...Cinta, bagiku seperti sebuah fantasi yang takkan pernah menjadi nyata. Menginginkan, tapi tidak diinginkan. Menjadikannya sebuah prioritas, tapi balasan diabaikan. Berjuang sendiri tanpa tahu sampai kapan semua akan menjadi nyata? Entahlah… yang pasti meski raga serta jiwa ini terasa sakit. Aku akan tetap berjuang untuk mendapat wujud dari sebuah pengakuan cinta?...
...***...
“Satu milyar! Nominal tersebut akan saya berikan sebagai uang muka dengan syarat, anda mau membujuk putri anda untuk menikah dengan saya.”
“M- menikah? A-apa… ini tidak terlalu terburu-buru, Nak Boy? Naira masih sangat muda. Ia baru saja tamat SMK. Umurnya juga baru menginjak angka 18 tahun dan,—”
“Dan apa? Bukankah umur segitu sudah bisa aku tanam benihku untuk memiliki keturunan? Aku tidak mau banyak berdebat. Anda bisa mendapatkan nominal uang tersebut untuk melunasi segala hutang-hutang anda, jika anda mau memenuhi permintaan saya!” tegas Boy tak pandang bulu. Meski ia tahu jika pria paruh baya yang saat ini berdiri dihadapannya itu merupakan sahabat karib almarhum Ayahnya.
Pria tua itu bergeming. Bingung mengambil keputusan. Menyetujui itu berarti sama saja dengan menjual. Namun, jika tidak maka kehidupan anak gadisnya akan jatuh kepada seorang pria tua yang merupakan lintah darat di daerah tempat tinggalnya!
“Kenapa, masih bingung mengambil keputusan? Atau anda lebih rela menikahkan anak gadis anda dengan aki-aki tua lintah darat itu?” Boy kembali bersuara. Mencoba memanipulasi keadaan dengan cara mendesak. Sekaligus memprovokasi agar sahabat almarhum Ayahnya itu bisa segera mengambil keputusan. “Baiklah… kalau itu sudah menjadi keputusan anda, apa boleh buat? Yang terpenting saya sudah memberikan pilihan dengan siapa anda ingin merajut hubungan kekeluargaan. Saya tidak akan memaksa anda Pak Andi Mayora. Namun, ada satu hal yang harus anda ingat. Di dunia ini tidak ada yang mudah, apalagi gratis. Semua itu ada timbal baliknya, agar sama-sama mendapatkan keuntungan.”
“Beri saya waktu.”
“Satu menit dari sekarang. Jadwal saya penuh. Saya tidak bisa lama-lama. Lagipula masih banyak gadis-gadis di luar sana yang dengan sukarela mau menjadi istri saya. Namun, saya lebih memberikan perhatian terhadap putri anda karena anda merupakan sahabat dekat almarhum Papa saya.” desis Boy tidak ingin berlama-lama—yang mana hal tersebut membuat pria paruh baya yang pernah berjaya di masa mudanya itu terpaksa mengangguk tidak punya pilihan.
Baginya lebih baik menyerahkan Naira kepada duda yang merupakan putra semata wayang almarhum sahabatnya itu. Daripada membiarkan Naira jatuh ke tangan Eddy—sang rentenir jahat yang saat ini juga sedang mengincar putrinya untuk dijadikan alat pelunasan hutang-hutang yang Andi pinjam.
***
...FLASHBACK ON...
...MARELAN, 5 MEI....
Atau lebih tepatnya tiga hari sebelumnya.
Sorak sorai penuh kegembiraan memenuhi badan jalan. Belasan tapak melintas sambil sesekali menyemprotkan pilox pada kemeja putih tanpa noda itu. Mengganggu jalan. Memang. Tapi tidak ada yang peduli. Belasan remaja itu masih tetap pada pendirian mereka sendiri, menyeberang melintasi dengan gerakan cukup santai. Seolah sengaja mengabaikan macet lalu lintas karena pergerakan lamban mereka.
Senyum semringah terpancar dari setiap iras muda milik para remaja itu. Hari terakhir menggunakan seragam putih abu-abu telah tiba. Seakan terbebas, seperti benar-benar merdeka dari rutinitas pagi yang menurut mereka cukup membosankan.
