Kebodohan Lama

"Steak tartare, steak frites, le croque madame, and 2 red wine." Tyler menyebutkan beberapa menu tanpa melibatkan Oliver pada waitress.

"Bagaimana jika aku tidak mau makan itu?" Oliver bersedekap malas.

"Kau akan memakannya."

"Kau sangat yakin, ya? Kau bahkan tidak bertanya apa yang ingin ku makan."

"Tentu saja. Semua itu makanan yang kau suka." Tyler tersenyum menang begitu Oliver menatapnya sinis tanpa bantahan lagi.

Mungkin sudah sangat lama sekali sejak mereka makan berdua seperti sekarang, tapi soal makanan, sangat jarang Oliver memesan menu lain selain makanan kesukaannya. Tyler masih ingat betul apa yang wanita itu sukai karena Oliver selalu memesan menu yang sama.

"Tambahkan satu mangkuk es krim dengan banyak coklat," kata Oliver pada waitress.

"Kau suka es krim?" Dahi Tyler mengkerut, dengan ekspresi wajah tak terima, seolah baru saja melewatkan sesuatu tentang Oliver. "Kau benci itu. Kau tidak mau memakannya karena takut gendut."

"Oh, iya? Sayang sekali kau tidak mengenalku," senyum Oliver mengejek.

"Kau sengaja, kan?" Alis Tyler menukik tajam, kesal.

"Untuk apa? Aku memang suka, kok!" Oliver tidak mau kalah. "Kenapa? Kau tidak mau memiliki wanita yang gendut?" Oliver mengangkat dagunya, ikut kesal.

"Siapa bilang! Tambahan satu mangkuk es krim lagi!" serunya, membuat Oliver melotot.

"Kau gila! Tidak, satu aja. Pergilah," ralat Oliver pada Waitress, lalu melotot lagi pada Tyler.

"Kenapa kau menyebalkan sekali?" desis Oliver. Tyler hanya memasang wajah tanpa dosanya.

"Kau yang mulai."

Oliver hampir membuka mulutnya kembali, namun ia urungkan. Ia mengingatkan dirinya sendiri agar jangan berdebat dengan pria ini. Terkadang, Tyler sedikit kekanakan baginya. Oliver hampir ragu jika pria ini adalah seorang ayah. Malang sekali nasib istrinya nanti.

"Bagaimana kondisi Liam?" tanyanya kemudian. Tyler mengangkat sebelah alisnya, menatap Oliver.

"Seperti yang kau lihat siang ini."

Lihatlah pria ini memilih menjawab panjang daripada menjawab, 'baik'.

"Apa yang terjadi?" tanya Tyler tiba-tiba.

"What?"

"Kau bilang ingin menjadi pelukis."

Oliver terdiam, lalu tersenyum tipis. "Apa aku bilang begitu?" tanyanya santai.

"Iya."

"Mungkin asal bicara saja."

"Kau mengatakannya berkali-kali," kata Tyler datar.

"Oh," respon Oliver. Tyler masih menatapnya untuk menunggu jawaban.

"Ayahku hanya punya aku." Cukup menjelaskan semuanya, bukan?

"Jadi, kau mengorbankan mimpimu?"

"Itu bukan mimpi, hanya— keinginan kecil," elaknya.

Tyler tahu itu kebohongan. Mereka pernah tinggal bersama dan terkadang ia menemani wanita itu untuk membeli banyak sekali peralatan lukis. Bukan sekedar satu atap, tapi juga tidur di satu kamar karena kamar yang ditempati Oliver penuh dengan cat dan hasil lukisannya.

"Kau bisa berbohong juga ternyata."

"Aku tidak—"

"Bagaimana kabarmu?" potong Tyler.

Oliver mendengus. "Kau serius bertanya begitu? Di pertemuan ketiga kita?"

"Ya ..." Tyler memasang wajah bingungnya. Sebenarnya ia bingung ingin mengatakan apa.

Cih! Kenapa Tyler menjadi kaku begini. Padahal pria itu ahlinya menggoda wanita.

"Sepertinya kau banyak berubah sejak jadi orang tua, ya," ejek Oliver.

Tyler menghela nafas kasar. "Ollie ... sebenarnya Liam bukan—"

"Aku tahu."

"Mantan pacar yang kau kejar itu menikah dengan kakakmu, kan?"

Terdengar decakan dari mulut Tyler. Sebenarnya ia sudah lama melupakan wanita itu sejak bersama Oliver. Entahlah, semua terjadi begitu saja. Dirinya bahkan tidak mengerti dengan perasaannya sendiri saat itu. Satu hal yang pasti, ia kesal saat ada seseorang yang mendekati wanita di depannya ini. Sekarang, ia merasa kesal saat Oliver membahas Caitlin.

"Mom." Ibunya itu pasti yang memberitahu Oliver. Oliver hanya mengangkat bahu.

