Bab 17

Hari berlalu, Kaluna mulai mengambil alih perusahaan yang tentu saja membuat ketegangan antara dirinya, Hendra dan juga Theo meningkat. Di mata kedua kakak laki-lakinya, dia adalah anak bungsu yang tidak pernah bisa apa-apa semenjak dahulu. Padahal, Kaluna adalah orang yang mengorbankan semua mimpinya untuk mewujudkan semua mimpi keluarga besarnya.

Flashback

Sore itu, Kaluna yang baru saja pulang dari bimbingan belajar dengan masih menggunakan seragam SMA terlihat merebahkan dirinya di sofa ruang tamu.

"Ganti baju sana!"

Suara rendah dengan nada dingin yang memerintah Kaluna membuat gadis cantik itu mengangkat kepalanya agar bisa melihat siapa sosok yang memerintahnya.

"Habis ini mas." ucapnya seraya kembali meletakkan kepalanya di sofa setelah tahu kalau Theo yang memerintahnya.

Theo duduk di sofa yang ada di seberang sofa yang Kaluna gunakan untuk berbaring.

"Kamu jadinya kuliah apa?" Lagi suara dingin penuh intimidasi itu terdengar mengintrograsi Kaluna.

Kaluna masih menatap langit-langit rumah mewahnya dengan tatapan kosong. "Teknik komputer." jawabnya singkat yang direspon dengan senyuman sinis oleh Theo.

"Kenapa?" Kaluna tampak tidak suka dengan respon Theo.

Theo menghela napasnya. "Lun, teknik komputer itu gak semudah kamu buka labtop terus pakai microsoft word. Otak kamu gak akan bisa."

Mendengar ucapan sarkas kakaknya, Kaluna segera bangkit dari posisinya yang sedang merebahkan tubuhnya di sofa. "Maksud mas Theo aku bodo gitu?" protesnya tidak terima.

Theo mengangkat kedua pundaknya. "Ya kamu kan memang gak sepintar itu Lun. Kakak-kakak kamu aja gak ada yang bangga punya adek kamu Lun. Lihat? Yang mereka banggakan di depan kolega siapa? Aku kan?"

Kaluna membuang napasnya kasar. Sekali waktu ingin sekali gadis itu menghantam wajah kakak laki-lakinya yang berubah drastis semenjak kuliah di luar kota.

"Mas mending ke BNN deh, cek narkoba. Kayanya otakmu udah mulai bermasalah." Kaluna sarkas. Gadis cantik itu mengambil kasar ransel yang ada di sofa lalu berjalan meninggalkan kakak laki-lakinya yang masih duduk di ruang tamu.

Kaluna menutup pintu kamarnya dengan keras, kekesalan dirinya tidak bisa lagi dia sembunyikan setelah mendengar ucapan kakaknya yang selalu meremehkan kemampuannya.

Kaluna menatap tajam dirinya di pantulan kaca. "Akan aku buat kita semakin gak setara mas. Akan aku buat mama dan semua kakak-kakakku membanggakan aku." ucapnya tegas pada dirinya sendiri yang berada di pantulan kaca.

Kaluna mengusap kasar wajahnya setelah memarahi dirinya sendiri dalam pantulan kaca. Ini memang bukan pertama kalinya dirinya diremehkan habis-habisan oleh kakak laki-lakinya, tetapi mendengar lelaki itu mengatakan hal-hal diluar kapasitasnya sebagai kakak tetap saja membuat Kaluna ingin sekali menghajarnya.

Setelah hari itu, hubungan Theo dan Kaluna menjadi sangat dingin. Entah apa yang menyebabkan laki-laki yang dulu sangat menyayangi satu-satunya adiknya itu sekarang berubah menjadi sangat arogan. Bahkan pernah ada masa tubuh Kaluna dilempar ke lantai saat Kaluna yang saat itu sedang merintih kesakitan karena datang bulan justru dicap sebagai pemalas oleh kakak laki-lakinya itu.

Semakin hari, yang ada di pikiran Kaluna hanya bagaimana caranya untuk bisa membuat dirinya dan Theo semakin tidak setara. Membuat Theo yang dulu di elu-elukan mamanya akan dia rebut posisinya.

Sampai hari dimana penerimaan kampus, Kaluna membawa pulang surat keterangan diterima. Satu hal yang membuat keluarganya terkejut, fakultas kedokteran adalah jurusan yang dipilih oleh Kaluna.

"Kamu yakin mau ambil kedokteran?" Tanya Hendra ragu.

Kaluna menghela napasnya, gadis cantik itu hanya mengangguk dengan ekspresi serius.

