Detak jam dinding mengiringi kepanikan nya yang terlambat bangun. Bergegas dia ke kamar mandi, cuci muka, lalu gosok gigi tanpa mandi. Pastilah tak mandi, karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi dan tak sempat baginya untuk melakukan itu. Berhias pun hanya sebatas bedak tabur dan lipstik berwarna nude yang mewarnai bibirnya.
"Aduh...!" pekiknya, yang merasakan sakit pada jempol kakinya yang tersandung kursi meja belajarnya.
"Ck.." decak nya, "kenapa bisa terlambat lagi?" Mona panik, karena ini sudah kedua kalinya dia terlambat bekerja.
"Kak Mona, kakak kesiangan lagi ya?" saut seorang anak laki-laki yang sudah memasuki kamarnya. Dia adalah Adi, adik dari Mona.
"Sudah tahu malah tanya." Kata Mona sembari memutar bola matanya malas, di tambah dia yang masih kebingungan mondar-mandir mencari kunci motornya.
"Kakak cari ini kan?"
Mona menautkan kedua alisnya, menatap Adi, lekas melangkah menghampiri. Namun saat dia ingin meraih kunci itu.
"Eii! Tunggu dulu." Adi merampas kembali kunci motornya.
"Adi! Aku bisa terlambat kerja?! Mana kuncinya?!" pinta Mona yang merasa dongkol pada adiknya tersebut.
"Aku akan kasih kunci ini, tapi aku minta uang buat main PS." Sambil menaik turunkan alisnya, dan tak lupa senyum cengar-cengir meledek, membuat Mona makin kesal di buatnya.
Mona memutar bola matanya malas dengan tingkah Adi. Meskipun begitu dia sangat sayang pada adik laki-laki nya ini.
Segera dia keluarkan dompet dari tas selempang nya, dan memberikan selembar uang 50 ribu.
Dengan senang hati, tangan Adi menyambut uang itu, yang sudah pasti membuat matanya berbinar. Segera dia masukkan uang nya dalam saku. Sesaat dia terdiam, menyadari ada sesuatu yang aneh dengan adiknya.
Mona memicingkan matanya ke arah Adi. "Hari ini kamu tidak sekolah ya?"
"Ya ampun kakakku yang cantik tapi oneng, kakak lupa ini hari minggu." Sembari tersenyum meledek kakaknya.
"Ya ampun aku lupa. "Tangan nya menepuk menepuk jidatnya sendiri, karena hari minggu bukanlah hari libur baginya seperti kebanyakan orang di luar sana. Karena semua hari baginya adalah waktu untuk kuliah dan bekerja.
Dia adalah Mona Ayunda, biasa di panggil Mona. Wanita berusia 22 tahun dengan paras cantik dan sederhana. Dia Bekerja paruh waktu di sebuah restoran makanan cepat saji. Saat ini dia juga tercatat sebagai seorang mahasiswi jurusan ilmu komunikasi di sebuah universitas kenamaan di kota A dengan beasiswa yang di dapatkan nya dari jalur akademik.
Sedangkan anak laki-laki yang bernama Adi adalah adiknya. Usianya 12 tahun dan masih menempuh pendidikan sekolah dasar.
Di tengah saling kejar mengejar keduanya, Mona dan Adi mendengar keributan di lantai bawah. Terdengar suara piring pecah, hingga keduanya saling menatap terkoneksi. Mereka seperti tahu apa yang terjadi.
"Wanita itu pasti kumat lagi." Gumam Mona, yang sudah mengira apa yang terjadi di luar sana. Sedangkan adiknya hanya menghela nafas sambil menatap sedih kakaknya.
"Sudah tidak apa, kamu langsung keluar lewat pintu belakang."
Adi dengan segera keluar lewat pintu belakang sesuai perintah kakaknya. Sedangkan Mona menuju ruang makan dimana sumber suara itu berasal.
***
"Dasar kau laki-laki tak berguna! Bukanya mencari kerja, malah masih di rumah!"
Suara makian seorang wanita yang bernama Ratna, yang tidak lain ibu tiri Mona. Wanita itu sedang mengamuk pada ayahnya.
