Bab 8

Dengan langkah mantap, aku berjalan menuju suamiku yang menungguku di halaman belakang rumah.Angin berhembus sepoi-sepoi, menggoyangkan dedaunan yang ada di sekitar.

Aku melihat senyum di wajah suamiku, senyuman yang dulu sangat aku cintai, namun kini rasanya hanya membuatku muak dan pahit di hati.

"Rea, aku mau menjelaskan semuanya," ujar suamiku dengan nada lembut, seolah berusaha meredakan amarahku.

"Silahkan," balasku sambil tersenyum tipis, mencoba menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk jantungku.

Aku bersandar pada pohon yang ada di sampingku, menatap lurus ke matanya yang sekarang terasa asing.

"Aku hanya ingin mempunyai anak itu saja, Rea. Tapi sungguh, aku tidak mencintai dia," kata suamiku, seraya menghela napas panjang.

Aku tersenyum sinis ke arahnya, merasa tidak bisa lagi percaya dengan omongannya. "Apa sekarang kamu sudah bahagia? Dengan pernikahan kamu dan istri keduamu itu?" tantangku, mengejek.

Suamiku menundukkan kepalanya, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjawabku. "Rea, aku tau ini salah. Tapi, aku hanya ingin punya keturunan," jawabnya dengan suara serak, penuh penyesalan.

Aku mengepalkan tangan, merasakan kekecewaan yang semakin memuncak. "Jadi, kamu rela menghancurkan hatiku demi keinginanmu itu?" bisikku lirih, tak mampu menahan air mata yang mulai mengalir di pipiku.

Di tengah keheningan, hanya suara angin dan dedaunan yang saling berbincang. Aku dan suamiku terdiam, saling menatap dalam-dalam, mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menggantung di antara kami.

"Maafkan aku, Rea," lirih suamiku,  dengan wajah penuh penyesalan.

"Belum bisa kalau sekarang, Mas," jawabku tegas, merasakan amarah mulai memuncak dalam hati.

"Aku tahu, tapi aku mohon kamu tetap bersamaku," pintanya, matanya menatapku memelas.

Aku langsung menoleh ke arahnya, kesal mendengar permintaannya. Apakah dia pikir aku tidak punya perasaan? Bagaimana bisa dia memintaku untuk tetap bersamanya setelah apa yang telah dia lakukan?

"Dan aku tidak mau tetap bersamamu, Mas! Aku tidak tahan ! Aku tidak sudi punya madu !" tegasku, menatap matanya yang penuh air mata.

"Tapi, Rea, aku..."

"Gak, aku gak mau!" potongku, tidak ingin mendengar alasan apapun darinya. "Kamu gila, Mas! Jangan egois ! Kamu tahu sakitnya perasaan aku seperti apa, kan?! Kamu sangat menyakiti perasaanku, Mas!"

Aku tidak bisa lagi menahan air mata yang mengalir deras, hati ini terluka karena pengkhianatan suami yang seharusnya melindungiku. Namun, kini dia malah menjadi biang kerok penderitaanku.

tiba-tiba Mas Hans berjalan mendekatiku dengan tatapan sayu. Dia tampak ingin memelukku, tapi begitu aku menyadari niatnya, aku segera menyingkir dan menatapnya dengan wajah risih.

Entah mengapa, sejak mengetahui bahwa dia juga suami Rena, perasaanku berubah. Aku tidak bisa membayangkan suamiku tidur dengan perempuan lain.

"Jangan mendekat," ucapku tegas.

"Tapi kamu masih istriku, Rea?" sahut Mas Hans.

"Gak lagi!" seruku marah, berlalu meninggalkan Mas Hans.

Mas Hans meraih tanganku, namun dengan sigap aku melepaskannya dan menyuruhnya pergi. "Pergi ke Rena!" seruku.

"Ini rumah aku, Rea, jadi kamu tidak berhak melarangku!" jawab Mas Hans dengan tegas.

"Baik!" seruku balik. Aku segera berlari menuju kamar, membuka pintu lemari dan mulai mengemasi barang-barangku. Aku tak ingin lagi tinggal bersama seorang pria yang telah mengkhianati hatiku.

Mas Hans melangkah masuk ke kamarku dengan langkah angkuh, senyum miring terpampang di wajahnya. Aku sedang sibuk menata pakaianku di dalam koper, berusaha mengabaikan kehadirannya yang mengganggu.