“Ah… akhirnya aku bisa bangun siang sesukaku!” ucap seorang siswa.
“Akhirnya aku bisa mengenakan pakaian sesukaku,” timpal siswi lainnya membayangkan indahnya saat nanti menjalani kehidupan kuliah.
“Sekarang aku sudah tidak lagi menjadi beban kedua orangtuaku. Bisa langsung cari kerja, dapat gaji umr, lalu kpr rumah. Setelah itu aku bisa segera menikahi pacarku!” celetuk siswa lainnya tak kalah girang, sembari membayangkan indahnya hidup setelah mendapat sebuah pekerjaan dengan nominal gaji yang diinginkannya.
Hidup memang tidak mudah. Perjalanan tidak akan menjadi lancar hanya karena sudah menamatkan pendidikan SMK. Masih panjang perjalanan berliku, berduri, berkerikil, serta berdebu. Tidak semudah yang para anak muda itu bayangkan, berjalan mulus sesuai dengan keinginan mereka.
Di tengah keriuhan para siswa yang saat ini masih berpesta dengan coretan tinta juga warna. Dua orang remaja dari kawanan pelajar baru lulus tersebut tampak melipir menghindari keramaian. Melangkah ke sebuah warung pinggir jalan yang tampak sepi. Kemudian menghempaskan bokong mereka di sana. Usai tadi salah satu di antara keduanya menghampiri sang pedang kecil untuk dibuatkan minuman.
“Teh Manis dingin, aku sudah memesannya. Satu untukmu, dan satunya lagi untukku.” Siswa berlesung pipi itu berbicara sembari merekahkan senyumnya. Tak akan lelah meski keringat tampak mengguyur dahi, akibat barusan berpanas-panas di bawah terik matahari.
“Ini… uangnya. Kali ini aku akan membayar punyaku,” kata seorang siswi cantik sembari menyodorkan satu lembar pecahan lima ribu rupiah.
“Nggak usah, Nai… biar aku saja yang bayar. Uang saku ku masih banyak. Kau simpan saja uangmu, ditabung. Bukankah kau ingin membeli sepeda motor matic seperti yang dimiliki oleh Via?”
“Tapi San… aku tidak enak. Setiap hari kau selalu menalangi uang jajanku dan itu sungguh membuatku merasa malu.”
“Malu? Malu kenapa? Bukankah kau itu pacarku? Jadi sudah seharusnya ‘bukan seorang pria memberikan apapun yang ia punya—terlebih itu hanya sekedar jajan.”
“Tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Uangmu habis. Sementara uangku—”
“Sudahlah Nai… selama bersamaku kau tidak perlu khawatir. Uang saku ‘ku sepuluh kali lipat lebih banyak dari milikmu. Jadi jika itu hanya untuk semangkuk bakso, juga segelas teh dingin untukmu, itu semua sama sekali tidak akan menguras uang saku ‘ku.” Ikhsan menyela. Sengaja. Tidak ingin mendengar kalimat penolakan lagi dari mulut kekasihnya yang sudah ia pacari selama kurang lebih satu tahun itu.
Hingga akhirnya gadis cantik berkulit kuning langsat itu tidak lagi mampu menolak. Hanya bisa pasrah menerima segala keinginan kekasihnya yang untuk kesekian kalinya mentraktir ia makanan dan minuman tersebut.
Mie instan cup yang sudah diseduh dengan air panas kini tersaji di depan mereka. Disusul teh manis dingin kesukaan Naira. Langsung disesap oleh keduanya, sembari menikmati hangat mie instan cup dengan toping bola-bola menyerupai bakso.
Rasanya benar-benar nikmat. Meski ditengah teriknya cuaca kala siang itu. Tapi hal tersebut sama sekali tidak mengurangi sedikitpun citarasa dari makanan instan tersebut.
“Ikhsan… setelah ini kau akan ke mana?” tanya Naira tiba-tia disela-sela tegukan kuahnya yang terakhir.
“Aku akan ke Jakarta,” kata Ikhsan dengan mimik yang terkesan santai.