Ayahnya menikahi Ratna, seorang janda beranak satu sejak 5 tahun lalu. Namun anaknya mengikuti mantan suaminya terdahulu.
Pernikahan kedua ayahnya, tidak lantas membuat Mona menganggap Ratna sebagai ibunya. Dia tetap memanggil sebutan tante pada Ratna. Baginya mendiang ibunya tidak bisa tergantikan oleh wanita manapun, walau sudah berstatus istri ayahnya.
Terlebih saat dia mengetahui tujuan Ratna menikahi ayahnya ketika masih sukses dulu, hanya untuk mengeruk hartanya dan menumpang hidup enak pada keluarganya. Namun saat usaha ayahnya bangkrut, makian dan hinaan hampir setiap hari dia dengar dari mulut wanita culas tersebut.
Sedangkan pria yang mendapatkan makian itu hanya diam terduduk di kursi meja makan. Dia adalah, Herman, ayah Mona. Entah berapa kali makian yang di terima oleh pria paru baya tersebut, hingga dia pun rasanya sudah malas untuk meladeni istrinya.
Dia awalnya menikahi Ratna, karena berharap bisa membangun rumah tangga bahagia kembali, setelah lama menduda. Namun semuanya pupus sudah. Perhatian Ratna di awal hanyalah sandiwara untuk menjerat dirinya, agar menikahinya. Karena yang diincar oleh Ratna adalah hartanya.
Dan lebih parahnya lagi, hutang Ratna yang sama sekali tidak di ketahui oleh Herman sebelumnya, di bebankan kepadanya, membuat uang tabungan untuk pendidikan putra dan putrinya habis tak tersisa, sampai pada akhirnya Mona harus berjuang kembali mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk menghidupi keluarganya.
Dia mungkin mendapatkan beasiswa dari kampusnya, tapi bukan berarti dia terlepas dari tekanan biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari keluargannya.
Mona sampai di lantai bawah, dimana pertengkaran keduanya terjadi.
"Tante! Apa yang tante katakan?! Ayah masih sakit, beliau baru pulang dari rumah sakit!" seru Mona dengan melemparkan tatapan tajam ke arah Ratna. Jelas lah Mona tak terima dengan perkataan ibu tirinya terhadap ayahnya.
Kehadiran Mona, di sambut senyuman sinis dari ibu tirinya itu, "hmm, alasan!"
Mona mencoba menahan emosinya, agar energinya tidak terbuang sia-sia meladeni wanita uring-uringan itu.
"Ayo Yah, ke kamar Mona saja" dengan membantu ayahnya beranjak dari duduknya.
"Bawa Ayahmu itu! Kau sama saja dengan Ayahmu, tak berguna!" Ratna yang masih mengamuk melanjutkan makiannya.
Tapi Mona tidak mempedulikan makian itu, dia terus memapah ayahnya yang masih lemas paska operasi usus buntu yang baru di jalani.
Sampai lah keduanya di dalam kamar. Dengan sigap Mona membantu ayahnya duduk di atas tempat tidur. "Ayah beristirahatlah, Mona siapkan makanan sebentar."
Tanpa membuang waktu, Mona menuju dapur untuk memasak bubur sambil sesekali melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan miliknya. Harusnya saat ini dia sudah naik motor menuju tempat kerja, namun ibu tirinya tidak mau menyiapkan sarapan untuk ayahnya. Akhirnya Mona yang mengambil alih.
"Ayah makanlah" dengan menaruh semangkuk bubur hangat di atas meja nakas, "maaf Ayah, Mona tidak bisa menyuapi, Mona harus berangkat kerja."
"Iya, tidak apa-apa. Segera lah berangkat."
Kemudian di raihnya punggung tangan Herman dan menciumnya. "Aku berangkat dulu." Lekas dia keluar kamar. Namun saat dia membuka daun pintu kamarnya.
"Maaf" ucap Herman tertunduk dengan suara rendah.
Meskipun suara ayahnya tidak terlalu keras, tapi samar-samar iana bisa mendengar kata maaf dari mulut sang ayah yang lirih.
