My Love My Lawyer
Detak jam dinding mengiringi kepanikan nya yang terlambat bangun. Bergegas dia ke kamar mandi, cuci muka, lalu gosok gigi tanpa mandi. Pastilah tak mandi, karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi dan tak sempat baginya untuk melakukan itu. Berhias pun hanya sebatas bedak tabur dan lipstik berwarna nude yang mewarnai bibirnya.
"Aduh...!" pekiknya, yang merasakan sakit pada jempol kakinya yang tersandung kursi meja belajarnya.
"Ck.." decak nya, "kenapa bisa terlambat lagi?" Mona panik, karena ini sudah kedua kalinya dia terlambat bekerja.
"Kak Mona, kakak kesiangan lagi ya?" saut seorang anak laki-laki yang sudah memasuki kamarnya. Dia adalah Adi, adik dari Mona.
"Sudah tahu malah tanya." Kata Mona sembari memutar bola matanya malas, di tambah dia yang masih kebingungan mondar-mandir mencari kunci motornya.
"Kakak cari ini kan?"
Mona menautkan kedua alisnya, menatap Adi, lekas melangkah menghampiri. Namun saat dia ingin meraih kunci itu.
"Eii! Tunggu dulu." Adi merampas kembali kunci motornya.
"Adi! Aku bisa terlambat kerja?! Mana kuncinya?!" pinta Mona yang merasa dongkol pada adiknya tersebut.
"Aku akan kasih kunci ini, tapi aku minta uang buat main PS." Sambil menaik turunkan alisnya, dan tak lupa senyum cengar-cengir meledek, membuat Mona makin kesal di buatnya.
Mona memutar bola matanya malas dengan tingkah Adi. Meskipun begitu dia sangat sayang pada adik laki-laki nya ini.
Segera dia keluarkan dompet dari tas selempang nya, dan memberikan selembar uang 50 ribu.
Dengan senang hati, tangan Adi menyambut uang itu, yang sudah pasti membuat matanya berbinar. Segera dia masukkan uang nya dalam saku. Sesaat dia terdiam, menyadari ada sesuatu yang aneh dengan adiknya.
Mona memicingkan matanya ke arah Adi. "Hari ini kamu tidak sekolah ya?"
"Ya ampun kakakku yang cantik tapi oneng, kakak lupa ini hari minggu." Sembari tersenyum meledek kakaknya.
"Ya ampun aku lupa. "Tangan nya menepuk menepuk jidatnya sendiri, karena hari minggu bukanlah hari libur baginya seperti kebanyakan orang di luar sana. Karena semua hari baginya adalah waktu untuk kuliah dan bekerja.
Dia adalah Mona Ayunda, biasa di panggil Mona. Wanita berusia 22 tahun dengan paras cantik dan sederhana. Dia Bekerja paruh waktu di sebuah restoran makanan cepat saji. Saat ini dia juga tercatat sebagai seorang mahasiswi jurusan ilmu komunikasi di sebuah universitas kenamaan di kota A dengan beasiswa yang di dapatkan nya dari jalur akademik.
Sedangkan anak laki-laki yang bernama Adi adalah adiknya. Usianya 12 tahun dan masih menempuh pendidikan sekolah dasar.
Di tengah saling kejar mengejar keduanya, Mona dan Adi mendengar keributan di lantai bawah. Terdengar suara piring pecah, hingga keduanya saling menatap terkoneksi. Mereka seperti tahu apa yang terjadi.
"Wanita itu pasti kumat lagi." Gumam Mona, yang sudah mengira apa yang terjadi di luar sana. Sedangkan adiknya hanya menghela nafas sambil menatap sedih kakaknya.
"Sudah tidak apa, kamu langsung keluar lewat pintu belakang."
Adi dengan segera keluar lewat pintu belakang sesuai perintah kakaknya. Sedangkan Mona menuju ruang makan dimana sumber suara itu berasal.
***
"Dasar kau laki-laki tak berguna! Bukanya mencari kerja, malah masih di rumah!"