“A-apa?!” Naira meringis. Merasa pedih. Karena pada akhirnya apa yang selama ini ia takuti benar-benar menjadi kenyataan.
Sementara itu Ikhsan sendiri tampak tersenyum. Curi pandang sebentar, sebelum akhirnya menyeruput habis kuah mie miliknya.
“Hei… kau ini kenapa? Kenapa wajahmu langsung berubah sedih seperti itu? Aku ini hanya pergi sebentar. Paling lama hanya 3 - 4 tahun saja. Dan nanti disela-sela masa libur kuliah aku akan kembali ke kota ini. Khusus untuk mengunjungimu,” kata Ikhsan.
Sungguh dari dalam lubuk hati sebenarnya ia juga memiliki kegelisahan yang sama seperti Naira. Tapi pemuda itu tidak mau menunjukkannya. Tidak ingin membuat kekasihnya semakin muram, sedih karena keputusannya.
Jujur, jika boleh memilih Ikhsan sendiri sebenarnya juga tidak ingin berjauhan dengan Naira. Terlebih antar pulau. Namun Ikhsan tidak memiliki pilihan lain selain mewujudkan keinginan kedua orangtua angkatnya yang selama ini telah membesarkannya, memfasilitasi segala kehidupannya serta pendidikannya.
Mereka ingin Ikhsan menempuh pendidikan bisnis di salah satu universitas ternama yang ada di Ibukota tersebut. Supaya kelak ketika keduanya telah tiada—Ikhsan bisa melanjutkan serta mengembangkan perusahaan kecil yang dirintis bersama oleh kedua orangtua angkatnya.
“Tapi San… 3 - 4 tahun itu bukan waktu yang singkat. Bagaimana jika nanti kau bosan dengan hubungan ini. Lalu menemukan kenyamanan lain di sana?” Entah apa yang ada di pikiran Naira saat ini. Padahal belakangan ia bahkan ikut andil dalam memberikan support untuk kekasihnya itu.
Tapi saat ini ketika semua hampir benar-benar terjadi, malah ia yang tidak rela?
Pikirannya semrawut. Ia kalut. Terlalu takut jika Ikhsan kepincut dengan gadis lain. Apalagi di kota yang notabene pasti akan banyak gadis cantik berpenampilan modern idaman para pria.
Ikhsan tertawa. Naira begitu menggemaskan. Terlihat begitu imut apalagi dalam posisi cemburu. Membuat pemuda itu tak tahan untuk mencubit kedua pipinya. Langsung direalisasikan tanpa pikir panjang. Sampai-sampai membuat Naira meringis dalam kekalutannya.
“Kau itu terlihat sangat menggemaskan saat kau sedang cemburu. Seperti ini,” kata Ikhsan menatap teduh kedua netra Naira. “Dan apa kau tahu sesuatu Naira?”
“Kau itu tidak ada tandingannya dengan gadis lain. Pacarku tetap yang paling cantik, paling baik, paling-paling segalanya dihatiku. Sehingga sampai kapanpun itu aku pastikan jika tidak akan ada gadis lain yang mampu menggantikanmu di hatiku.” Ikhsan kembali menimpali ucapannya. Bukan hanya ingin meyakinkan Naira. Menghibur suasana hati pacarnya. Melainkan semua itu memang benar berasal dari dalam lubuk hatinya yang mencintai Naira dengan segenap ketulusan.
...Hidup. Rasanya benar-benar melelahkan. Terlebih untuk seseorang sepertiku yang bisa dikatakan anak ‘pungut’. Di ambil dari keluarga yang berantakan. Lalu dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh seorang bapak tua—yang sepanjang usia pernikahannya tidak memiliki keturunan. Bukan tidak bersyukur. Hanya saja menilik ke belakang, rasanya aku hanya menjadi beban dalam pernikahannya?...
...***...
Praaangg!
Praaanggg!!!
Bugh!!
Buuuugghh!!
“Akkhhhh….”
Keriuhan terdengar dari dalam sebuah rumah tua yang di isi oleh sebuah keluarga. Di mana-mana lantai tampak berserakan. Dipenuhi kertas yang diserak oleh sekumpulan pria berbadan kekar.