"Kenapa tiba-tiba mau kedokteran?" lanjut Hendra dengan suara lembut.

Kaluna melirik sekilas Theo yang duduk tidak jauh darinya. "Supaya gak ada yang bilang aku gak membanggakan untuk mama dan juga 3 kakak-kakakku." jawabnya dingin.

Hendra menghela napasnya, ujung matanya menangkap ekspresi marah dari raut wajah Theo yang membuat Hendra sadar kalau hubungan kedua adiknya sedang tidak baik-baik saja.

"Kalau gak mampu gak usah, daripada buang-buang uang." ucap Theo dingin.

Kaluna menarik sisi kanan ujung bibirnya, kali ini tatapan meremehkan berasal dari sorot matanya. "Makanya lihat dulu kertasnya! Aku dapat beasiswa sampai semester 2," Kaluna menjeda kalimatnya, mata coklat miliknya dia alihkan ke arah mamanya yang duduk di antara dua kakak perempuannya,

"Nanti semester 3 sampai lulus, Kaluna akan cari beasiswa sendiri, jadi Kaluna gak akan berhutang budi sama siapapun di rumah ini untuk biayain Kaluna kuliah." lanjutnya menjelaskan.

"Mama sanggup dek biayain kamu,"

Kaluna menggeleng. "Nggak usah ma, Kaluna gak mau suatu saat di ungkit-ungkit masalah uang seperti yang sudah-sudah. Kaluna sadar diri kok kalau anak bungsu memang seharusnya berjuang sendiri, bukan bergantung sama kakak-kakaknya."

Sorot mata ragu tergambar jelas di mata Hendra dan juga dua adik perempuannya saat Kaluna mengungkapkan isi hatinya.

"Luna naik ke kamar dulu." pamitnya seraya mengambil kertas pengumuman yang sedari tadi di pegang oleh Hendra.

Hari itu, orang-orang yang berbahagia dengan pengumuman yang diterima Kaluna bukanlah keluarganya, tetapi justru GPD dan juga keluarga dari Dhira dan Rendra yang sudah menganggap Kaluna sebagai bagian dari keluarganya.

"Halo.." ujar Kaluna dingin saat menerima panggilan telepon dari Rendra.

"Kenapa? Kok kaya gak suka gitu nadanya? Mas ganggu ya?"

Kaluna merebahkan tubuh di atas ranjang besarnya dengan helaan napas yang menjadi pengiringnya.

"Nggak papa mas, lagi pusing aja. Mas kenapa telepon?"

"Pusing kenapa? Mau cerita? Atau mau mas jemput? Mau putar-putar Malang sampai kamu capek? Atau mau ke Batu?"

Tanpa sadar kedua ujung bibir Kaluna tertarik tipis mendengar ucapan Rendra.

"Memangnya mas gak kuliah?"

"Kan lagi libur semester Lun."

Kaluna hanya mengangguk saat mendengar penuturan Rendra.

"Mas, emang aku se tidak membanggakan itu ya jadi adik?"

"Kamu ngomong apa sih? Udah mas jemput aja. Tunggu di rumah, 10 menit lagi mas nyampe."

"Mas..." Kaluna menghela napas saat sambungan teleponnya sudah ditutup oleh Rendra.

"Kebiasaan, belum juga dikasih izin udah main tutup telepon aja." Gerutunya kesal.

Dengan berat, Kaluna kembali mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bangun dari posisi tidurnya. Di tatapnya dirinya sendiri dalam pantulan kaca. Tatapannya coba menelisik bagian mana dari dirinya yang membuat seorang Theo berani mengatakan kalau dia tidak cukup membanggakan di mata kakak dan juga ibunya.

"Apa aku memang tidak se membanggakan itu ya?" gumamnya pada dirinya sendiri yang ada di pantulan kaca.

"Padahal aku sudah berusaha menuruti semua kemauan mereka, tetapi kenapa aku tetap tidak membanggakan di mata mereka?"

Kali ini, helaan napas berat Kaluna menjadi tanda bahwa dia tidak menemukan sisi dirinya yang membuat keluarganya tidak bangga memilikinya.

Terpopuler

Comments

Ayangnya Junmyeon❤

Ayangnya Junmyeon❤

Semangattt lun, masrend dsisimu sllu💙

2024-04-02

0

lakesya aldebaran

lakesya aldebaran

begitulah nasib anak bungsu luna....tetap semangat💪💪💪 nyatanya kamu sekarang yang jadi dewi penolong keluargamu jadi kebanggaan mama mu/Smile/

2024-04-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!