"Kamu tanpa aku bisa apa, Rea?!" ejek Mas Hans sambil mengejek. "Perusahaan kamu juga tanpa perusahaan aku bisa apa?!"

Aku mencoba mengabaikan perkataannya yang menyakitkan itu dan tetap melanjutkan mengemasi barang-barangku, namun jantungku berdebar kencang.

"Rea! Rea! Kamu sudah siap ibumu mati kalau tahu kamu mau pisah denganku?" tawa sinis Mas Hans meluap, membuatku merasa semakin terhina.

Aku menatap tajam wajah Mas Hans, tak menyangka bahwa pria yang pernah kucintai itu bisa berkata begitu kejam kepadaku. Namun, aku tidak ingin menunjukkan kelemahanku di depannya.

Tiba-tiba, bel rumah berbunyi, menghentikan aksi saling tatap kami. Tak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar, membuat suasana semakin menegangkan.

Aku berharap siapa pun yang datang itu bisa membantu mengakhiri penderitaanku di tangan Mas Hans, atau setidaknya memberikanku keberanian untuk melawan balik dan melanjutkan hidup tanpa dirinya.

"Sayang!" seru Rena dengan nada manja saat membuka pintu rumahku. Wajahnya yang genit membuat hatiku bergemuruh, tak percaya dia berani datang ke sini.

"Kamu yang menyuruh dia datang kemari, Mas?" tanyaku sinis kepada Mas Hans, suamiku yang baru saja keluar dari kamar tidur.

Mas Hans tampak bingung, ia segera berjalan keluar menuju ruang televisi, dan aku mengikutinya dengan langkah gusar.

"Sayang, kenapa kamu masih di sini? Aku sangat merindukan kamu, ayok pulang," ucap Rena manja sambil mendekati Mas Hans, berusaha memeluknya.

"Dari mana kamu tahu alamat rumah ini?" tanyaku dengan nada sinis, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak.

Rena terkejut, ia menghentikan langkahnya dan memandangi kami berdua. "Dari suami kamu, tentunya. Dia yang memberitahuku," jawabnya dengan nada datar, seolah tak peduli dengan perasaanku.

Aku merasa dikhianati, bagaimana mungkin suamiku memberikan alamat rumah kami kepada perempuan seperti Rena? Amarahku semakin membara, namun aku berusaha mengendalikannya demi menjaga suasana rumah yang semakin mencekam.

Aku menatap Rena dengan perasaan yang sangat kecewa, bagaimana bisa dia biasa saja dan tidak merasa bersalah, padahal dia tau suaminya juga suamiku.

"Rena, apa kamu gak kaget dengan kenyataan ini? Apa kamu gak marah sama mas Hans ternyata sudah beristri?" tanyaku dengan nada yang penuh keheranan.

Rena tertawa terbahak-bahak, seolah-olah tak ada yang salah dengan situasi ini. "Rea, Rea, aku udah tau dari dulu kalo Hans ini suami kamu," ungkapnya dengan santai.

Mendengar itu, jantungku berdegup kencang. "Apa!" teriakku tak percaya.

"Iya, aku tau sejak awal," lanjut Rena dengan senyuman mengejek di wajahnya.

Air mata mulai menggenang di sudut mataku, kekecewaan dan kemarahan bercampur menjadi satu. "Lalu, mengapa kamu tetap mau menikah dengan suamiku? Apa kamu tidak merasa bersalah?" desakku.

Rena hanya mengangkat bahu, seolah tak peduli dengan perasaanku. "Mungkin aku memang egois, Rea. Tapi, setidaknya aku bahagia bersama Hans, bukan seperti kamu yang terus menerus menangis karena dikhianati suami sendiri."

Kata-kata Rena menusuk hatiku seperti pisau tajam. Aku tak tahu harus berbuat apa, selain menangis dan meratapi nasibku yang terpuruk ini.

"Apa maksud kamu sebenarnya Rena? Jangan jangan kamu emang sengaja bertemu aku waktu itu dan mengajakku untuk main kerumah kamu agar aku tau semuanya?" 

"Kamu Emang dari dulu gak berubah, selalu pintar" ucapnya dengan memandangku penuh kebencian 

Degh !

****

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

aduh Thor, berhasil mengaduk aduk hatiku rasa ingin gampar si pelakor

2024-03-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!