Bab 16

Begitu kami sampai di perusahaan Pak Jayanto, Titin dan aku bergegas masuk ke dalam gedung dengan hati berdebar.

Setiap langkahku, aku berdoa agar aku bisa kuat menghadapi pertemuan dengan suamiku yang akan berada di sini juga.

"Ayo, Bu Bos! Lari, mumpung pintu lift belum tertutup!" seru Titin sambil menarik tanganku.

"Iya, Tin," jawabku sambil mengikuti langkah Titin.

Aku dan Titin berlari kecil hingga kami sekarang berada di depan lift yang sedang terbuka. Pintu lift yang hampir tertutup membuat kami terhenti sejenak.

Deg!

Betapa terkejutnya aku melihat sosok yang ada di depanku saat ini. Ya, suamiku dan istri keduanya berada di lift tersebut.

Aku merasa seperti ditampar keras oleh kenyataan ini. Wajah suamiku yang tampak tenang seolah tidak merasa bersalah sama sekali membuat hatiku semakin pilu.

Aku langsung menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Aku tidak ingin mereka melihat kelemahanku. Namun, Titin yang menyadari keadaanku segera menyemangatiku.

"Ayo, Bu Bos!" seru Titin sambil menepuk-nepuk pundakku.

Dengan menahan perasaan yang terluka, aku mengumpulkan keberanian untuk masuk ke dalam lift.

Pintu lift pun tertutup dan kami semua di dalamnya, saling berdiam diri dalam suasana yang begitu mencengkam.

Tangan suamiku yang memegang istri keduanya itu seolah menusuk hatiku yang sudah parah.

Namun, aku berusaha tegar dan tidak menangis di depan mereka. Aku harus kuat, demi diriku dan orang-orang yang peduli padaku.

Rena berjalan mesra bersama Hans, berpegangan tangan dan sesekali merapatkan kepalanya ke pundak Hans.

Aku, yang hanya berjarak beberapa langkah di belakang mereka, merasakan hati ini hancur berkeping-keping. Aku merasa tak sanggup untuk menahan air mata yang hampir menetes.

"Ya Allah, kuatkan lah aku, jangan sampai aku menangis di sini," bisikku dalam hati. Hans kini benar-benar telah berubah, seolah tak mengenalku lagi.

Saat pintu lift terbuka, Rena berkata pada Hans dengan manja, "Sayang, semangat ya!"

Aku hanya bisa diam, menahan perih hatiku. Rena melirik ke arahku dan tersenyum mengejek.

Aku segera membuang muka, berjalan mendahului mereka berdua dan langsung masuk ke ruang meeting yang sudah ditunggu oleh para CEO perusahaan lainnya.

Di tengah rapat, aku berusaha untuk tetap fokus pada pembahasan yang sedang berlangsung.

Namun, hatiku tetap tak bisa menahan sakit saat melihat Hans dan Rena, yang duduk bersebelahan di ruang yang sama.

"Semangat, rea kamu pasti bisa !" bisikku pada diri sendiri, mencoba menguatkan hati yang hancur ini.

Pak Jayanto berdiri di depan panggung, mengawali sambutan dengan penuh semangat. Setelah itu, CEO-CEO dari perusahaan lain mulai mempresentasikan ide dan strategi mereka.

Semua terlihat meyakinkan dan membuat suasana di ruangan semakin serius. Aku berusaha untuk tidak menatap Hans sama sekali, fokus saja pada orang yang sedang berbicara.

Sekarang tiba giliran Hans maju ke depan. Rena, istri keduanya, tampak sangat bersemangat menyambut suaminya yang juga suamiku.

Wajahnya berseri-seri, seolah mengejekku. Tak lama kemudian, Rena melemparkan secuil kertas ke arahku. Aku meraihnya dengan tangan gemetar dan membuka lipatan kertas itu. Ternyata, sebuah pesan singkat yang membuatku mendidih.

["Aku yakin kamu pasti kalah istri pertama,"] tulis Rena di kertas itu.

Aku langsung menatap tajam ke arah Rena, lalu tersenyum sinis padanya. Kini, giliran aku yang akan membuktikan bahwa aku bisa lebih baik daripada istri kedua Hans itu.

Aku berjanji pada diri sendiri, aku akan menunjukkan bahwa sebagai istri pertama, aku tetap istimewa di hati Hans dan tidak akan kalah oleh Rena.