Sejenak Mona menghentikan langkahnya, berbalik menatap pria malang itu, yang duduk tertunduk menatap semangkok bubur yang di buatnya. "Ayah tenang saja, Mona selalu mendukung Ayah." Sembari mengepalkan salah satu tangannya memberi gerakan tangan semangat.
Lalu di balas Herman dengan anggukan kepala sambil tersenyum.
Dengan langkah tergesa, Mona menaiki motor bututnya dengan helm yang sudah terpasang, lalu melaju dengan cukup kencang mengejar waktu keterlambatannya.
Motornya melaju membelah kemacetan jalan di hari minggu. Begitu banyak kendaraan yang berjubel saling ingin mendahului, tak terkecuali Mona.
"Aduh, kenapa pakai acara macet segala sih! Padahal ini kan hari libur" gerutunya.
"Pak, kenapa bisa macet parah gini ya?" bertanya Mona kepada seorang pengendara motor pria di sampingnya.
"Katanya ada kecelakaan beruntun di depan, mbak" jawab pria tersebut.
"Ssss...."
Desisnya, karena dia cukup frustasi dengan kemacetan yang di hadapi, mengingat dia harus segera sampai menuju tempat kerja.
Akhirnya dia putuskan melewati jalan tikus guna menghindari ruas jalan macet tersebut. Dia langsung merubah arah jalan menuju gang-gang sempit pemukiman warga.
Tin!....Tin!....
Bunyi bel motor miliknya menyadarkan orang-orang disana, bahwa ada motor mengebut yang melaju mengejar waktu.
"Permisi pak, bu, saya numpang lewat." Ucap Mona kepada para warga yang lalu lalang di gang sempit tersebut.
Dengan lihai Mona saat melewatinya dengan mudah, seperti dia sudah terbiasa melewati jalan yang hanya bisa di lewati satu sampai dua motor saja.
Meong....
Suara kucing yang hampir tertabrak motornya.
"Sorry meng, aku buru-buru!" teriak Mona pada si kucing. Dia terus melajukan motornya sampai bisa keluar dari gang sempit menuju jalan besar.
Hingga sampai lah Mona di tempatnya dia bekerja. Yummy Pizza, begitulah tulisan yang terpampang di atas bangunan restoran tersebut.
Mona langsung memarkirkan motornya dan berlari cepat menuju tempatnya menerima pesanan.
"Mona kau terlambat lagi ya?" seru temannya bernama Resti, sambil berdecak pinggang.
"Ssssttt....pelan kan suaramu." Telapak tangan miliknya menutup mulut Resti, "nanti aku bisa di omeli lagi, aku janji ini yang terakhir."
Mulut Resti yang di bekap Mona langsung dilepas olehnya, "iiih...singkirkan tanganmu, aku tak bisa bernafas."
Resti menghela nafas, mencoba memaklumi atas keterlambatan temanya itu. "Baiklah, kau jangan terlambat lagi, kau bisa kehilangan pekerjaan kalau ketahuan sering terlambat."
"Siap Bu Bos!" saut Mona dengan posisi bersiap bak petugas upacara.
"'Ini ada pesanan masuk, antarkan ke alamat ini" perintah Resti sambil menyodorkan kertas berisi alamat pelanggan.
Segera dia menuju alamat yang tertulis di kertas tersebut, dengan membawa tas kurir berwarna merah yang berisi pizza pesanan pelanggan.
...Mona Ayunda...
Mona melajukan motornya menuju kawasan apartemen mewah di kawasan kota Jakarta. Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, hingga sampai dia di sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan segala kemewahan bangunan yang terpampang jelas di matanya.
Dia memandangi gedung itu dengan pikiranya sendiri. Mungkin sedang membayangkan dia adalah salah satu penghuni apartemen mewah itu.
"Pekerjaan apa sih yang di lakukan penghuni apartemen ini? Hingga mereka sangat mudah mendapat segalanya" batin Mona sambil menghela nafasnya dalam.