Suara makian seorang wanita yang bernama Ratna, yang tidak lain ibu tiri Mona. Wanita itu sedang mengamuk pada ayahnya.
Ayahnya menikahi Ratna, seorang janda beranak satu sejak 5 tahun lalu. Namun anaknya mengikuti mantan suaminya terdahulu.
Pernikahan kedua ayahnya, tidak lantas membuat Mona menganggap Ratna sebagai ibunya. Dia tetap memanggil sebutan tante pada Ratna. Baginya mendiang ibunya tidak bisa tergantikan oleh wanita manapun, walau sudah berstatus istri ayahnya.
Terlebih saat dia mengetahui tujuan Ratna menikahi ayahnya ketika masih sukses dulu, hanya untuk mengeruk hartanya dan menumpang hidup enak pada keluarganya. Namun saat usaha ayahnya bangkrut, makian dan hinaan hampir setiap hari dia dengar dari mulut wanita culas tersebut.
Sedangkan pria yang mendapatkan makian itu hanya diam terduduk di kursi meja makan. Dia adalah, Herman, ayah Mona. Entah berapa kali makian yang di terima oleh pria paru baya tersebut, hingga dia pun rasanya sudah malas untuk meladeni istrinya.
Dia awalnya menikahi Ratna, karena berharap bisa membangun rumah tangga bahagia kembali, setelah lama menduda. Namun semuanya pupus sudah. Perhatian Ratna di awal hanyalah sandiwara untuk menjerat dirinya, agar menikahinya. Karena yang diincar oleh Ratna adalah hartanya.
Dan lebih parahnya lagi, hutang Ratna yang sama sekali tidak di ketahui oleh Herman sebelumnya, di bebankan kepadanya, membuat uang tabungan untuk pendidikan putra dan putrinya habis tak tersisa, sampai pada akhirnya Mona harus berjuang kembali mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk menghidupi keluarganya.
Dia mungkin mendapatkan beasiswa dari kampusnya, tapi bukan berarti dia terlepas dari tekanan biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari keluargannya.
Mona sampai di lantai bawah, dimana pertengkaran keduanya terjadi.
"Tante! Apa yang tante katakan?! Ayah masih sakit, beliau baru pulang dari rumah sakit!" seru Mona dengan melemparkan tatapan tajam ke arah Ratna. Jelas lah Mona tak terima dengan perkataan ibu tirinya terhadap ayahnya.
Kehadiran Mona, di sambut senyuman sinis dari ibu tirinya itu, "hmm, alasan!"
Mona mencoba menahan emosinya, agar energinya tidak terbuang sia-sia meladeni wanita uring-uringan itu.
"Ayo Yah, ke kamar Mona saja" dengan membantu ayahnya beranjak dari duduknya.
"Bawa Ayahmu itu! Kau sama saja dengan Ayahmu, tak berguna!" Ratna yang masih mengamuk melanjutkan makiannya.
Tapi Mona tidak mempedulikan makian itu, dia terus memapah ayahnya yang masih lemas paska operasi usus buntu yang baru di jalani.
Sampai lah keduanya di dalam kamar. Dengan sigap Mona membantu ayahnya duduk di atas tempat tidur. "Ayah beristirahatlah, Mona siapkan makanan sebentar."
Tanpa membuang waktu, Mona menuju dapur untuk memasak bubur sambil sesekali melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan miliknya. Harusnya saat ini dia sudah naik motor menuju tempat kerja, namun ibu tirinya tidak mau menyiapkan sarapan untuk ayahnya. Akhirnya Mona yang mengambil alih.
"Ayah makanlah" dengan menaruh semangkuk bubur hangat di atas meja nakas, "maaf Ayah, Mona tidak bisa menyuapi, Mona harus berangkat kerja."
"Iya, tidak apa-apa. Segera lah berangkat."
Kemudian di raihnya punggung tangan Herman dan menciumnya. "Aku berangkat dulu." Lekas dia keluar kamar. Namun saat dia membuka daun pintu kamarnya.
