Sandiwara

Oliver menghela nafas pelan seraya menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Kenapa tidak bilang? Aku bisa membawa grandmamu juga."

"Tidak bisa, Nona!" Interupsi seseorang yang masuk setelah mendengar ucapan Oliver. Wanita itu memejamkan matanya.

"Oscar ...," geramnya.

"Nona dengar sendiri, kan? Liam masih memiliki wali. Jadi, kembalikan dia secepatnya. Bukan membawa neneknya juga."

Liam diam-diam menatap tidak suka pada Oscar. Pria itu memang selalu waspada padanya yang hanya seorang anak kecil. Ya, anak kecil! Apa yang perlu ditakuti?

"Liam." Oliver tersenyum paksa. "Hubungi grandmamu sekarang. Aku akan bicara padanya juga."

"Nona—"

"Momm!" teriak Oliver. Suaranya langsung terdengar dari luar karena jarak kamar dan ruang tengah tidak lah jauh.

"YA?" jawab Jeanne berteriak juga, kemudian kepalanya muncul di balik pintu.

"Edgar pasti butuh bantuan membuat pagar baru di halaman belakang, kan?"

Entah kenapa Oscar menjadi waspada.

"Sepertinya begitu."

"Tenang saja. Oscar bisa melakukan banyak hal." Naluri tidak berguna ini!

"Oh! Aku sangat berterima kasih kalau begitu."

"Apa— Nona."

"Ayo, Oscar." Jeanne menariknya keluar.

Pria itu menghilang pada akhirnya. Sekarang Oliver tersenyum lagi pada Liam.

"Merepotkan saja," desis Oliver.

-

-

-

-

"Grandma!"

"LIAM!" pekik Molina senang. Akhirnya ia mendengar suara cucu kesayangannya lagi.

"Grandma baik-baik saja?"

"Tentu saja tidak baik! Kau dimana, hah?!" Molina kembali menangis.

"Permisi, Mrs. Parrish."

Molina terdiam begitu suara halus terdengar di ponselnya. Ia melihat sekali lagi nomor yang tertera untuk memastikan itu masih nomor yang sama digunakan Liam untuk menghubunginya.

"Maaf membuat anda khawatir, Mrs. Parrish. Saya terpaksa membawa Liam setelah dibuang oleh ayahnya sendiri. Maaf jika itu lancang, tapi saya sangat tidak suka," ucap Oliver langsung.

Tunggu dulu! Molina masih sulit mencerna. Dibuang? Mrs. Parrish?

"Anda cukup terkejut ya. Iya sih, putra anda sendiri tega membuang cucumu."

"Maaf, ini dengan siapa?" Molina menjawab akhirnya.

"Oh benar, aku belum memperkenalkan diri. Aku Oliver Stacy, mommy baru Liam."

"Apa?!" Jadi Liam benar-benar mencari ibu baru? Dan itu Oliver Stacy?! Tapi masih banyak pertanyaan di benaknya.

"Dimana Liam?"

"Disini, Grandma," sahutnya. "Aku tidak berani pulang lagi. Maaf, Grandma. Mommy bilang akan menemuimu jika kembali ke New York."

"Jadi, dia benar-benar membuangmu?" Tyler membuang Liam?!

"Hem! Liam bersama Mommy. Dia bilang akan melindungiku dari daddy."

Itu kebohongan, kan? Alarm peringatan di kepala Molina berbunyi. Tidak mungkin Tyler membuangnya. Ini hanya jebakan yang dibuat Liam untuk menarik perhatian wanita itu. Benar begitu, kan?

"Ya tuhan ... aku tidak percaya ini. Syukurlah Miss. Stacy menemukanmu," ujarnya mendramatisir. Iya hanya perlu mengikuti rencana cucunya. Tidak buruk juga jika Tyler bersama seseorang. Oliver Stacy kedengarannya seperti wanita baik karena Liam betah bersamanya meski rumornya berbanding terbalik.

"Sebenarnya jika tidak keberatan, aku ingin mengambil alih adopsi untuk Liam." Molina sedikit terkejut lagi. "Tapi itu harus mendapatkan persetujuan dari ayahnya Liam," lanjutnya.

"Aku takut membunuhnya jika bertemu." Kali ini Molina membeku. Jika dipikir-pikir, wanita itu selalu bicara sesuai keinginannya. Terdengar suara cekikikan Liam di ujung sana.

"Aku juga tidak mau bertemu daddy! Dia akan memisahkanku dengan mommy," sahutnya pada sang nenek.

Oh jadi begitu ... Molina mulai memahami alur yang Liam buat.

"Kalau begitu aku titip Liam padamu, Miss Stacy. Maaf merepotkanmu. Mari kita bicarakan kembali saat bertemu."

"Sure!"

"Sampai jumpa, Grandma. Aku akan menghubungi Grandma lagi."