"Ah! Apa sih yang aku pikirkan?! Mungkin mereka kaya dari lahir, jadi tidak perlu berpusing ria sepertiku." Gumamnya sambil menepuk jidatnya sendiri, merasa apa yang di katakan adalah sesuatu yang melantur.
Segera Mona menemui Resepsionis apartemen mewah tersebut, meminta izin mengantarkan pesanan milik salah satu penghuni gedung mewah ini.
Petugas itu menghubungi seseorang, kemungkinan dia melapor pada pemesan pizza tersebut.
"Baik, Pak. Akan segera saya sampaikan." Begitulah sepenggal percakapan yang di dengar Mona.
"Baik, Mbak. Silakan anda mengantarnya, beliau sedang menunggu."
Mona mengangguk mengerti, "terimakasih."
"Sama-sama." Balas Resepsionis tersebut.
Kini kakinya melangkah menuju pintu lift dan masuk ke dalamnya.
Ting....
Pintu lift terbuka. Tanda Mona telah sampai di lantai 50, di mana pemesan itu tinggal. Dia melangkah keluar dengan memakai seragam kebanggaannya, yang berwarna perpaduan hitam dan merah.
Begitu melihat deretan ruangan di lantai tersebut. Mona begitu terperangah dengan suasana di lantai paling tinggi tersebut. Lantai yang hanya terdapat unit apartemen khusus, paling mewah dan paling mahal, apalagi kalau bukan sebuah Unit Penthouse.
Ini pertama kalinya Mona menginjakkan kakinya di lantai atas gedung apartemen mewah tersebut.
"Wow! Orang kaya memang beda, di luar saja semewah ini, apalagi di dalam, mungkin bola mataku akan copot melihatnya." Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Dia melangkah menuju Unit Penthouse yang di maksud, hingga sampailah Mona di depan pintu unit tersebut, sebuah pintu bernomor kan angka 208 yang terpampang di depannya.
"Ini benar kan tempatnya?" sembari melihat bergantian nomer pintu dan kertas kecil yang di bawa nya. "Benar, ini memang ruangannya."
Kemudian Mona mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke penghuni unit tersebut.
[Mona; Selamat pagi Kak? Ini Yummy Pizza, saya sudah sampai di depan pintu.
^^^Pembeli; ya tunggu sebentar.]^^^
....1 menit
....5 menit
....10 menit
....15 menit
Huuufft....
Mona menghela nafas kasarnya kesal. Bagaimana dia tak kesal, dia sudah menunggu lama, tapi si pemilik Penthouse tak kunjung keluar.
"Ini penghuni masih hidup atau sudah mati sih?! lama sekali!!!" Mona yang semakin kesal sambil menyandarkan kepalanya di depan pintu.
Namun tiba-tiba pikiranya mengawang-awang ucapannya sendiri
"Apa!!! Mati?!" Mona membulatkan matanya. "Apa jangan-jangan orang di dalam terpleset, terus terjatuh, terus mati, karena itu dia tak juga keluar." Mona yang pikirannya sudah di kuasai pikiran negatif.
"Oh...Tuhan, bagaimana ini?!" sambil menggigit kuku ibu jarinya cemas.
Dia pun memutuskan mengetuk pintunya.
tok, tok, tok....
"Kak?! Apa anda baik-baik saja di dalam?!" Suara Mona memanggil dengan rasa cemas.
"Kak?! Apa anda bisa mendengar saya?!" Mona terus berusaha memanggil dengan terus mengetuk pintu dengan keras, sampai pintu tak berdosa itu pun di tendang olehnya berulang kali. Dia bukan terlihat seperti orang yang akan menolong, malah terlihat seperti orang yang ingin merampok.
"Aduh...! Bagaimana ini? Aku harus cari bantuan."
Ceklek....
Suara pintu terbuka, dan terlihatlah sosok pria tampan yang menggunakan handuk kimono dengan rambut yang masih basah. Pria itu menatap dingin ke arah Mona, memperhatikannya dari atas hingga bawah.
