Berpisah

Keduanya menjadi hening cukup lama selama di lift. Hal itu disebabkan oleh Liam yang tertidur pulas selama menyembunyikan wajahnya, tidak peduli dengan pertengkaran yang sedang terjadi saat ini. Mungkin Liam kelelahan setelah bermain ular tangga semalaman dengan Oliver.

Oliver menutup mulutnya sejak tadi sambil menunggu pintu lift terbuka. Tangannya dengan lembut mengelus-elus punggung Liam selama menuju lantai teratas.

Adapun Tyler yang tidak lepas memperhatikannya sambil bersandar di dinding lift. Keheningan cukup membuat kedua orang lainnya sesak nafas di dalamnya. Oscar dan Jeremy hanya bisa diam di bagian belakang sambil memperhatikan tuan dan nona mereka.

"Seingatku, kau tidak suka anak kecil. Kau bilang mereka berisik."

Oliver menatapnya sinis. "Bagaimana denganmu? Kau paling membenci anak kecil, kan?"

Tyler mengangguk kecil. "Ya, tapi itu dulu. Aku seorang ayah sekarang. Suka tidak suka, aku harus suka."

Oliver terlihat mengatur nafasnya, seperti berusaha mengontrol emosinya yang bisa saja lepas lagi.

"Dia benar-benar putramu?"

"Aku punya buktinya."

"Kau menyiksanya," desis Oliver.

"Sudah kubilang tidak, Ollie— Miss. Stacy. Anak itu berusaha menjodohkanku," ungkap Tyler.

"Ck! Dia hanya anak kecil." Oliver tidak mempercayainya. Anak kecil mana yang sudah berpikir seperti itu, kecuali iseng.

"Dia bukan anak kecil biasa, asal kau tahu. Aku khawatir kau sudah tertipu."

Benar, kan! Sudah kuduga anak itu pintar! Oscar menjerit dalam hati.

Anda tidak seharusnya bicara seperti itu tentang putra anda sendiri, Sir! Jeremy berpikir berbeda, meski kenyataan itu benar.

"Maksudmu dia berbohong?"

"Menurutmu?"

Mustahil Oliver tidak tahu, kan? Wanita itu sebenarnya menutup mata.

Ting!

Mereka segera menuju ke ruangan Oliver begitu lift terbuka. Oliver lebih dulu menidurkan Liam di ruang pribadi yang merangkap menjadi kamar itu. Oscar dan Jeremy membiarkan keduanya bicara berdua.

"Aku sangat berterima kasih kau merawatnya dengan sangat baik! Tapi, aku akan tetap membawanya dengan atau tanpa persetujuanmu."

Oliver tidak menjawab. Wanita itu duduk di sofa tepat di depannya. Oliver menatapnya cukup lama.

"Wanita itu— apa dia ibunya?" Akhirnya angkat bicara.

Tyler mengangkat sebelah alisnya. "Siapa yang kau maksud?" Sambil tersenyum smirk.

"Kau bodoh? Memangnya kau punya wanita lain?" hardik Oliver sambil menjatuhkan tubuhnya di sandaran sofa, menyilangkan tangan dan sebelah kaki.

"Caitlin? Dia meninggal setelah melahirkan Liam."

Oliver terdiam. Wanita itu sudah meninggal? Ia tidak pernah mendengar beritanya sama sekali sejak fokus pada kariernya.

"Maaf, aku turut berduka."

"Don't worry." Tyler tidak tersinggung.

Oliver menoleh ke arah kamar Liam. Tidak heran anak itu tergila-gila padanya. Liam sedang merindukan sosok seorang ibu, kan? Tapi, kenapa harus dirinya? Anak dari wanita yang ia hindari sejak lama.

"Bagaimana kabarmu," tanya Tyler akhirnya. Sudah berapa lama, ya? Entahlah, ia tidak begitu ingat kapan terakhir mereka bertemu.

"Seperti yang kau lihat."

Tyler mengangguk. "Jadi, ayahmu adalah Stacy. Kau dulu selalu menolak memberitahu."

"Sekarang kau sudah tahu."

Oliver berdiri dari kursinya menuju meja kerjanya. Ia mengambil tas ransel milik Liam yang selalu dibawa kemana-mana itu.

"Kau bisa membawanya sekarang." Sambil menyodorkan tas tersebut. "Kau harus membuatnya mengerti saat dia mencariku nanti."

Tidak ada alasan lagi untuknya menahan Liam bersamanya. Sudah jelas jika hal ini hanya permainan anak kecil dan Liam harus kembali pada keluarganya yang sesungguhnya.

Tyler menerimanya perlahan. Ia menatap wanita yang tidak menunjukkan ekspresi apapun hingga detik ini itu.