Di satu sisi terlihat seorang pria paruh baya dengan wajah lebam, mulut, serta hidung yang berdarah. Sementara disisi lain terlihat seorang wanita paruh baya yang sedang berlutut dihadapan salah satu pria bertubuh kekar yang saat ini sedang memegangi sebuah televisi berukuran 21’inc miliknya.
“To- tolong Tuan, kasihani kami. Jangan ambil barang-barang kami. Terlebih tv itu yang merupakan satu-satunya barang beharga yang ada di rumah ini,” ucap wanita paruh baya tersebut penuh iba. Berharap sang—DC yang bertugas menagih hutang ke rumahnya itu berbelas kasih, lantas menaruh kembali televisinya, dan pergi dari rumah mereka tanpa membawa apapun.
“Enak saja! Makanya kalau punya hutang itu dibayar! Lagipula tv jelek seperti ini cuma laku berapa? Tidak cukup bahkan hanya untuk menutup bunga dari uang yang telah kalian pinjam dari Bos Eddy!” hardik sang—DC arogan. Membuat wanita tua yang saat ini sedang berlutut di depannya tampak sedikit menciut mendengar suaranya.
Nyali yang ia kumpulkan untuk mempertahankan satu-satunya barang yang paling beharga di rumah itu remuk sudah. Terlebih saat sang—DC mengempaskan kaki. Yang otomatis membuat tubuh kurus tua itu terlempar ke arah samping, dan itu cukup menyakitkan.
Meringis sembari memegang dada. Apakah para pria bertubuh kekar itu peduli lantas meminta maaf? Yang ada ketiga orang tersebut malah tertawa menyaksikan kemirisan hidup dua orangtua tersebut di usia senja mereka.
“Hari ini kalian masih cukup beruntung karena kami tidak menemukan surat rumah ini. Dan jika nanti kami datang kembali, lalu kalian masih tidak bisa melunasi hutang uang yang kalian ambil dari Bos Eddy. Kami pastikan bukan hanya mulut pak tua Andi yang kami buat berdarah. Tapi juga rumah ini akan kami bakar karena kalian tidak mau menyerahkan surat-suratnya sebagai jaminan pelunasan hutang kepada Bos Eddy!” ucap pria tersebut memberi peringatan. Membuat Fatimah mulai gemetar ketakutan.
Tidak! Ini semua tidak bisa dibiarkan! Rumah ini merupakan warisan dari kedua orangtua Fatimah. Tidak boleh sampai jatuh ke tangan orang lain. Apalagi hal tersebut disebabkan karena hutang. Hutang yang menurutnya sangat tidak seberapa dibandingkan dengan harga rumah peninggalan kedua orangtua Fatimah tersebut.
Tiga orang DC itu kemudian berlalu. Tentu dengan mengangkut barang paling berharga di rumah itu. Sembari terus tertawa dua orang lainnya bahkan dengan sengaja membuang puntung rokok di depan pintu rumah tersebut. Lalu meludahi, kemudian memaki,- “makanya lain kali kalau nggak mampu bayar. Jangan pinjam sama Bos kami. Ini akibatnya karena kalian telah ingkar janji!”
Lontaran kalimat yang cukup kuat. Lagi-lagi sepertinya disengaja oleh orang-orang itu agar para tetangga sekitar mendengar dan mengetahui jika perbuatan mereka tidak salah. Melainkan kedua paruh baya itulah yang salah karena sudah diberi pinjaman, tapi tak berinisiatif mengembalikan sampai mereka harus turun tangan.
Benar-benar memalukan!
Fatimah kemudian beringsut dari tempatnya. Merangkak, berdiri dengan tertatih-tatih menghampiri sang suami yang sudah dibuat tak berdaya oleh orang-orang itu.
“Pak, bangun Pak! Bangun!” Fatimah menggoyang-goyangkan tubuh suaminya yang saat ini sedang terduduk lemas. “Bapak lihat sendiri sekarang ‘kan? Orang-orang itu sangat bringas, mereka mengobrak abrik rumah kita sampai seperti ini. Dan mereka juga mengambil satu-satunya barang berharga milik kita untuk menutupi hutang yang sudah Bapak pinjam!”