"Kak, apa anda tidak apa-apa? Saya pikir anda_"
Seketika Mona tidak melanjutkan ucapannya saat melihat siapa pria yang membuka pintu tersebut. Dia memicingkan matanya ke arah pria tersebut seraya mengamati wajah tampan di hadapannya, memperhatikan dari ujung kaki sampai ujung kepala, seperti wajah yang sangat familiar untuknya.
"Ya ampun! A-anda kan pengacara terkenal itu?" Mona begitu senang dengan pertemuan yang tidak sengaja itu. Sebuah pertemuan dengan seorang pengacara terkenal yang jadi idola semua kalangan, bahkan mengalahkan kepopuleran seorang artis.
"Entah kebaikan apa yang sudah saya perbuat, hingga saya bisa bertemu dengan anda Kak?" ucap Mona lalu meraih tangan pria itu sambil menyalaminya berulang kali.
Sudah pasti tingkah wanita pengantar pizza di hadapannya itu membuat hati si pria merasa jengkel, dan menarik tangannya cepat dari genggaman Mona.
Pria itu menatap tak bersahabat pada nya, sampai membuat wanita itu menelan salivanya karena mendapat tatapan bak pedang yang siap menusuknya.
"Apa yang kau lakukan?! Apa kau tidak punya adab, menggedor pintu seperti itu?!"
Mona berkesiap mendapatkan makian dari sang pemilik unit. Dia tak menyangka rasa kagumnya di balas dengan perkataan pedas sosok pria di hadapannya itu.
Mona melempar senyuman yang di paksakan ke arah pria itu, sambil membatin kesal, "siapa suruh lama, memang di pikir pekerjaanku hanya menunggu di pintu."
"Ma-maaf Kak, saya pikir terjadi sesuatu pada_"
"Mana pesananku!" Pria itu menyela ucapannya.
"Ini Kak, pesanannya." Mona menyerahkan satu kotak pizza besar ke si pria yang memasang wajah menyebalkan.
Kemudian pria itu memberi tiga lembar uang seratus ribuan pada Mon tanpa berkata apapun.
Braaak....
Suara pintu yang di tutup cukup keras. Mona kembali terkesiap, tangannya mengepal kesal. "Dasar pria sombong! Untung saja wajahnya tampan, kalau tidak, sudah ku acak-acak itu wajah."
Akhirnya Mona berlalu meninggalkan gedung apartemen mewah tersebut dengan hati dengan perasaan dongkol.
...----------------...
Di sebuah unit penthouse dengan segala kemewahan di dalamnya, terlihat pria tampan rupawan yang sedang membawa sekotak pizza yang baru di pesannya.
Pria itu bernama Abraham Reno Winata, berusia 30 tahun. Dia adalah seorang pengacara terkenal seantero negeri. Wajah tampan, kekayaan, kecerdasan serta latar belakang keluarga yang tak kalah mentereng dari karirnya saat ini. Dia adalah putra dari pengacara senior terkemuka Teddy Winata.
Begitu sempurna kehidupan yang di milikinya. Hanya dengan duduk manis saja, wanita langsung menghampiri ingin mendapatkan perhatiannya, termasuk wanita yang saat ini bersamanya.
Seorang aktris terkenal yang memiliki jutaan penggemar dengan segudang prestasi. Di tambah wajah cantik dan tubuh indah membuat dia menjadi trend center di kalangan masyarakat saat ini. Dia lah Alice Claretta.
Namun wajah cantik dan segala kelebihannya, tak lantas membuat dirinya bisa menaklukkan seorang Abraham Reno Winata, yang sudah membuatnya tergila-gila.
Reno melangkah menuju kamar mewahnya sambil membawa pizza pesanannya.
"Sayang, apa yang kau bawa?" Alice bertanya pada Reno yang baru sampai di kamar dengan menyelimuti tubuh polosnya,
Tanpa basa-basi Reno meletakkan sekotak pizza itu tepat di depan Alice, "ini makanlah, lalu pergi lah dari sini?"
"Apa maksudmu Reno?! Apa kau mengusirku?!" suara Alice yang mulai meninggi, tak terima ucapan pria di hadapannya yang seolah mengusirnya.
