Bab 7

Aku menoleh ke arah seseorang tersebut, pria itu menatapku dengan wajah kesal, alisnya bertaut dan dagunya mengerucut.

Aku kaget bukan main, ternyata dari tadi aku teriak-teriak gak jelas ada pria ini di kursi itu. Dia duduk dengan tenang, seolah-olah tak terpengaruh oleh teriakanku.

"Kalo mau teriak di hutan sana!" ucapnya dengan nada ketus, menunjuk ke arah yang jauh.

"Siapa suruh kamu di sini!" balasku dengan kesal, tanganku dikepal erat dan pipiku memerah karena malu.

Pria itu tersenyum miring, mengejekku. Dia meraih kerah bajunya, lalu membuka kacamata hitamnya yang dari tadi melekat di matanya dan membuka maskernya.

Wajahnya terlihat jelas sekarang, membuatku semakin penasaran. Imas, yang selama ini berdiri di sampingku, membulatkan kedua matanya saat melihat wajah pria itu.

Aku mengusap wajah Imas, agar dia mengkedipkan kedua matanya,

"Sebelum kamu kesini, aku sudah duluan di sini," seru pria itu dengan nada angkuh, menatapku tajam seolah ingin menakut-nakuti aku.

"Biasa saja kali natapnya, gak takut aku !" Sinisku

Pria itu tersenyum miring ke arahku, membuat emosiku memuncak. Dia memang sangat menyebalkan.

"Kasihan suaminya nikah lagi," serunya sambil berdiri dari duduknya.

"Apa!" kesalku.

Pria itu hanya melirikku, membuat darahku semakin mendidih. Saat dia mulai menjauh, aku berlari mengejarnya.

Entah kekuatan dari mana yang membuatku mampu berlari kencang dan langsung memukulnya tanpa ampun. Anehnya, pria itu hanya diam saja menerima pukulanku.

"Rea ! Apa-apaan kamu? Hentikan, Rea!" seru Imas.

Namun, aku tidak mendengarkan perkataan Imas. Emosiku yang sudah meluap-luap membuatku terus memukuli pria menyebalkan itu tanpa henti.

Aku merasa begitu marah dan sedih hingga tak bisa menahannya lagi. Aku mulai memukul dada bidang pria yang baru saja aku temui dengan keras, sambil menangis sesegukan. Aku meluapkan kekecewaan yang aku rasakan saat melihat pria yang baru saja aku lihat.

"Rea, hentikan!" seru Imas, sahabatku, berusaha menghentikan pukulan ku yang tak henti-henti.

Namun, pria yang menjadi sasaran amarahku hanya tersenyum lembut dan berkata, "Tidak apa-apa, biarkan saja."

Tak peduli dengan apa yang dikatakan pria itu, aku terus memukulnya hingga hatiku merasa cukup lega. Lama kelamaan, aku tak tahan lagi dan memeluk pria itu erat, mencoba menenangkan diri.

Imas langsung menyeret ku untuk melepaskan pelukanku dari pria tersebut. Aku baru menyadari bahwa aku habis memeluk pria itu tanpa alasan yang jelas.

Aku menatapnya dengan malu, merasa begitu kikuk dan menyesal. Aku mencoba meminta maaf, namun pria itu hanya tersenyum dan mengangkat tangannya, seolah mengatakan tak apa-apa.

Dia kemudian pergi begitu saja, meninggalkan aku dan Imas yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

"Aku malu, Imas!" seruku sambil menutup wajahku dengan kedua tangan. Imas kini terkekeh, lalu aku membuka sedikit celah di antara jari-jari tanganku dan menatapnya kesal. Pasti dia sedang mengejekku.

"Kamu sih, main peluk-peluk saja. Pasti pria itu merasa kamu perempuan tidak baik dan kecentilan," ejek Imas sambil tertawa terbahak-bahak.

"Tau, ih!" aku menghela napas, lalu duduk di kursi yang ada di depanku sambil menatap ke depan dengan wajah murung. Entah kenapa, aku tadi merasa sangat nyaman saat memeluk pria itu. Dasar aku ini!

Imas duduk di sampingku dan menepuk-nepuk pundakku ringan. "Jadi, apa rencana kamu sekarang, Rea?"

"Pisah," jawabku tegas.

"Ha?" Imas terkejut.

