Bab 4

Setelah rena pergi dan menceritakan semuanya ada hal yang aneh dengan suami rena.

Imas dan aku berjalan menuju mobil yang terparkir di depan restoran, Rasa penasaran kami tentang pernikahan Rena semakin menjadi-jadi.

Bagaimana tidak, pernikahan yang tidak mengundang teman sendiri, nomor ponsel yang diganti, dan tidak boleh bermain di sosial media.

"Rea, apa jangan-jangan Rena itu menikah dengan suami orang?" gumam Imas sambil menaiki mobil.

"Hush!" seruku, mencoba meredam teori liar Imas. Namun, di dalam hati, aku juga merasa aneh dengan situasi ini.

**

Sore harinya aku bergegas untuk pulang mau ke rumah mama tapi males kalau ditanya, kenapa mas Hans tidak ikut karena Mama sangat menyayangi mas sudah seperti anaknya sendiri..

Setibanya di rumah aku langsung mandi dan memakai piyama duduk di ruang televisi sambil menikmati kopi dan cemilan..

"Rea !!" Seru mas Hans

Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba suara mas Hans mengagetkan aku, aku langsung kaget menatap ke arah mas Hans yang sekarang berada di belakangku sambil menatapku tajam..

"Loh, katanya kamu lagi diluar kota?" Kagetku

Mas Hans berdiri tegak di depanku tanpa menjawab pertanyaanku, lalu ia menatapku dengan tajam dan berkata, "Ikut aku ke kamar." Aku pun mengikuti langkahnya, berjalan di belakang Mas Hans, dan kami masuk ke dalam kamar.

Sesampainya di kamar, aku segera menutup pintu, mas Hans Berjalan terus mendekatiku dan aku Berjalan mundur.

"Apa maksud kamu tadi berbicara seperti itu kepadaku dan kamu terlihat sangat cuek kepadaku!" Tanya mas Hans

Aku terdiam sejenak, mengusap wajahku, lalu menatapnya dengan tatapan yang berbeda. "Nggak ada maksud apa-apa kok,. Seperti ini kan yang kamu mau? Aku tidak terlalu ikut campur dengan urusan pribadi kamu!" sahutku dengan nada sinis.

Mas Hans tampak kesal dengan sikapku. Ia menatapku dengan tajam, lalu berkata dengan suara keras, "Rea!"

"Apa!" balasku, tidak gentar dengan amarahnya.

"Berani kamu!" ujar Mas Hans, tubuhnya bergetar karena emosi yang terpendam.

Namun, aku tetap santai menanggapi semua kemarahan yang diarahkan kepadaku. Di balik kekesalan Mas Hans, aku tahu bahwa ada rasa cemas dan kekhawatiran yang ia pendam.

Namun, aku memilih untuk tidak menunjukkan empati atau simpati kepadanya, karena aku ingin melihat sejauh mana Mas Hans akan berusaha menutupi sesuatu yang entah apa dia sembunyikan dariku.

"Rea, kenapa kamu berubah?" seru Mas Hans dengan wajah bingung dan sedikit marah.

"Aku? Berubah? Gak salah?" senyum miringku sambil menatapnya tajam. "Bukannya kamu yang berubah, Mas? Udahlah, gak usah mencari kesalahan orang lain, gak baik," seruku kesal sambil melipat kedua tangan di dada.

"Dengar, Rea! Aku melakukan semua ini hanya untuk kamu, untuk kehidupan kita!" Mas Hans berteriak sambil menunjuk dadanya, raut wajahnya tampak serius dan penuh penyesalan.

"Terima kasih, kamu sudah mau berjuang untuk aku. Tapi, asal kamu tahu ya, aku ini nggak mata duitan dan kak matre juga. Aku juga butuh perhatian dan kasih sayang kamu seperti dulu," ucapku dengan nada sedih sambil menundukkan kepala.

"Iya, kami bisa bilang gak butuh uang karena kamu udah punya banyak" seru mas Hans

"tapi uang nggak bisa membeli cinta, Mas. Kamu harus tahu itu," tambahku dengan mata berkaca-kaca.

Mas Hans terdiam, matanya menatapku dalam-dalam seolah mencari jawaban dari segala pertanyaan yang ada di benaknya.

