Bab 2

Mentari pagi yang hangat menerobos masuk melalui celah-celah jendela kamar, menyapa kedua mataku yang baru terbuka.

Aku mendengar suara lembut bibik yang memanggilku dari luar kamar, "Nona, sudah waktunya bangun."

"Iya bik, aku udah bangun," seruku sambil menyibakkan selimut dan turun dari kasur.

Langkahku menuju kamar mandi, tubuhku masih terasa kaku setelah tidur semalaman. Air yang jernih mengalir di kulitku, menyegarkan pikiran dan tubuhku.

Selesai mandi, aku menghampiri cermin yang ada di dinding kamar. Wajahku yang segar setelah mandi membuatku teringat akan masa lalu.

Aku tersenyum tipis, mengenang bagaimana dulu aku menolak pinangan berbagai pria, hanya demi cinta sejatiku, Mas Hans. Aku memilih untuk menikah dengannya, dan sejak saat itu, banyak pria yang mencoba mendekatiku, namun tak satupun mampu menggoyahkan hatiku.

Bagiku, Mas Hans adalah segalanya. Dialah yang selalu ada di hati, menyemangati hari-hariku, dan membuat hidupku lebih berarti. Setiap detik yang kujalani bersamanya adalah berkah yang tak ternilai harganya, dan aku bersyukur telah memilihnya sebagai pasangan hidupku.

Setahun terakhir ini, perubahan suamiku begitu mencolok. Entah apa yang telah kulakukan hingga sikapnya terhadapku berubah drastis.

Usai berdandan, aku bergegas keluar kamar, berusaha melupakan sejenak kegelisahan hatiku akibat perubahan suamiku.

Di ruang makan, Titin yang kemarin malam lembur, sudah ada di sana. Aku mempersilakan dia tidur di rumahku untuk beristirahat. Dia duduk di meja makan sambil asyik memainkan ponselnya.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Aku melihat siapa yang menelepon dan ternyata Imas, sahabatku. Kebahagiaan langsung menyelimuti hatiku, dan dengan cepat aku mengangkat teleponnya.

Imas ["Halo, bestie! Kemarin malam aku nggak sempat mengangkat telfon kamu. Gimana?" ]

Aku tersenyum mendengar suara Imas yang hangat.

Aku ["Alhamdulillah akhirnya kamu menelpon aku balik, gak bisa kau bicara di telepon bagaimana kalo nanti kita bertemu?" ]

Kami pun terlibat dalam obrolan yang mengalihkan perhatianku dari kegelisahan yang kurasakan.

Namun, di balik semangatku berbicara dengan Imas, hatiku masih terusik oleh perubahan sikap suamiku. Aku bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengembalikan keharmonisan rumah tanggaku.

Setelah berbincang lama di telepon, aku memutuskan untuk menutup sambungan tersebut. Celotehan yang terasa dari suara bibi dan Titin membuatku tersenyum.

Aku melirik ke arah makanan yang ada di meja makan dan Titin menawarkan sarapan untukku. Kami pun duduk bersama, menikmati hidangan pagi itu.

Titin membacakan jadwal kegiatanku hari ini, "Hari ini Bu bos nggak terlalu sibuk." Seru titin menatapku

"Baik tin" Senyumku

Setelah menyelesaikan sarapan, aku dan Titin bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Karena kami memiliki mobil sendiri, kami memutuskan untuk menggunakan kendaraan pribadi masing-masing.

Sesampainya di kantor, Titin menggenggam tanganku erat, "Semoga hari Bu bos menyenangkan, ya. Nanti kalo ada meeting mendadak aku langsung bilang ke Bu bos ."

"Beres tin" seruku

Titin mengangguk dan tersenyum, merasa bersemangat menghadapi hari ini. Memandangi Titin yang mulai melangkah menjauh, aku tahu bahwa titin begitu peduli kepadaku.

Bahkan kalo aku sama mas Hans lagi marahan Titin selalu menyemangati aku, agar aku jangan cengeng dan menjadi wanita yang kuat.

Aku terbatuk-batuk saat memasuki lift yang akan membawaku menuju ruanganku di lantai atas.Begitu sampai di tujuan, pintu lift terbuka dan aku melangkah dengan mantap menuju ruanganku.