Reno hanya diam menatap dingin wanita yang berada di atas ranjangnya itu.
Alice langsung beranjak dari ranjangnya, dan sudah pasti tubuh polosnya terekspos jelas oleh Reno. Wanita itu memeluknya dari arah belakang, mencoba mendesak dada sintalnya ke punggung Reno, berusaha membangkitkan gairah seksual pria yang membuatnya tergila-gila itu. Tapi apalah daya tangan tak sampai, Reno sama sekali tak bernafsu pada sang artis.
"Kau jangan seperti wanita binal, Alice. Aku tak berhasrat padamu."
Reno melepas paksa pelukannya, lalu memposisikan tubuhnya berhadapan dengan wanita telanjang di hadapan nya. Memandangi tubuhnya dengan wajah datar tak tertarik, di ikuti senyum sinis nya yang begitu menyakiti Alice.
"Reno, kau tak bisa seenaknya padaku, kita sudah berhubungan cukup lama."
Protes Alice pada Reno dengan wajah memelas, mencoba meluluhkan hati sang pria pujaannya itu.
Sejak dulu Alice berupaya keras mendekati Reno. Semuanya berawal saat dia menjadikan Reno sebagai kuasa hukumnya di setiap kasus yang menimpanya. Sampai hatinya tak mampu menolak untuk memiliki pria tersebut. Dengan wajah tampan dan karismanya yang pria itu miliki, bagaiman Alice tak di buat jatuh cinta oleh sosok Reno.
"Memangnya hubungan kita seperti apa? Kita hanya sebatas pengacara dan klien, tak lebih dari itu." Tegas Reno dengan mencengkram rahang Alice yang terus protes, hingga membuatnya muak.
"Tapi aku mencintaimu sayang, aku akan berikan semua milikku padamu." Alice merajuk memelas cinta sang pengacara.
Begitu mendengar pengakuan cinta dari Alice, Reno tertawa terbahak-bahak, seolah mengejek ucapan Alice itu. Bagi Reno, cinta dan pernikahan adalah sesuatu yang sangat di hindari oleh Reno. Dia menganggap dua kata itu seperti virus yang harus di musnahkan.
"Aku tidak tertarik, karena aku sudah punya semuanya." Reno melepas cengkraman nya, "aku juga tidak tertarik apa itu cinta, karena itu omong kosong!" tambahnya.
Alice hanya bisa terdiam sambil mengepalkan kedua tangannya atas penolakan pria pujaannya itu.
...Reno Abraham Winata...
...Alice Claretta...
Terlihat kesibukan Mona yang mengantar beberapa pizza para pelanggan. Dia masih merasa kesal dengan kejadian tadi pagi di penthouse mewah itu. Jika mengingat wajah pria itu lagi, dia jadi uring-uringan tak jelas.
"Amit-amit...kalau bertemu dengan pria itu kembali" gumamnya sambil menepuk jidatnya sendiri beberapa kali. "Oh panasnya kota indah ku ini" keluh Mona merasakan suhu panas siang hari yang tak tertahankan.
"Bu es cincau satu" ucap Mona sembari mengipasi wajahnya dengan sobekan kardus bekas, mengurangi panas menyengat ibu kota.
Saat ini Mona mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah dan penat. Tubuh yang dari pagi sampai siang berkeliling mengantarkan pesanan pizza para pelanggan.
"Mbak minumnya." Seorang penjual menyodorkan segelas es cincau kepada Mona yang sedari tadi menunggu.
Glug, glug, glug....
Suara tegukan es cincau yang sampai ke tenggorokan, membasuh dahaganya.
"Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan, Mona" ucapnya sambil tersenyum puas, karena rasa haus yang mencekiknya telah hilang.
Dia pun melanjutkan aktifitasnya sampai sore hari bersama motor butut keluaran tahun 80-an kesayangannya. Setelah berpuluh-puluh meter berkendara melaksanakan tugasnya. Dia segera balik ke restoran.
"Hai Mona, apa semuanya lancar?" tanya Resti sambil menepuk bahu Mona, yang tengah duduk di kursi tunggu dekat parkiran.