Tapi aku melihat tidak ada perasaan  bersalah dan menyadari bahwa mungkin selama ini dia terlalu sibuk mencari materi hingga melupakan hal yang paling penting dalam hidup, yaitu kasih sayang dan perhatian.

"Aku kecewa sama kamu rea"

Aku merasa tertohok mendengar perkataan suamiku, Mas Hans. Seolah-olah seluruh dunia runtuh di hadapannya.

"Bagaimana bisa dia berkata begitu?" batinku

Aku mencoba menahan air matamu yang mulai menggenang di sudut mata.

"Dengar ya, Rea, aku juga ingin anak berada di tengah-tengah keluarga kita, tapi kamu sibuk bekerja sampai kamu melupakan kewajiban kamu!" ucap Mas Hans dengan nada tinggi.

"Tentu tidak, aku selalu berusaha menjadi istri terbaik untuk kamu, Mas, tapi kamunya saja yang gak mau bersyukur!" balas Rea dengan suara yang bergetar karena menahan tangis

"Aku rasa kamu itu sangat egois" seru Mas Hans lalu duduk di kasur, memijat keningnya yang terasa berdenyut, perlahan aku berjalan mendekatnya..

"Apa kamu ada masalah di kantor, Mas? Sampai kamu seperti ini sama aku? Atau aku punya salah sama kamu?" tanya Rea dengan nada lembut, berusaha meredakan situasi.

"Iya, kamu tidak bisa memberikan aku anak, Rea!" sentak Mas Hans, membuat ku terdiam tak percaya.

"Tapi aku gak mandul mas, kamu dengar sendiri kan kata dokter, kita harus bersabar"

"Aagh, !!"

Air mata yang sempat tertahan akhirnya menetes, membasahi pipiku yang merah padam, gak percaya mas Hans akan bilang seperti itu.

Aku terpaku, tak tau harus mengatakan apa. Dia merasa seluruh tubuhnya lemas, tak mampu melawan kata-kata pedas yang keluar dari mulut suamiku itu.

Namun, di balik air mata yang mengalir, aku menemukan tekad untuk membuktikan pada Mas Hans bahwa dia bisa menjadi istri yang baik dan mampu memberikan kebahagiaan yang diinginkan suaminya.

Aku terdiam sejenak, kemudian mengusap air mata yang mengalir di pipi. "Jadi, itu alasan sebenarnya, Mas?" tanyaku dengan suara serak.berusaha menahan rasa sakit di hati. "Padahal, Mas tahu sendiri kalau kandungan aku ini lemah, dan kita harus bersabar."

"Sabar terus? Aku bosen, Rea!" Mas Hans membentak, tampak kesal dan frustrasi.

Aku mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. "Oke, Mas, oke. Jadi, apa yang Mas inginkan sekarang?" tanyaku, berusaha mengendalikan emosi.

"Aku mau kamu berhenti bekerja dan fokus berumah tangga," tegas Mas Hans.

Aku tersenyum pahit, kecewa dan bingung. Apakah Mas Hans lupa kalau aku bekerja untuk perusahaan Papa yang dia tinggalkan untukku dan Mama..

Sebelum menikah, aku sudah menjelaskan ke Mas Hans bahwa aku tidak bisa berhenti bekerja karena aku anak satu-satunya dan harus melanjutkan usaha Papa.

Kenapa sekarang dia malah menuntut hal yang berbeda? Aku menunduk, merasakan perih yang mendera hati.

Apakah cinta yang pernah ada di antara kami kini telah pudar, hanya karena aku belum bisa memberikan keturunan?

Mas Hans berdiri dari duduknya, ia berjalan keluar kamar, aku masih duduk di tepi ranjang gak mau juga ngejar mas Hans dia emang sudah berubah.

Aku sungguh kecewa dengan mas Hans, sangat sakit menusukku, siapa mau menjadi istri yang belum juga bisa memberikan suaminya keturunan?

Bukankah kita harus bersabar dan bersyukur entah apa yang di berikan oleh sang Maha kuasa? Kita sebagai Hambanya hanya bisa berusaha dan berdoa.

**

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

alasan klasik tentang anak, padahal mau mendua 😠

2024-03-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!