"Maaf" ucap Herman tertunduk dengan suara rendah.
Meskipun suara ayahnya tidak terlalu keras, tapi samar-samar iana bisa mendengar kata maaf dari mulut sang ayah yang lirih.
Sejenak Mona menghentikan langkahnya, berbalik menatap pria malang itu, yang duduk tertunduk menatap semangkok bubur yang di buatnya. "Ayah tenang saja, Mona selalu mendukung Ayah." Sembari mengepalkan salah satu tangannya memberi gerakan tangan semangat.
Lalu di balas Herman dengan anggukan kepala sambil tersenyum.
Dengan langkah tergesa, Mona menaiki motor bututnya dengan helm yang sudah terpasang, lalu melaju dengan cukup kencang mengejar waktu keterlambatannya.
Motornya melaju membelah kemacetan jalan di hari minggu. Begitu banyak kendaraan yang berjubel saling ingin mendahului, tak terkecuali Mona.
"Aduh, kenapa pakai acara macet segala sih! Padahal ini kan hari libur" gerutunya.
"Pak, kenapa bisa macet parah gini ya?" bertanya Mona kepada seorang pengendara motor pria di sampingnya.
"Katanya ada kecelakaan beruntun di depan, mbak" jawab pria tersebut.
"Ssss...."
Desisnya, karena dia cukup frustasi dengan kemacetan yang di hadapi, mengingat dia harus segera sampai menuju tempat kerja.
Akhirnya dia putuskan melewati jalan tikus guna menghindari ruas jalan macet tersebut. Dia langsung merubah arah jalan menuju gang-gang sempit pemukiman warga.
Tin!....Tin!....
Bunyi bel motor miliknya menyadarkan orang-orang disana, bahwa ada motor mengebut yang melaju mengejar waktu.
"Permisi pak, bu, saya numpang lewat." Ucap Mona kepada para warga yang lalu lalang di gang sempit tersebut.
Dengan lihai Mona saat melewatinya dengan mudah, seperti dia sudah terbiasa melewati jalan yang hanya bisa di lewati satu sampai dua motor saja.
Meong....
Suara kucing yang hampir tertabrak motornya.
"Sorry meng, aku buru-buru!" teriak Mona pada si kucing. Dia terus melajukan motornya sampai bisa keluar dari gang sempit menuju jalan besar.
Hingga sampai lah Mona di tempatnya dia bekerja. Yummy Pizza, begitulah tulisan yang terpampang di atas bangunan restoran tersebut.
Mona langsung memarkirkan motornya dan berlari cepat menuju tempatnya menerima pesanan.
"Mona kau terlambat lagi ya?" seru temannya bernama Resti, sambil berdecak pinggang.
"Ssssttt....pelan kan suaramu." Telapak tangan miliknya menutup mulut Resti, "nanti aku bisa di omeli lagi, aku janji ini yang terakhir."
Mulut Resti yang di bekap Mona langsung dilepas olehnya, "iiih...singkirkan tanganmu, aku tak bisa bernafas."
Resti menghela nafas, mencoba memaklumi atas keterlambatan temanya itu. "Baiklah, kau jangan terlambat lagi, kau bisa kehilangan pekerjaan kalau ketahuan sering terlambat."
"Siap Bu Bos!" saut Mona dengan posisi bersiap bak petugas upacara.
"'Ini ada pesanan masuk, antarkan ke alamat ini" perintah Resti sambil menyodorkan kertas berisi alamat pelanggan.
Segera dia menuju alamat yang tertulis di kertas tersebut, dengan membawa tas kurir berwarna merah yang berisi pizza pesanan pelanggan.
...Mona Ayunda...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Murid Gendeng
oneng, kayak kenal /Sweat/
2024-08-20
0
Darien Gap
untung baru hampir☺️
2024-08-17
1
👑Queen of tears👑
cantik😍😍😍
2024-07-18
1