"Kau sudah banyak berubah, Ollie. Padahal kita berada di satu kota yang sa—"

"Kita tidak sama lagi, Sir. Tyler. Kita sepakat tidak saling mengganggu. Aku harap kau mengingatnya," tegas Oliver, berjalan menuju dinding kaca, menghadap keluar membelakangi Tyler.

"Ok! Aku akan pergi sekarang dan— membawa Liam."

"Hm."

Oliver menunggu. Ia melirik kecil dari ujung matanya setelah Tyler keluar dari kamar dengan menggendong Liam yang masih terlelap. Sekarang ia menyadari jika keduanya benar-benar mirip. Takdir macam apa yang sedang terjadi saat ini?

Sekarang, ia akan berpisah dengan bocah kecil itu. Ranjangnya akan kembali kosong begitu ia membuka mata di pagi hari, kan? Padahal ia sudah terbiasa.

"Jangan terlalu keras pada Liam. Bermainlah sesekali dengannya. Anak kecil tidak perlu belajar seperti orang dewasa," ujar Oliver tanpa menoleh.

Tyler tersenyum tipis. "Sampai jumpa, Ollie."

Cukup lama Oliver berdiam diri setelah pria itu pergi, hingga kemunculan Oscar menyadarkannya dari keterdiaman.

"Mereke membawa Liam?"

"Kenapa? Bukankah kau berharap begitu?"

Benar, sih, pikir Oscar.

"Saya tidak menyangka dia putra dari Tyler Charles! Kita hampir terkena masalah, Nona." Oscar mengoceh di belakangnya. "Tapi, Nona— kalian sepertinya akrab."

"Tidak." Oliver langsung menjawab singkat. "Kosongkan jadwalku selanjutnya, Oscar. Aku mau pergi. Jangan mengikutiku."

...***...

Tyler Charles, mustahil tidak ada yang mengenal nama itu di negara ini. Perusahaan yang dijalaninya telah menandingi banyak perusahaan-perusahaan besar di Eropa hingga menduduki posisi tertinggi.

Mungkin semua orang mengejarnya. Bertemu atau sekedar dekat mungkin juga sebuah keberuntungan untuk meningkatkan relasi atau menjadi seorang di ajang perjodohan antar konglomerat.

Sekali lagi— siapa yang tidak tahu pria itu?

Selama ini, ia menutup mata dan telinganya dari sosok yang di idamkan banyak orang itu, padahal bekerja sama bisa meningkatkan peluang bisnis yang besar untuknya, namun ia memilih untuk menghindar.

"Hei, girl ... sedang apa sendirian disini?"

Oliver tersenyum tipis tanpa menoleh. Pandangannya masih betah menatap hamparan laut lepas di hadapannya.

"Tidak seperti biasanya putriku bolos hari ini." Sebastian menjatuhkan diri di sebelahnya.

"Dari mana Dad tahu aku disini?" Padahal ia ada di vila yang cukup jauh dari kota. Bisa-bisanya orang tua ini datang.

"Aku tidak mau melewatkan satu hal tentang putriku."

Oliver menoleh, tersenyum menatapnya. Sebastian membalas senyum sembari mengusap kepalanya, kemudian merangkulnya. Oliver bersandar pada ayahnya.

"Aku dengar dia sudah pulang."

Cih! Cepat sekali Oscar melapor.

"Liam hanya terbawa suasana saja, kan, Dad? Dia rindu ibunya. Setelah ini dia akan lupa padaku," gumam Oliver. Seperti itu cara kerja anak kecil, kan? Mungkin mereka akan menangis sebentar, kemudian mereka akan lupa jika tidak melihatnya lagi dalam waktu dekat.

"Wajar jika kau sedih. Kalian sudah bersama cukup lama," celetuk Sebastian. Oliver mendongakkan kepalanya.

"Aku tidak sedih, Dad. Aku senang sudah menemaninya dan dia akan pulang."

Sebastian hanya tersenyum. Putrinya tidak pandai berbohong, ya.

"Aku sedih sekali. Padahal kami baru menjadi teman. Setelah sekian lama, akhirnya aku membuat sesuatu untuk anak laki-laki." Sebastian memancing suasana. Oliver cukup pemalu menunjukkan kesedihannya, itu sebabnya ia akan melakukan sesuatu untuk memancing emosi itu keluar.

"Padahal aku membeli mobil remote control saat pulang memancing. Aku tidak tahu dia akan pulang hari ini. Sayang sekali." Setelah mengucapkan semua itu, Sebastian menunduk untuk melihat reaksi Oliver. See? Wanita itu berkaca-kaca akhirnya.

"Dia anak yang lucu," ujar Oliver, mulai terisak.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Terpopuler

Comments

Rifa Endro

Rifa Endro

uh, so sweet. sedih sekali berpisah dari anak cerdik itu ya kan

2024-03-09

4

dewi

dewi

q ikutan berkaca kaca 🥺🥺🥺

2024-03-09

1

dewi

dewi

apa Tyler mantan pacarnya Ollie?...

2024-03-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!