Sementara itu, Hans mulai menyampaikan presentasinya dengan lancar dan penuh percaya diri.

Semua mata tertuju padanya, termasuk mataku yang tak henti-hentinya menatap suamiku itu.

Aku tahu, ini adalah saat yang menentukan bagi masa depan ku, dan aku harus bisa menghadapinya dengan tegar dan tabah.

Setelah presentasi usai, Hans kembali duduk di samping Rena yang terus tersenyum bangga padanya.

Aku pun menghela napas panjang, bersiap untuk kedepan membacakan persentaseku. Tak peduli seberapa keras Rena mencoba menjatuhkanku, aku akan tetap tegar dan menunjukkan bahwa aku adalah rea yang tangguh dan tidak mudah menyerah.

Setelah mengucapkan alhamdulillah, aku kembali duduk di kursiku dengan perasaan cemas.

Hans menatapku tajam, begitu juga Rena yang seakan-akan menerawang jantungku. Aku berusaha memasang wajah datar, tak ingin menunjukkan rasa gugup yang melanda.

Kami menunggu dengan harap-harap cemas saat Pak Jayanto, pemimpin rapat tender ini, akan mengumumkan siapa yang keluar sebagai pemenang. Hatiku berdebar sangat kencang, tak bisa kubendung.

Akhirnya, Pak Jayanto membuka mulutnya, "Selamat Ibu Rea, Anda pemenang tender ini!" serunya dengan lantang.

"Alhamdulillah," seru aku dan Titin serentak, lega campur bahagia.

Titin langsung memelukku erat, tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Para CEO dari perusahaan lain yang juga hadir di ruangan itu, satu per satu menyalami tanganku dan mengucapkan selamat.

Aku dan Titin menghampiri Pak Jayanto, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kepercayaan yang diberikan. Kini, kami siap untuk melaksanakan proyek besar ini dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi.

Aku dan Titin berjalan keluar dari ruangan, setelah berpamitan kepada Pak Jayanto. Titin tampak sangat bahagia, wajahnya berseri-seri karena keberhasilanku hari ini.

Namun, dari sekian banyak CEO yang ada di ruangan tadi, hanya Hans yang tidak mengucapkan selamat kepadaku. Tapi, tidak masalah, pikirku, tidak penting juga.

"Rea!" tiba-tiba terdengar suara yang sangat kukenal, siapa lagi kalau bukan Hans. Ia berjalan mendekatiku dengan langkah cepat.

"Bu bos, kita pergi saja. Gak usah ladenin orang seperti dia," kesal Titin, menarik tanganku untuk segera pergi.

"Sebentar, Tin," ujarku, menahan Titin yang masih ingin menarikku pergi.

Aku ingin melihat apa yang ingin Hans sampaikan kepadaku. Aku menoleh ke arah Hans yang sudah berdiri di hadapanku.

"Iya, ada apa, Hans?" tanyaku dengan nada sinis, menatap matanya yang tampak gelisah.

"Gak sopan, kamu, Rea. Aku masih suami kamu rea dan seharusnya kamu yang sopan," ujar Hans dengan ekspresi yang tampak menyesal.

Aku tersenyum miring kearahnya. Sedangkan Titin hanya terdiam di sampingku, menatap kami berdua dengan rasa penasaran.

"Kita harus bicara" sentak Hans

"Bisa gak biasa saja, telingaku masih normal kok, dan gak usah ngegas santai aja" seruku

"Sombong kamu rea, baru saja bisa memenangkan tender ini saja udah sombong sama suami kamu, biasanya kamu kalah dan tidak bisa apa apa !" Ejeknya

Hahahaha..

"Waktu itu karena aku menghormati kamu Hans, jadi aku tidak pernah serius memenangkan tender manapun"

Hans berjalan mendekatiku.."perempuan mandul gak usah sok pintar" sinisnya

Hatiku sangat mendidih mendengar ucapannya barusan, reflek aku menampar pipinya..

Plak ..

***

Terpopuler

Comments

Andini Putri

Andini Putri

jangan2 rena bukan hamil anak Hans..aku jd penisirin..

2024-04-29

1

Sunarmi Narmi

Sunarmi Narmi

Ngapain nangis....Rea..sdh tau kelakuan suami dn sahabat..mewek boleh tpi jgan lebay amat lah....sengit aku wong wedok rapuh..

2024-03-31

0

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

plak, sekali lagi dong tampar nya

2024-03-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!