Bab 17. Pura-pura Sakit
POV Lastri
Perjalanan pulang ke kampung ternyata tidak begitu menyedihkan walau hanya kami berdua. Diah sangat menikmati. Anakku itu bahkan tidak ingin tidur agar tidak melewati momen perjalanan yang bagai jalan-jalan baginya.
Dulu setiap kami pulang kampung, Mas Hendra akan mengantarkan mengunakan sepeda motornya. Sangat sempit, belum lagi dengan tas besar yang memuat pakaian ku dan Diah yang sudah pasti akan menginap beberapa hari meski Mas Hendra pulang hari itu juga. Tas itu di letakkan di bagian depan, dan Diah duduk di tengah. Mengingatnya saja sudah terbayang betapa repotnya perjalanan kami.
Tetapi, menggunakan bus ini, Diah jadi lebih leluasa bergerak. Terkadang ia terdengar bernyanyi sambil menikmati pemandangan di luar jendela. Syukurlah hatinya terlihat senang.
Melewati waktu perjalanan, tidak terasa kami tiba di kampung orang tuaku. Aku segera turun sambil menggandeng Diah dan sebelah tanganku menjinjing tas yang biasa aku gunakan pulang ke kampung.
"Bang ojek, ke dusun Semanggi ya." Kataku menghampiri salah satu tukang ojek yang menunggu penumpang.
"Oh, baik Bu. Ayo naik!"
Kang ojek pun meletakkan tas ku di bagian depan. Lalu aku dan Diah pun duduk di jok belakang. Perlahan motor pun mulai jalan. Tidak melambat maupun laju membuat aku dan Diah menikmati udara segar yang masih terdapat banyak sawah, kebun, dan juga pepohonan.
Setengah jam perjalanan pun akhirnya kami tiba di depan rumah orang tuaku. Rumah sederhana dengan atap genteng dari tanah liat serta dinding berbata kan bara merah itu membuat hati ku rindu akan kampung halaman.
"Berapa Bang?"
"Dua puluh ribu saja."
Aku membuka dompet dan mengambil uang dua puluh ribuan satu lembar.
"Ini Bang. Terima kasih ya."
"Sama-sama Bu. Mari..."
Tukang ojek pun berlalu. Kembali aku menatap rumah orang tua ku di hadapanku. Ku buka pagar bambu yang mengelilingi bangunan rumah. Perlahan dengan pasti ku langkahkan kaki mendekati pintu dan mengetuknya.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..."
Terdengar suara seorang pria yang membalas salam ku. Dan ku kenali itu adalah suara Bapak.
Pintu pun di buka dan benar saja, Bapak ku berdiri tegap menyambut kedatangan kami.
"Loh Bapak?!"
"Alhamdulillah, cucu kakek sudah datang!"
Aku tertegun melihat kondisi Bapak ku yang tampak sehat memeluk Diah dengan erat. Dan anakku itu pun tampak senang di sayangi oleh kakeknya.
"Bapak sudah sehat?" Tanya ku yang masih kebingungan.
"Masuk dulu Lastri. Kamu pasti capek. Kita berbicara di dalam." Kata ibuku yang menyusul di belakang Bapak.
Aku menurut. Ku salami tangan kedua orang tua ku dan mencium punggung tangan mereka secara bergantian, lalu masuk ke dalam membawa tas besar ku.
Tidak ada yang berubah dari dalam rumah orang tua ku meski hampir setahun aku tidak pulang. Aku pun duduk di kursi kayu menunggu penjelasan kedua orang tua ku tentang kabar Bapak yang di katakan sakit beberapa hari lalu.
"Sebenarnya Bapak sakit apa Pak?" Tanya ku.
Bapak menghentikan kegiatannya yang sedari tadi menghujani anakku dengan kasih sayang.
"Apa tidak boleh Bapak ketemu kalian lebih cepat?" Tanya Bapak.
"Bukan begitu Pak, Lastri sangat cemas mendengar kabar Bapak sakit."
"Kalau tidak begitu, kalian pasti akan datang dengan Hendra bulan depan nanti. Bapak pengennya, kamu datang dengan Diah saja. Karena Bapak ada kepentingan denganmu." Kata Bapak dengan wajah serius.
"Ada apa Pak?" Tanya ku yang ikut menjadi serius.
Apa Bapak sudah mendengar perlakuan keluarga Mas Hendra terhadap aku dan Diah?
Mendadak jantungku berdebar-debar dan semangatku melemah.
"Lastri, rumah ini mau Bapak jual."
