aku mencoba menenangkan diri, namun wajah tampan Dokter Arka terus terngiang-ngiang di benakku.

Sambil menarik napas dalam-dalam, aku melangkah mendekati Kimberly yang sedang asyik memainkan ponselnya di sofa rumah sakit. Dari raut wajahnya, tampaknya ia sudah mulai merasa lapar.

"Dek, ini makanannya," seruku sambil mengulurkan plastik berisi nasi dan lauk pauk kesukaannya.

"Wah, ini yang aku tunggu-tunggu! Lapar banget aku, Kak," ucap Kimberly sembari menyambut nais Padang tersebut dengan antusias.

"Iya, makan yang banyak biar cepat besar ya," ucapku sambil mengelus kepala Kimberly yang lembut.

Walaupun perasaan anehku belum juga hilang, namun melihat adikku yang sedang bersemangat makan, membuatku merasa sedikit lebih tenang.

Aku juga makan nasi Padang dengan sangat lahap, rasanya sangat lezat sesekali aku melihat mama yang tidur nyenyak.

Sesudah makan aku segera membuka laptop untuk menyelesaikan pekerjaan Kantor yang tadi tertunda, Kimberly duduk di samping bed mama.

"Kak, kim kok ngantuk" seru Kim

"Tidur saja dek, kakak mau lembur malam ini" Senyumku

Kimberly mengangguk ia menidurkan setengah badannya di samping mama, aku fokus membuatku presentasi untuk besok semoga besok semua di per lancar..

***

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

tetap semangat ya !!!!

2024-03-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!