“Sudah berapa kali aku peringatkan. Jangan berhutang kepada rentenir itu! Si Eddy itu lintah darat! Dia bisa melakukan apapun yang ia suka sampai kita benar-benar membayar uangnya. Untung saja aku sudah lebih dulu menyimpan sertifikat rumah ini di tempat yang aman. Coba kalau tidak, bisa terusir kita dari rumah ini hanya gara-gara uang lima juta yang Bapak pinjam!” decit Fatimah kembali dengan perasaan kesal.
Semua ini gara-gara anak sialan itu. Coba saja bukan karena membiayai sekolahnya. Pasti semua ini tidak akan terjadi. Kediamannya tidak akan di obrak-abrik, Ia tidak akan berlutut di kaki para DC tersebut. Dan hal yang paling penting lainnya adalah satu-satunya warisan yang tersisa peninggalan kedua orangtuanya tidak akan terancam seperti ini!
“Pokoknya aku nggak mau tahu. Bapak sekarang juga keluar cari uang untuk melunasi hutang-hutang Bapak sama si Eddy itu. Aku nggak mau kalau sampai rumah ini disita. Apalagi sampai dibakar sama antek-antek si lintah darat itu!” cicitnya kemudian.
“Ini semua salah, Bapak! Bapak yang udah bersikeras untuk tetap menyekolahkan, Naira. Andai Bapak tidak keras kepala mau mendengar ucapanku. Maka semua ini tidak akan terjadi!” tutur Fatimah lagi berkalut emosi ketika membayangkan wajah Naira yang selama ini sangat dibencinya itu.
Ya, bagi Fatimah sendiri, Naira, merupakan wujud dari kesialan bertubi-tubi yang hadir dalam kehidupan rumah tangganya. Semenjak kedatangan gadis itu hidup Fatimah menjadi berantakan. Usaha suaminya—Andi bangkrut usai mereka memutuskan untuk merawat Naira.
Dan semua itu berlangsung secara bertahap. Sampai akhirnya mereka menjual segala sisa harta yang mereka punya untuk merintis usaha baru. Tapi hasilnya sia. Bukannya memperbaiki perekonomian, malah semakin memperpuruk kehidupan mereka hingga hanya menyisakan warisan rumah tua dari orangtua Fatimah saja.
“Naira itu pembawa sial, Pak! Seharusnya dulu kita tidak usah mengadopsinya. Andai kita menyadari hal ini lebih cepat, maka aku yakin hidup kita pasti tidak akan semelarat ini!”
Plaaaakkk!
Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Fatimah. Wanita itu gemetar. Menatap wajah suaminya dengan tatapan penuh amarah. Ia ditampar? Apakah ini mimpi? Wanita paruh baya itu ditampar oleh suaminya sendiri?
“Bapak, kenapa kamu malah—”
“Berhenti membicarakan tentang, Naira. Gadis itu bukan pembawa sial! Justru dengan kehadirannya membuat hidup kita lebih bewarna. Dia adalah gadis yang sangat baik, Fatimah. Dia putri semata wayang kita. Kita membesarkannya penuh cinta. Jadi jangan pernah mengatakan kesialan apapun tentang dirinya!” Andi akhirnya bersuara. Saking geram mendengar ocehan Fatimah yang tak kunjung usai membahas tentang Naira.
Gadis itu bukan pembawa sial! Naira adalah putrinya. Apapun yang terjadi pada hidupnya saat ini Andi menganggap merupakan takdir yang jika pun tidak ada Naira—pasti akan tetap ia jalani.
...Balas budi? Haruskah budi itu ku balas dengan mengorbankan diri sendiri?...
...***...
“Assalamu’alaikum, Bapak. Naira pulang!” Naira berseru dari arah luar. Begitu bersemangat mengingat nilai yang ia miliki cukup bagus untuk ia tunjukkan kepada lelaki yang selama ini dengan tulus melimpahkan rasa kasih kepada dirinya.