"Apa?! Kenapa Pak?!" Mendadak jantungku mendapat kejutan rasanya. "Kenapa Bapak sampai ingin menjual rumah? Apa Bapak terlilit hutang?" Tanyaku lagi yang masih di dera banyak pikiran akan apa yang terjadi tanpa aku ketahui.
Bapak terkekeh. Dan itu semakin membuatku bingung serta penasaran.
"Kami tidak di lilit hutang Lastri. Alhamdulillah, meski hidup sederhana, Bapak mu mampu membahagiakan Ibu. Sekarang, Bapak ingin melihatmu bahagia dengan menjual rumah ini."
Aku masih belum mencerna kata-kata Ibu dengan baik. Aku masih kebingungan untuk menanggapi semua ini.
"Lalu kenapa di jual Pak, Bu? Rumah ini banyak kenangan manis Ibu dan Bapak. Serta perjuangan kalian selama ini." Tutur ku.
"Ada pengusaha kaya yang ingin membeli rumah beserta tanahnya. 5,5 Miliyar Lastri, dan tawaran itu sempat bikin Bapak meriang mendengarnya. Hehehe..."
"Bapak mu ketiban durian runtuh Nak. Makanya sampai demam ketika orang kaya itu menawar rumah dan tanah ini. Tidak menyangka ya Pak, akan semahal itu. Hehehe..."
Kedua orang tua ku begitu terlihat bahagia sehingga selalu tertawa kecil dalam kebingungan ku melihat dan mendengarkan penjelasan mereka.
Rumah reot ini? Kok bisa di minta sampai 5,5 Miliyar! Bahkan aku pun sampai panas dingin tidak percaya karenanya.
"Rencananya mereka akan membangun pabrik disini."
Membangun pabrik? Di rumah sepetak ini? Dan harganya 5,5 Miliar?
"Jadi makanya Bapak meminta mu pulang dengan cara yang tidak biasa. Bapak takut, keluarga suami mu makin gelap mata akan harta yang mereka dengar meski tahu itu bukan haknya." Kata Bapak ku lagi.
Aku tersentak. Terkejut akan penuturan yang baru saja di ucapkan oleh Bapak.
Apakah selama ini orang tuaku sudah tahu dan mereka pura-pura tidak tahu? Apa mungkin mereka diam karena tidak ingin aku sedih dan merasa tidak nyaman?
Ya Tuhan, bagaimana ini?
Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul begitu saja salam benakku. Aku takut, cemas, khawatir dan tentu merasa tidak tenang jika apa yang aku pikirkan benar-benar menjadi kenyataan. Bahwa orang tuaku sudah tahu dan mereka menunggu aku menjelaskan semuanya kepada mereka.
Lidah ku mendadak kelu, tangan ku mulai dingin dan berkeringat. Hanya pandangan tertunduk dan takut, aku tidak berani bersuara.
Terdengar desahan napas dari mulut ibuku.
"Pak, mungkin Diah laper. Bapak makan dulu saja sama Diah, biar ibu berbicara dengan Lastri."
Ibu ku paling tahu apa yang aku rasakan. Saat ini memang berbicara antar sesama wanita lebih nyaman dari pada dengan lelaki. Bukan aku tidak menyukai Bapak atau tidak menghargainya. Tetapi jika bicara sesama wanita, aku lebih leluasa mengungkapkan isi hatiku.
Bapak pun membawa Diah ke dapur dan menyiapkan makan siang yang sudah hampir menjelang sore hari ini untuk putriku. Baru lah setelah kepergian Bapak, ibu menggeser duduknya dan lebih mendekat padaku.
"Kami sudah tahu, tentang bagaimana perlakuan keluarga Hendra padamu."
JEDEERR!!
Sekujur tubuhku mendadak kaku. Tubuhku seakan hilang tenaga sehingga membuat aku lemas dan sesak napas. Bagaimana orang tua ku mengetahui kehidupan ku yang tersiksa selama ini? Siapa yang sudah memberi tahu mereka?
Tanpa sadar mataku mulai mengembun di kelopak mata. Bulir-bulir bening perlahan jatuh tanpa di minta.
"Bu..."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Badai Z
bagus km masih punya orang tua Lastri.... kluarga suami km toxic ada orang tua km yg melindungi km
2024-09-06
3
Ani Ani
Bagus orang Tua nya tahu
2024-07-14
2
☆ Huj4n 1 ☆
kasih syg ortu tetap tulus tak pernah lelah ingin membahagiakan anaknya.
jadi miliarder keluargamu Lastri
2024-05-29
3