"Aku tidak bisa berbagi, Imas. Aku tidak sanggup melihat suamiku bersama wanita lain," ungkap ku dengan nada penuh keputusasaan.

Imas menggenggam tanganku erat, menatap mataku penuh kehangatan. "Apapun keputusan kamu, aku akan membantu kamu untuk mengurus semuanya," ucapnya dengan tegas.

"Makasih ya, Imas," senyumku terharu, merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Imas di sisiku.

Karena hari mulai redup, aku dan Imas memutuskan untuk segera pulang. Sebelum berpisah, aku mengucapkan terima kasih sekali lagi.

"Imas, terima kasih banyak ya, semoga segera berlalu."

Aku segera masuk ke dalam mobil, melajukan mobil dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang cukup padat. 

Di tengah perjalanan, ponselku terus berdering. Aku tidak mengangkatnya karena aku tahu pasti itu Mas Hans, jadi aku biarkan saja berdering tanpa dihiraukan.

Sesampainya di depan pintu gerbang rumahku, aku menghela napas lega, bersiap untuk menghadapi segala konsekuensi dari keputusan yang telah aku buat bersama Imas. 

Aku tau, dengan dukungan Imas dan keyakinan diri, aku akan mampu melewati masa-masa sulit ini.

Aku menghela napas dalam-dalam ketika melihat mobil suamiku sudah terparkir di halaman rumah.

Sejenak, aku mencoba menguatkan hati agar tetap tegar menghadapi kemarahan yang mungkin akan ku hadapi.

Pak satpam membuka pintu gerbang dengan senyum ramah. "Makasih, Pak," ucapku

sambil mengangguk sebelum melajukan mobil masuk ke dalam halaman rumah.

Setelah memarkir mobil, aku membuka pintu dan berjalan menuju rumah dengan langkah pasti.

Aku mencoba mempertahankan senyum di wajahku, mengesampingkan kekhawatiran yang mulai merayapi hatiku.Begitu melangkah masuk kedalam kamar, terdengar suara menggelegar suamiku memanggilku,

 "Rea!" Wajahnya tampak merah padam, menandakan betapa marahnya dia padaku. Namun, aku tak peduli. Dengan tenang, aku menutup pintu kamar dan melanjutkan aktivitas yang sedang kulakukan. 

Aku tak ingin larut dalam kemarahan suamiku. Sebagai wanita kuat, aku harus tetap tegar menghadapi badai yang menerpa rumah tanggaku.

Aku menatap suamiku dengan tatapan dingin, kemudian membuang mukaku sambil mengusap wajah dengan kapas untuk membersihkan kotoran sebelum mandi.

Tiba-tiba, suamiku, Mas Hans, memegang lenganku dengan erat dan berkata, "Rea! Apa kamu tidak mendengarkan suamimu?"Rea merasa terkejut dan kesal, lalu dengan sinis menjawab,

"Lepaskan aku, aku gak sudi dipegang kamu!" Mas Hans segera melepaskan genggamannya, dan Rea berdiri untuk mengambil handuk.

Namun, lagi lagi mas Hans kembali menghadang,  membuatku semakin kesal dan ilfil melihat dia yang sudah tega diam diam menikah di belakangku.

"Apa maumu?" teriakku , menahan emosiku yang mulai memuncak.

"Kita perlu bicara, Rea," jawab Mas Hans dengan suara yang lebih tenang.

Aku menghela napas, lalu berkata datar, "Tunggu aku di halaman belakang."

Dengan langkah gontai, aku melangkah ke kamar mandi, meninggalkan suamiku yang masih berdiri.

Mas Hans menatap punggungku yang menjauh, mungkin merasa khawatir akan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam percakapan mereka nanti.

Selesai mandi aku langsung mengambil piama di lemari, ingin nangis Rasanya saat melihat wajah suamiku yang sangat kejam kepadaku.

***

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

kalau aku bukan kesal lagi melihat suami seperti Hans, langsung ku getok kepalanya

2024-03-23

0

Ma Em

Ma Em

Rea kamu yg sabar kalau memang sdh tidak cocok sama Hans sdh pisah saja mungkin kebahagiaan kamu bukan sama Hans semoga Rea dapat lelaki yg baik setia, mencintai dan menyayangimu .

2024-03-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!