Melepaskan sepatu. Kantung kresek berisikan gorengan yang ia beli di warung depan kemudian ia taruh di samping ia duduk. Di sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu, hasil mahakarya pria yang sangat dicintai yaitu sang—Bapak.
Buru-buru meletakkan sepatu pada rak hasil rangkaian Andi juga, agar bisa segera masuk ke dalam menunjukkan keberhasilannya.
4. Angka yang begitu disukai Andi—Bapaknya. Dan sekarang Naira akan memberikan angka tersebut yang merupakan nilai ipk nya di sekolah. Terbilang cukup tinggi karena memang Naira murid yang cerdas.
Naira kemudian bergegas masuk ke dalam. Namun, belum lagi sempat kakinya benar-benar melangkah masuk ke dalam rumah yang telah membesarkannya itu. Dahi Naira mengerut ketika tepat di depan pintu masuk ia melihat dua batang puntung rokok yang beluh habis terbakar.
‘Milik siapa ini. Apa mungkin tadi ada tamu?’
Sejenak Naira termenung memikirkan keberadaan puntung rokok tersebut. Jika pun benar pemikirannya jika barusan ada tamu yang datang, pantaskah mereka membuang puntung rokok seperti ini sembarangan?
Hati Naira berdenyut. Entah mengapa rasa khawatir tiba-tiba saja menjalar di pikirannya. Buru-buru masuk hendak menemui Bapaknya. Namun, baru saja ia membuka pintu, sebuah pemandangan tak lazim ia lihat!
Berantakan. Lantai yang harusnya selalu bersih, mengingat Fatimah yang terbilang cukup steril. Siang itu penuh dengan kertas-kertas yang berserak, juga tanah hasil mahakarya dari sepatu para antek-antek Eddy yang tadi sempat datang.
Naira tidak mengetahui hal tersebut. Tapi yang tebersit di pikirannya saat ini adalah ia harus segera menemui kedua orangtuanya. Memeriksa apakah mereka dalam keadaan baik-baik saja?
Segera Naira berlari ke arah dapur. Mengingat biasanya di jam segini Fatimah sedang mengolah menu makanan sederhananya. Sementara Andi kerap berada di belakang rumah, mengerjakan kerajinan tangannya, membuat celengan, juga pahatan ayat kursi untuk ia jual.
“Mak! Mamak!”
“Pak! Bapak!” Sunyi. Tidak ada yang menjawab. Berulang kali Naira memanggil tetap saja tidak ada sahutan.
Keadaan di dapur sama berantakannya seperti di depan, dan Fatimah pun juga ikut tidak ada. Bergegas menuju pintu belakang dengan harapan ada Andi di sana. Tapi kekosongan tempat tersebut ikut memupuskan harapan Naira tentang keberadaan kedua orangtuanya.
“Ya-Rabb… di mana kedua orangtuaku? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa keadaan rumah kami seperti ini?” Naira menangis. Bertanya pada diri sendiri. Hingga benaknya kembali tebersit, mungkinkah Fatimah dan Andi bertengkar. Lalu sama-sama pergi meninggalkan rumah?
Mata Naira basah. Hidungnya merah. Cairan bening itu terus keluar membasahi wajahnya, menangis tersedu sambil terduduk di lantai dapur. Lemas, benar-benar lemas. Terlebih setelah pikirannya mulai melayang-layang memikirkan biduk perkara atas apa yang terjadi. Mungkinkah ini semua karena pertengkaran yang kerap ia dengar tentangnya?
“Nai! Naira!” sebuah teriakan terdengar dari arah luar. Menghenyakkan segala pikiran Naira yang hampir menyalahkan diri sendiri. Gadis itu berpaling. Seseorang tampak berlari ke arahnya. Bu Suri tetangga sebelah yang tampak begitu panik bercampur khawatir dari sorot matanya.
“Naira… cepat sekarang ganti pakaian. Mamak mu masuk rumah sakit. Dan sekarang Bapakmu juga sedang di sana. Tadi anak Uwak, si Anto yang bawa. Rumah sakit Citra Husada! Ya, kalau nggak salah tadi si Anto Wa katanya Mamakmu sedang ditangani sama Dokter umum yang jaga tugas di sana!” kata Bu Suri begitu cepat sembari mengingat-ingat nama rumah sakit tempat di mana Fatimah di rawat.