Sesampainya di sana, aku segera masuk dan langsung mengecek pekerjaan yang menumpuk di mejaku.

Di tengah kesibukan, aku mencoba untuk menelpon Mas Hans, namun hingga saat ini ponselnya belum juga aktif.

Rasa kesalku semakin memuncak, namun aku mencoba untuk tetap tenang. Aku memang tipe perempuan yang jika disakiti, tak akan lagi peduli. Semoga saja keanehan yang terjadi ini akan segera terungkap.

Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu di ruanganku. Tok tok.

"Masuk!" seruku dengan suara agak keras. Aku penasaran siapa yang akan datang

Ceklek

Pintu ruangan itu terbuka perlahan, dan sosok Titin tampak di baliknya. Wajah gadis itu menunjukkan ekspresi yang sulit aku artikan.

Tanpa ragu, Titin langsung duduk di kursi depan mejaku, hanya terhalang oleh meja yang memisahkan kami.

"Apa yang terjadi, Titin?" tanyaku dengan rasa penasaran.

Dengan lelah, Titin mengusap wajahnya sebelum menjawab, "Tadi, rekan bisnis dari Pak Hans meneleponku."

Aku terkejut mendengar hal itu. "Lalu, apa yang mereka katakan?"

Titin menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Mereka menyuruhku untuk bertanya kepadamu di mana Pak Hans. Mereka tau kalau bu bos adalah istrinya. Mereka ingin mengetahui keberadaan suamimu Bu bos."

Aku merasa semakin dibuat pusing oleh situasi ini. "Aku juga tidak tahu di mana dia sebenarnya, Titin. Mas Hans benar-benar menyebalkan! Apakah dia tidak sadar betapa khawatirnya aku dan orang-orang di sekitarnya?"

Titin menggenggam tanganku, mencoba memberikan dukungan. "Tenanglah, semoga saja Mas Hans segera memberi kabar, aneh juga sebenarnya di mana mas Hans??

rasa kekhawatiran dan kesal terus menghantuiku, menciptakan pertanyaan besar dalam hati: di mana sebenarnya suamiku, Mas Hans?

"Bilang saja tin, mas Hans lagi sakit gitu atau apalah terserah kamu saja" kesalku

"Baik Bu bos, saya permisi dulu ya"

"Iya tin"

Begitu Titin melangkah keluar dari ruanganku, beberapa karyawan bergegas masuk untuk meminta tanda tanganku pada berkas yang mereka bawa.

Aku berusaha keras untuk tetap fokus dan profesional dalam bekerja, tidak ingin membiarkan masalah pribadiku mengganggu pekerjaanku. Seiring berjalannya waktu, jam makan siang pun tiba.

Aku segera mengirim pesan kepada Imas, mengajaknya untuk segera bertemu di kafe kesukaan kami.

Sambil menunggu balasan dari Imas, aku mencoba menenangkan diri dengan menutup mata sejenak. Namun, ketenangan itu terganggu oleh ponselku yang berdering. Layar ponsel menunjukkan bahwa Mas Hans yang menelpon.

Dengan perasaan penasaran dan harap-harap cemas, aku segera mengangkat telepon itu.

Aku ["Halo, Mas Hans? Ada apa?" tanyaku, ] berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.

Suara Mas Hans terdengar dari seberang,

Mas Hans ["sayang maaf baru ada sinyal di sini, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Apakah kamu punya waktu sebentar?" ]

Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apapun yang akan dia sampaikan.

Aku [ "Baiklah, Mas. Aku ada waktu sekarang. Silakan bicara." ]

Dengan hati berdebar, aku mendengarkan setiap kata yang diucapkan Mas Hans, berharap bisa menemukan jawaban atas semua kegundahan yang sedang kuhadapi.

Mas Hans [ sayang maaf, aku tidak bisa pulang satu Minggu ini ya?"]

Degh..

Aku [ Oo ]

Mas Hans [ kamu gak mau tau apa alasannya? Cuman oh saja? ]

Aku tersenyum miring mendengar perkataannya,

Aku [ tidak, karena kamu tidak lagi ke luar kota, melainkan kamu entah berada di mana? Jadi aku gak mau tau alasan kamu ]  aku langsung mematikan telfon nya

****

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

masih . menyimak

2024-03-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!