Hadiah

"Ms. Stacy sudah tiba di New york hari ini."

Jeremy memberikan beberapa foto yang diambil dari bandara sebagai laporan untuk Tyler. Sudut foto diambil dari arah belakang dimana wanita yang mereka tunggu selama dua bulan ini sedang menggendong Liam yang tertidur di pundaknya.

Tyler mengamati lembaran foto itu dengan seksama, memastikan bahwa anak nakal itu aman dan tidak terluka. Sepertinya wanita itu benar-benar merawatnya dengan baik.

"Bagaimana bisa dia meninggalkan daddy-nya selama dua bulan demi seorang wanita," desis Tyler cukup kesal. Ditambah lagi, ternyata sang ibu diam-diam berhubungan dengan wanita yang hanya di kenal namanya itu. What the—

"Baiklah. Sudah cukup liburannya, Liam. Tunggu daddy menghukummu nanti." Seraya melempar lembaran foto di tangannya ke atas meja.

"Awasi lagi wanita itu, Jeremy. Biar aku yang mengambil anak itu, sekalian memperingati wanita itu agar tidak sembarangan membawa anak orang lain."

"Yes, Sir," jawab Jeremy sembari menahan raut wajah tegangnya. Sepertinya ia harus bertindak cepat sebelum tuannya mengamuk pada wanita yang bisa saja menjadi rival mematikan.

Sebenarnya sudah lama sang tuan hendak menyusul Liam hingga pria itu melihat Molina yang tidak terlibat cemas lagi seperti terakhir kali. Setelah diperiksa, rupanya ada pengkhianat di dekatnya. Jeremy berhasil menemukan bahwa itu nomor yang sama yang digunakan oleh Oliver Stacy. Artinya, Molina diam-diam berteman dengannya.

Menurutnya sang ibu cukup keterlaluan. Disaat dirinya cemas setengah mati, wanita itu justru berhubungan dengan penculik cucunya. Setidaknya beritahu dirinya bahwa Liam aman!

...***...

Mansion utama Stacy ....

"OLIVER! KAU— KAU PUNYA ANAK?!" teriakan menggelegar dari pria berstatus ayah itu hampir memecahkan gendang telinga Oliver dan orang di sekelilingnya.

Liam bersembunyi di belakang Oliver dengan wajah ketakutan.

"Dad baru pergi sebentar kau sudah—"

"Dia bukan anakku, Dad," potong Oliver tanpa ekspresi. "Lagipula siapa yang memiliki anak dalam dua bulan," cibirnya kemudian seraya mengangkat Liam ke gendongannya.

"Jangan berteriak di depan anakku lagi." Sembari melewati ayahnya menuju kamar.

Mata Sebastian membola karena perkataan putrinya.

"Cih, padahal dia bilang bukan anaknya." Sebastian ikut mencibir. "JANGAN LUPA MAKAN SIANG."

Kepala pelayan Ed hanya menghela nafas saja di sebelahnya. Padahal ia sudah menceritakan soal Liam pada tuan besarnya ini, tetapi tetap saja Sebastian suka sekali mengganggu Oliver.

"Kau sudah selidiki anak itu, kan?"

"Sudah, Tuan. Tidak ada yang mencurigakan."

"Baguslah!" ujar Sebastian seraya menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Berikan aku koran dan kopi."

-

-

"Siapa dia, Mommy?" tanya Liam setelah sampai di kamar.

"Daddy-nya mommy."

"Berarti dia kakekku?"

"Iya, benar." Oliver menurunkan Liam di atas ranjang, kemudian menjatuhkan tubuhnya sendiri disana.

"Kenapa aku tidak melihatnya saat disini waktu itu?" Liam ikut merebahkan tubuhnya dan merapat pada Oliver.

"Dia bekerja di luar negeri. Sekarang dia pulang."

Ya ... ayahnya yang tampan dan sendirian itu— menghabiskan waktunya demi melupakan mantan istri yang telah menikah dengan dunianya sendiri. Pria itu hanya memiliki putrinya yang sama gilanya dalam bekerja.

"Sepertinya grandpa tidak menyukaiku," lirihnya.

"Dia tidak seperti itu." Mengelus kepala Liam.

Oliver beranjak dari ranjangnya menuju meja rias. Terdapat kotak perhiasan berdesain warna emas yang terlihat mewah disana. Begitu melihatnya, Oliver sudah tahu siapa pelakunya. Ia tersenyum setelah membukanya.

"Liam, kemari, Nak." Oliver membungkuk di kursinya sambil memasang sebuah jam tangan yang pas di pergelangan tangan milik Liam. "Dia tidak akan memberi hadiah jika tidak suka." Oliver tersenyum lembut. Liam tersenyum cerah memperlihatkan deretan giginya, kemudian memeluk Oliver dengan erat.

