TMTK — BAG 2

...Hidup. Rasanya benar-benar melelahkan. Terlebih untuk seseorang sepertiku yang bisa dikatakan anak ‘pungut’. Di ambil dari keluarga yang berantakan. Lalu dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh seorang bapak tua—yang sepanjang usia pernikahannya tidak memiliki keturunan. Bukan tidak bersyukur. Hanya saja menilik ke belakang, rasanya aku hanya menjadi beban dalam pernikahannya?...

...***...

Praaangg!

Praaanggg!!!

Bugh!!

Buuuugghh!!

“Akkhhhh….”

Keriuhan terdengar dari dalam sebuah rumah tua yang di isi oleh sebuah keluarga. Di mana-mana lantai tampak berserakan. Dipenuhi kertas yang diserak oleh sekumpulan pria berbadan kekar.

Di satu sisi terlihat seorang pria paruh baya dengan wajah lebam, mulut, serta  hidung yang berdarah. Sementara disisi lain terlihat seorang wanita paruh baya yang sedang berlutut dihadapan salah satu pria bertubuh kekar yang saat ini sedang memegangi sebuah televisi berukuran 21’inc miliknya.

“To- tolong Tuan, kasihani kami. Jangan ambil barang-barang kami. Terlebih tv itu yang merupakan satu-satunya barang beharga yang ada di rumah ini,” ucap wanita paruh baya tersebut penuh iba. Berharap sang—DC yang bertugas menagih hutang ke rumahnya itu berbelas kasih, lantas menaruh kembali televisinya, dan pergi dari rumah mereka tanpa membawa apapun.

“Enak saja! Makanya kalau punya hutang itu dibayar! Lagipula tv jelek seperti ini cuma laku berapa? Tidak cukup bahkan hanya untuk menutup bunga dari uang yang telah kalian pinjam dari Bos Eddy!” hardik sang—DC arogan. Membuat wanita tua yang saat ini sedang berlutut di depannya tampak sedikit menciut mendengar suaranya.

Nyali yang ia kumpulkan untuk mempertahankan satu-satunya barang yang paling beharga di rumah itu remuk sudah. Terlebih saat sang—DC mengempaskan kaki. Yang otomatis membuat tubuh kurus tua itu terlempar ke arah samping, dan itu cukup menyakitkan.

Meringis sembari memegang dada. Apakah para pria bertubuh kekar itu peduli lantas meminta maaf? Yang ada ketiga orang tersebut malah tertawa menyaksikan kemirisan hidup dua orangtua tersebut di usia senja mereka.

“Hari ini kalian masih cukup beruntung karena kami tidak menemukan surat rumah ini. Dan jika nanti kami datang kembali, lalu kalian masih tidak bisa melunasi hutang uang yang kalian ambil dari Bos Eddy. Kami pastikan bukan hanya mulut pak tua Andi yang kami buat berdarah. Tapi juga rumah ini akan kami bakar karena kalian tidak mau menyerahkan surat-suratnya sebagai jaminan pelunasan hutang kepada Bos Eddy!” ucap pria tersebut memberi peringatan. Membuat Fatimah mulai gemetar ketakutan.

Tidak! Ini semua tidak bisa dibiarkan! Rumah ini merupakan warisan dari kedua orangtua Fatimah. Tidak boleh sampai jatuh ke tangan orang lain. Apalagi hal tersebut disebabkan karena hutang. Hutang yang menurutnya sangat tidak seberapa dibandingkan dengan harga rumah peninggalan kedua orangtua Fatimah tersebut.

Tiga orang DC itu kemudian berlalu. Tentu dengan mengangkut barang paling berharga di rumah itu. Sembari terus tertawa dua orang lainnya bahkan dengan sengaja membuang puntung rokok di depan pintu rumah tersebut. Lalu meludahi, kemudian memaki,- “makanya lain kali kalau nggak mampu bayar. Jangan pinjam sama Bos kami. Ini akibatnya karena kalian telah ingkar janji!”

Lontaran kalimat yang cukup kuat. Lagi-lagi sepertinya disengaja oleh orang-orang itu agar para tetangga sekitar mendengar dan mengetahui jika perbuatan mereka tidak salah. Melainkan kedua paruh baya itulah yang salah karena sudah diberi pinjaman, tapi tak berinisiatif mengembalikan sampai mereka harus turun tangan.

Benar-benar memalukan!