***
Buru-buru memakai sendal. Iras cantik Naira tampak bingung dan pucat. Tangannya gemetar. Sampai-sampai membuat tas selempang yang ingin ia sandang pada lengan jatuh ke tanah. Naira memungutnya. Berjongkok meraba memegang dengan kedua tangan. Pelan-pelan ia sampirkan pada bahunya. Sebelum akhirnya kembali berbalik saat mendengar suara Suri memanggilnya.
“Naira, tunggu!” sembari berjalan Suri merogoh saku daster yang ia kenakan, mengambil dua lembar sepuluh ribuan untuk diserahkan kepada Naira. “Pakai ini untuk ongkos. Uwak tahu kamu nggak ada uang. Jangan dipikirkan, karena sekarang yang terpenting adalah kau harus segera ke rumah sakit untuk menemani Mamakmu.”
“T- terimakasih, U- uwak. Na- Naira janji b- besok-besok setelah Naira punya uang… Naira akan kembalikan uang Uwak,” terang Naira dengan perasaan tidak enak. Tahu kehidupan Suri pun tak jauh sama seperti kedua orangtuanya—yang hanya memiliki penghasilan pas-pasan untuk setiap harinya.
“Udah… jangan dipikirkan, Nai. Sekarang cepat kamu pergi ke rumah sakit. Kasihan Bapakmu sendirian di sana. Barusan Anto udah pulang. Katanya mau ke pabrik. Tahu sendiri kamu ‘kan gimana pekerjaannya. Nggak boleh libur barang satu hari, kecuali hari minggu.”
“Iya, Uwak, Naira tahu. Naira akan pergi sekarang. Titip rumah ya. Dan… untuk lantai yang berserakan tidak usah dibersihkan Uwak. Biar Nai sendiri saja nanti yang bersihkan.” Naira tidak ingin merepotkan. Apalagi Suri sudah tua. Kerap sakit-sakitan di usianya yang sekarang. Yang mana akan membuat Naira merasa bersalah jika sampai kondisi wanita tua itu drop setelah membersihkan rumahnya.
Naira tahu, Suri merupakan tetangga yang tergolong ringan tangan. Kerap membantu tanpa disuruh. Apalagi dalam keadaan darurat seperti sekarang. Pasti wanita tua itu tidak akan tinggal diam melihat kondisi rumahnya yang berantakan.
“Udah-udah… pergi sana. Urusan rumah biar jadi urusan Uwak. Jangan membantah. Ingat, Bapakmu sendirian di sana. Pasti ia sedang membutuhkanmu sekarang,” tukas Suri tidak suka dibantah—yang mana hal tersebut langsung dituruti oleh Naira.
Melangkah cepat. Jarak rumah Naira dengan jalan besar sekitar lima ratus meter ke depan. Naira buru-buru. Ia semakin mempercepat laju langkahnya. Sampai-sampai tak sempat melihat kiri-kanan. Dan,-
Bruukkkk!!
Naira jatuh ke tanah. Tak sempat benar-benar mengenai tanah. Tangannya langsung ditarik oleh seseorang yang begitu asing baginya. Lelaki berkulit gelap dengan tampang yang sangat sangar. Begitu menakutkan. Sampai-sampai membuat Naira yang tengah dilanda kekalutan tidak berkutik, terdiam.
Gadis itu melihat sang pria berjanggut rimbun itu menoleh ke arah belakang. Lalu mengangguk pelan, sebelum akhirnya seorang lain datang ikut menarik tubuh Naira—membawanya paksa masuk ke dalam mobil mereka.
“L- lepas!! L- lepaskan saya! Si- siapan kalian? P- pen-culik? K- kalian salah orang. Saya… saya bukan orang kaya. S- saya… hanyalah anak seorang pengrajin celengan yang miskin!” teriak Naira ketakutan. Tentu sembari terus melawan berusaha melepaskan diri dari jerat kedua orang dewasa yang memiliki tampang sangat menyeramkan itu!
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!