"Berterimakasihlah pada grandpamu." Mengelus pipi Liam. Bocah itu mengangguk sembari berlari keluar dari kamar.

Oliver kembali pada kotak perhiasannya. Ia menghadap cermin sembari memasang satu-persatu perhiasan berupa kalung, anting, dan cincin pemberian ayahnya juga.

"Kau suka sekali menghabiskan uangmu untukku, Dad," gumam Oliver. Sebastian adalah sosok cinta pertama yang selalu melakukan apapun untuknya, memanjakannya, dan menjadikannya prioritas utama.

"Aku harus membuat lemari khusus lagi." Oliver menghela nafas. Entah sudah berapa banyak perhiasan yang ia punya saat ini.

"GRANDPA!" Liam berlari menuruni tangga. Sebastian di ruang keluarga langsung menoleh dengan terkejut, begitupun Ed yang langsung waspada, khawatir bocah itu akan tersandung dan jatuh. Sebastian semakin terkejut ketika Liam naik ke pangkuannya dan memeluk dirinya. Ia menatap Ed yang sama bingungnya. Meski begitu, Sebastian tetap membalas pelukannya.

"Ada apa ini?" tanya Sebastian akhirnya.

"Aku suka hadiahnya! Thanks, Grandpa!"

"Oh!" Sebastian langsung mengubah raut wajahnya, sedikit malu. Ed diam-diam menahan senyum.

Sebenarnya, Sebastian dan Liam belum pernah bertemu sama sekali. Lalu, mengapa pria paruh baya itu bersikap demikian hingga memberinya hadiah? Jawabannya sederhana- karena Liam bersama Oliver.

"Apa kau marah?" Liam memperhatikan raut wajahnya.

"Hm? Kenapa aku marah?" tanya Sebastian kembali.

"Karena aku bersama mommy," cicit Liam menundukkan kepala.

"Memangnya kenapa? Jika Ollie menyukaimu, maka aku juga tidak masalah!" Sebastian menjawab tegas. Sebenarnya, bocah ini cukup menggemaskan. Wajahnya lucu seperti Oliver saat masih kecil. Ah, ia jadi rindu masa kecil anak itu, tapi putrinya sudah dewasa dan mengerikan.

Melihat Liam, Sebastian merasa memiliki seorang cucu. Tahu sendiri, kan, bagaimana putrinya itu? Ia tidak yakin apakah putrinya akan menikah atau tidak kelak. Itu sebabnya ia tanpa sadar bersemangat mencarikannya hadiah begitu pulang ke New York. Bukan berarti dirinya ceroboh. Hanya saja ia percaya pada Oliver.

"Sungguh?"

"Tentu saja! Kau tahu aku mendesain sendiri jam tangan ini agar cocok, jadi benda ini hanya ada satu di dunia!" Sebastian berujar bangga.

Mata Liam berbinar. "Aku satu-satunya yang punya?"

"Yup! Dan ini sangat mahal! Kau bisa pamer pada teman-temanmu," ujarnya bangga.

"Jangan mengajarinya menjadi sombong, Dad," sahut Oliver yang sudah turun.

"Hey ... you're so gorgeous!" puji Sebastian dengan wajah takjubnya, seolah ia melihat bongkahan berlian di depan matanya. "Sudah kuduga kau akan bertambah sangat-sangat cantik lagi saat memakainya!" Berlebihan? Terima kasih!

"Benar, kan, Boy?" Meminta persetujuan Liam. Bocah itu mengangguk setuju.

"Benar! Mommy sangat-sangat cantik sekali!"

Sudut bibir Oliver terangkat. Sekarang ia punya dua laki-laki yang akan memujinya setiap hari, kan?

"Thanks!"

"Makan siang sudah siap, Tuan-tuan dan Nona," panggil Ed.

"Ok, let's go!" sorak Sebastian seraya mengangkat Liam untuk duduk di kedua pundaknya. Oliver hampir membuka mulutnya untuk menegur, namun dua orang itu sudah bergerak sangat cepat.

"Sejak kapan mereka akrab begitu?" Kening Oliver mengkerut tipis.

"Laki-laki memang mudah berteman, Nona," sahut Ed. Kening Oliver semakin mengkerut, namun kemudian mengedikkan bahu acuh.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...Sejauh ini gimana menurut kalian?...

Terpopuler

Comments

dewi

dewi

q penasaran dg ibu kandung Liam 🤔🤔🤔

2024-03-09

3

dewi

dewi

ternyata ada penghianat 😅😅😅

2024-03-09

1

Rifa Endro

Rifa Endro

wah, punya grandpa baru nih

2024-03-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!