Fatimah kemudian beringsut dari tempatnya. Merangkak, berdiri dengan tertatih-tatih menghampiri sang suami yang sudah dibuat tak berdaya oleh orang-orang itu.

“Pak, bangun Pak! Bangun!” Fatimah menggoyang-goyangkan tubuh suaminya yang saat ini sedang terduduk lemas. “Bapak lihat sendiri sekarang ‘kan? Orang-orang itu sangat bringas, mereka mengobrak abrik rumah kita sampai seperti ini. Dan mereka juga mengambil satu-satunya barang berharga milik kita untuk menutupi hutang yang sudah Bapak pinjam!”

“Sudah berapa kali aku peringatkan. Jangan berhutang kepada rentenir itu! Si Eddy itu lintah darat! Dia bisa melakukan apapun yang ia suka sampai kita benar-benar membayar uangnya. Untung saja aku sudah lebih dulu menyimpan sertifikat rumah ini di tempat yang aman. Coba kalau tidak, bisa terusir kita dari rumah ini hanya gara-gara uang lima juta yang Bapak pinjam!” decit Fatimah kembali dengan perasaan kesal.

Semua ini gara-gara anak sialan itu. Coba saja bukan karena membiayai sekolahnya. Pasti semua ini tidak akan terjadi. Kediamannya tidak akan di obrak-abrik, Ia tidak akan berlutut di kaki para DC tersebut. Dan hal yang paling penting lainnya adalah satu-satunya warisan yang tersisa peninggalan kedua orangtuanya tidak akan terancam seperti ini!

“Pokoknya aku nggak mau tahu. Bapak sekarang juga keluar cari uang untuk melunasi hutang-hutang Bapak sama si Eddy itu. Aku nggak mau kalau sampai rumah ini disita. Apalagi sampai dibakar sama antek-antek si lintah darat itu!” cicitnya kemudian.

“Ini semua salah, Bapak! Bapak yang udah bersikeras untuk tetap menyekolahkan, Naira. Andai Bapak tidak keras kepala mau mendengar ucapanku. Maka semua ini tidak akan terjadi!” tutur Fatimah lagi berkalut emosi ketika membayangkan wajah Naira yang selama ini sangat dibencinya itu.

Ya, bagi Fatimah sendiri, Naira, merupakan wujud dari kesialan bertubi-tubi yang hadir dalam kehidupan rumah tangganya. Semenjak kedatangan gadis itu hidup Fatimah menjadi berantakan. Usaha suaminya—Andi bangkrut usai mereka memutuskan untuk merawat Naira.

Dan semua itu berlangsung secara bertahap. Sampai akhirnya mereka menjual segala sisa harta yang mereka punya untuk merintis usaha baru. Tapi hasilnya sia. Bukannya memperbaiki perekonomian, malah semakin memperpuruk kehidupan mereka hingga hanya menyisakan warisan rumah tua dari orangtua Fatimah saja.

“Naira itu pembawa sial, Pak! Seharusnya dulu kita tidak usah mengadopsinya. Andai kita menyadari hal ini lebih cepat, maka aku yakin hidup kita pasti tidak akan semelarat ini!”

Plaaaakkk!

Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Fatimah. Wanita itu gemetar. Menatap wajah suaminya dengan tatapan penuh amarah. Ia ditampar? Apakah ini mimpi? Wanita paruh baya itu ditampar oleh suaminya sendiri?

“Bapak, kenapa kamu malah—”

“Berhenti membicarakan tentang, Naira. Gadis itu bukan pembawa sial! Justru dengan kehadirannya membuat hidup kita lebih bewarna. Dia adalah gadis yang sangat baik, Fatimah. Dia putri semata wayang kita. Kita membesarkannya penuh cinta. Jadi jangan pernah mengatakan kesialan apapun tentang dirinya!” Andi akhirnya bersuara. Saking geram mendengar ocehan Fatimah yang tak kunjung usai membahas tentang Naira.

Gadis itu bukan pembawa sial! Naira adalah putrinya. Apapun yang terjadi pada hidupnya saat ini Andi menganggap merupakan takdir yang jika pun tidak ada Naira—pasti akan tetap ia jalani.

Terpopuler

Comments

Fakrullah (@fakhiral2013)

Fakrullah (@fakhiral2013)

Cemungut Fana💪🏼💪🏼💪🏼 ceritanya semakin menarik. Lanjut terus ya!

2024-02-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!