"Aku mendapat surat dari Caitlin." Tyler langsung menatapnya tajam. "Dia bilang kau tidak pernah kembali padanya lagi," sambungnya.

"Aku akan menjawab semua pertanyaanmu." Tyler menawarkan lebih dulu.

"Well, aku benar-benar tidak ingin mengungkit masa lalu kita, aku sendiri yang bilang begitu ... tapi— aku tidak tahu bagaimana menghadapi Liam." Keadaan saat ini sudah berubah sangat jauh. Kondisi Liam yang drop tiba-tiba membuat Oliver ragu untuk menjauhi bocah itu. Liam sangat serius dengannya, kan? Ada yang bilang jika anak kecil itu sangat tulus. Mereka selalu bersikap apa-adanya.

"Aku berpikir— aku tidak ingin berpura-pura untuk apapun lagi." Sudah cukup kebodohan yang ia perbuat dulu. Itu adalah kesalahan yang tidak akan ia ulangi lagi.

"Aku tidak akan memintamu berpura-pura lagi, Ollie. Itu adalah kebodohanku sejak dulu." Ia tahu Oliver sempat terluka karena kebodohannya itu. Seperti yang ia katakan tadi— semua terjadi begitu saja. Mereka mungkin saling memendam perasaan demi kesepakatan yang mereka buat.

Ia tidak tahu apakah Oliver pernah menyukainya atau tidak, tapi terkadang ada perasaan bersalah dalam dirinya saat melihat wajah itu menatapnya dengan sendu.

Kedatangan waitress menghentikan percakapan mereka sesaat hingga waitress itu pergi.

"Apa Liam tahu kau bukan ayahnya?" Oliver melanjutkan.

Tyler menggeleng. "Kedua orang itu meninggal saat Liam masih bayi."

Oliver merasakan matanya mulai basah begitu mendengarnya, namun ia menahannya agar tidak keluar. Ia mengangguk paham.

"Kau sudah bekerja keras untuknya," gumam Oliver tersenyum tipis.

Tyler terkekeh pelan. "Meski dia anak nakal, memilikinya tidak buruk."

"Aku melihat mata Caitlin di mata Liam. Kau sudah menyadarinya, kan? Kau pasti merindukannya saat melihat Liam." Tyler sangat mencintai wanita itu. Pastinya tidak mudah melupakan sosoknya.

"Ollie ... aku tidak ingin kau mengaitkan Caitlin denganku lagi." Nada suara Tyler berubah dingin.

"Kenap— tunggu ... jangan bilang kau tidak pernah menceritakan tentangnya pada Liam?"

"Dia tidak pernah bertanya."

Oliver menghembuskan nafas kasar. "Setidaknya beri dia gambaran tentang ibunya sendiri, Tyler." Apa sesakit itu hingga pria ini enggan membahasnya sedikitpun?

Itu sebabnya kita tidak cocok, Tyler, batin Oliver.

Flasback

Kondisi kantin cukup ramai. Tyler tidak berhenti mengalihkan pandangannya dari Caitlin. Kursinya berjarak beberapa meja dari meja Caitlin sendiri.

"Kau tidak boleh memandang gadis lain saat kau sedang memeluk pacarmu sendiri," bisik Oliver yang Tyler peluk pinggang rampingnya itu dengan sebelah tangan.

"Bagaimana bisa dia lebih memilih anak baru itu, dibandingkan aku?" gerutu Tyler.

"Caitlin menyukai kepopuleran. Wajar jika dia ingin membuat anak baru itu menjadi miliknya lebih dulu sebelum orang lain," kata Oliver. Caitlin sangat terkenal dengan kecantikannya. Hampir semua laki-laki tertarik padanya.

"Aku akan menciummu," bisik Tyler tiba-tiba. Belum setuju ia menjawab, bibir pria itu sudah meraup bibir pink miliknya cukup intens. Oliver membalasnya.

"Dia melihat kita," bisik Tyler lagi setelah bibir mereka terlepas. Oliver hanya bernafas sedikit cepat seraya melirik kecil ke arah Caitlin yang nampak kesal.

Rasakan! batin Oliver puas. Ia membiarkan Tyler memeluknya lebih dalam hingga kepalanya bersandar pada dada bidang pria itu. Kali ini ia menatap Caitlin terang-terangan dengan senyum kemenangan yang ia tampilkan.

Lihatlah bagaimana pacarmu menempel padaku!

Flashback off

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Terpopuler

Comments

Tri Tunggal

Tri Tunggal

flasbacknya masih perasaan tyler ka blm dr sisi si ollie 😁😁jd blm tahu keadaan ht si ollie aman ato ngga 😄😄
semangat n sehat sllu ka 😘😘

2024-03-18

2

dewi

dewi

yg malang itu dirimu... kan kau yg bakal jadi istrinya...

2024-03-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!