"Ya, baiklah. Jangan merepotkan miss. Stacy, ok? Grandma akan menunggumu pulang."

Molina bernafas lega setelah telepon berakhir. Setelah menyimpan nomor tersebut, Molina segera berselancar di dunia maya dengan mengetik kunci pencarian 'Oliver Stacy'.

S'tcy company, salah satu dari lima besar kerajaan bisnis di Eropa. Di pimpin oleh seorang wanita sebagai ahli waris satu-satunya— Oliver Stacy. Keterangan mengenai data dirinya tidak dijelaskan di media secara jelas, termasuk seperti apa wajahnya dan berapa usianya. Meski begitu, bukan tidak mungkin untuk melihatnya sendiri.

-

-

-

"Oscar bilang kau mau mengadopsi anak itu. Kau yakin?" Jeanne bertanya. Keduanya tengah berada di dapur untuk memasak makan malam bersama.

Oliver mengangkat kedua bahunya, sedikit acuh. Tangannya dengan lihai memotong bawang dan beberapa sayuran yang di panen Edgar di belakang rumah.

"Anak itu seperti ingin mengikutiku."

Jeanne menatapnya. "Lalu?"

"Aku membawanya," jawab Oliver santai.

"Sudah kuduga," gumam Jeanne tersenyum.

Ia tidak sebodoh itu untuk mengadopsi anak yang baru saja ia temukan, apalagi karena insiden yang belum diketahui sengaja atau tidak. Ia wanita yang memiliki identitas tak biasa. Itu sebabnya ia sadar tidak sedikit orang yang mungkin mengincarnya demi sebuah tujuan.

Anak kecil adalah yang termudah untuk membuat sebuah kebetulan tak disengaja. Jika Liam adalah rencana seseorang, ia hanya perlu mengikuti permainannya, kan? Tetapi, jika hal ini murni kecelakaan, ia pun tak masalah membawa anak itu jika keadaannya memang tidak aman.

"Sebenarnya— Mom senang melihatmu dengan Liam," ungkap Jeanne. Oliver sangat jarang tersenyum, tapi bersama anak itu, Oliver akan tersenyum meski ia tidak mau. Setidaknya ada hal lain yang putrinya lakukan selain pekerjaan.

"Sebenarnya— aku sedikit menyukainya," ucap Oliver pelan dengan tersenyum tipis. Sekarang anak itu sedang tidur di kamarnya.

"Sedikit?! Mom pikir kau sangat menyukainya."

Sudah Jeanne duga. Tidak mungkin semudah itu Oliver membawa anak yang tidak jelas asal-usulnya. Wanita ini pasti telah waspada dari awal.

Oliver hanya memutar bola mata, kemudian memasukkan potongan bawangnya ke dalam wajan. "Lagipula aku belum siap menjadi orang tua," gumamnya sangat pelan.

Jeanne menahan senyumnya. "Tapi, kau sudah melakukannya," bisik Jeanne kemudian.

"Hello, Girls. Ada seseorang yang terbangun di sana." Edgar muncul di ambang pintu.

"Liam!" Oliver langsung berlari cepat meninggalkan pekerjaannya. Jeanne terkekeh melihatnya.

Edgar mendekat seraya mengelus kedua lengan istrinya dari belakang. "Dia benar-benar terlihat seperti orang tua," katanya tersenyum. Jeanne ikut tersenyum sambil menyandarkan tubuhnya di dada sang suami.

"Oliver selalu bertanggungjawab atas apa yang di milikinya," kata Jeanne. "Aku khawatir Sebastian terlalu keras padanya."

"Jangan khawatir. Pria itu telah menjadi cinta pertama Oliver," kata Edgar menenangkan, sedikit tersirat kesedihan di balik ucapannya.

"Kau ayahnya juga." Jeanne mengelus lengan Edgar di perutnya.

"Aku tahu."

Seperti itulah Oliver tumbuh. Wanita itu tidak pernah mengabaikan tanggungjawabnya. Dan itu jugalah yang terjadi saat ia menerima tanggungjawab baru sebagai pewaris. Jadi, tidak heran bagaimana Oliver menjaga Liam.

Oliver-nya sangat mandiri. Sejak kecil sangat jarang wanita itu merepotkan orang lain termasuk orang tuannya sendiri.

Bahkan saat diminta mengemban tanggung jawab baru, Oliver rela melepas keinginannya untuk menjadi seorang pelukis. Jeanne berharap— Oliver akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukan sebagai Oliver Stacy si wanita karier, tetapi sebagai dirinya sendiri.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Terpopuler

Comments

Tri Tunggal

Tri Tunggal

si oscar nih nyaut bae kayak setrum/Joyful//Joyful/

2024-03-11

3

dewi

dewi

👍👍👍👍🤣🤣🤣🤣

2024-03-09

1

dewi

dewi

tentu saja tidak baik 🤭

2024-03-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!