"Lancar sih? Walau awalnya tidak lancar" sambil melemaskan otot-otot nya yang terasa pegal, karena pengiriman yang padat.
Jawaban Mona yang terasa janggal membuat Resti menatap penasaran ke arah sahabatnya, lalu berkata. "Maksudnya?"
"Aku bertemu orang gila di penthouse." Sambil memiringkan kepalanya dengan tangan menopang dagu.
"Hahaha!" tawa Resti, "orang gila di penthouse? Memang orang kaya bisa gila ya?"
"Mana aku tahu, mungkin mereka kebanyakan uang jadi gila" jawab Mona dengan mengangkat pundaknya.
"Ya sudah aku pulang, besok jangan lupa, kau jangan telat lagi." Lalu Resti beranjak dari duduknya berlalu pergi meninggalkan Mona.
Kini Mona duduk sendiri, sambil menatap langit sore berwarna jingga. Wajahnya terlihat begitu lelah. Entah apa yang sedang dipikirkannya, hingga membuat bulir air mata tak terasa jatuh dari sudut matanya.
"Aduh! Apaan sih! Jangan cengeng Mona" sambil menyeka air matanya, "ayo Mona, semangat lah!"
Mona yang menyemangati dirinya sendiri, dengan segala masalah dan tanggung jawab di pundaknya.
Beranjak lah dia dari duduknya, melangkah menuju motor kesayangannya yang siap mengantar kemana saja.
"Ayo pulang...!" teriak Mona, yang tanpa di sadari terdengar oleh beberapa orang dan tukang parkir di sana.
Mona yang menyadari itu langsung terdiam menahan malu. "Mari Pak? Bu? pulang" sambil terkekeh kepada orang-orang di sekitar yang melihat tingkahnya.
Dia segera pulang menyusuri jalan sore yang padat. sepadat pikirannya yang di penuhi berbagai masalah hidup yang harus di jalani. Sampailah dia di depan rumah. Namun tiba-tiba.
Brak....
Suara gebrakan meja yang bisa Mona dengar dari luar rumah. Segera dia melangkah cepat ke dalam rumah.
"
"
"Aku minta uang sekarang Mas! Aku butuh sekarang!" teriak Ratna sambil berdecak pinggang di hadapan Herman yang sedang duduk menahan sakit bekas operasi usus buntu nya.
"Aku tidak punya uang Ratna, kamu tahu sendiri kondisiku seperti ini" ucap Herman dengan suara yang tak kalah tinggi.
"Menyesal aku menikah denganmu! Aku pikir kehidupanku membaik, malah tambah melarat!" makian Ratna yang begitu menyakiti hati Herman.
"Kalau begitu kau tinggalkan saja Ayahku, jangan jadi parasit di rumah ini!" saut Mona yang sudah berada di dalam rumah.
Pastilah marah, benci dan sakit hati yang di rasakan Mona saat ini, mendengar semua makian yang di lontarkan pada ayahnya yang sangat di hormatinya itu.
Sedangkan dari balik pintu kamar, sosok anak kecil yang menyaksikan pertengkaran ketiga anggota keluarganya hanya diam mematung dengan mata mengembun ingin menangis, dia tidak lain Adi. Anak usia 12 tahun ini sangat sering melihat ayahnya di maki ibu tirinya, yang membuat dia pun juga begitu benci pada sosok Ratna. Terlebih dia sering mendapatkan kekerasan fisik maupun verbal dari ibu tirinya itu jika tak ada orang di rumah.
"Pergi dari rumah kami, kalau tante memang sudah tidak tahan di rumah ini!" Mona yang mulai muak dengan tingkah ibu tirinya itu. Dengan mengarahkan jari telunjuknya keluar, mengisyaratkan agar Ratna angkat kaki dari rumahnya.
"Lihatlah Mas! Putrimu yang kurang ajar itu" dengan mengarahkan telunjuknya ke arah Mona.
"Cukup Ratna, aku sudah tidak tahan lagi, Aku sudah bersabar menghadapi mu" menatap tajam ke arah istrinya, "Aku pikir kamu akan berubah seiring berjalanya waktu, tapi kamu semakin menginjak harga diriku di depan anak-anak ku"
"Tapi Mas, aku ini tanggung jawabmu, jadi pantas kalau aku minta ini itu padamu." Ratna beralasan. Dia mencoba membenarkan segala perbuatannya yang selama ini di lakukan pada suaminya.
"Mari kita bercerai" kata Herman dengan tegas.
"Mas!" Ratna menatap suaminya sambil menggelengkan kepalanya.
"Keputusanku sudah bulat, aku akan menceraikan mu."
"Tidak! Aku tidak mau!" Ratna yang tidak terima dengan keputusan Herman, karena bagi Ratna, Herman di anggap pria yang mudah di atur dan di intimidasi olehnya.
Sudah pasti kata cerai yang di lontarkan suaminya membuat dirinya syok. Bahkan Ratna sampai tak percaya, suaminya yang selama ini selalu membelanya, kini tak lagi membelanya, bahkan ingin menceraikannya.
Ratna di liputi kecemasan saat ini, karena perceraian sudah di depan mata, bukan karena dia cinta dengan Ayah Mona itu, tapi lebih karena dia tidak mendapatkan uang belanja lagi untuk berfoya-foya, di tambah rencana Ratna untuk mengambil alih rumah Herman serta surat tanahnya, pupus sudah.
Senyuman puas terukir di bibir Mona. Akhirnya dia bisa mendengar langsung kata pisah yang terucap dari mulut ayahnya pada wanita yang sangat membuatnya susah itu.
"Tante sudah dengarkan, apa kata Ayahku? Jadi tante bersiap lah angkat kaki dari rumah ini." Mona tersenyum menyeringai ke arah Ratna, seolah kemenangan memihak padanya.
"Dasar kau anak sialan!" sambil mengayunkan tangannya, ingin menampar Mona. Tapi dengan sigap Mona menahan tangan ibu tirinya itu.
"Cukup Ratna! Jangan lagi hina ataupun sentuh putriku lagi, mulai malam ini aku menjatuhkan mu talak." Sambil menatap tajam ke arah wanita yang akan segera menjadi mantan istrinya itu.
Wajah merah padam di tunjukkan Ratna di hadapan Ayah dan anak itu, Herman dan Mona tak luput dari tatapan kebencian dari wanita itu.
"Kalian akan menyesal melakukan ini padaku!" ancam Ratna, lalu pergi meninggalkan keduanya ke kamar.
Kini tinggal Mona dan Ayahnya yang duduk berhadapan di ruang keluarga, dengan sebuah meja di tengah mereka. Herman tertunduk lesu saat itu juga. Pastilah hatinya hancur, rumah tangganya berakhir dengan perceraian. Wanita yang dia harapkan bisa membawa kebahagiaan di tengah keluarganya, malah menjadi duri di kehidupannya dan kedua anaknya.
Begitu sedih Mona sebagai anak, melihat ayahnya mengalami pernikahan yang pahit. Namun perceraian ayahnya sangat di syukuri olehnya, karena itu yang dia harapkan.
Di genggam tangan ayahnya yang berada di atas meja. "Ayah, terimakasih" ucap Mona sambil memandang dalam wajah ayahnya, sampai air matanya tak terasa luruh di kedua pipinya.
"Ayah, Adi sayang Ayah" putranya yang tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Ya, Nak. Ayah juga sayang kalian berdua."
Ketiganya berpelukan saling menguatkan. Begitu sulit kehidupan mereka selama 5 tahun semenjak kehadiran Ratna di tengah keluarga mereka. Tangisan dari ketiganya pun mengiringi suasana penuh haru biru di malam itu.
...Resti...
...****************...
...Jangan lupa kasih...
...like 👍...
...Comment 🗣️...
...Subscribe ✔️...
...Follow ➕...
...Vote 💌...
...Nilai⭐⭐⭐⭐⭐...
...jangan lupa hadiahnya 🎁🎁🎁🎁🎁🎁🎁...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!