Mulai malam itu, Marsya berada di bawah pengasuhan Diana. Ayura hanya di perbolehkan memberi asi pada Marsya dan setelah itu Ayura tidak lagi di perbolehkan bermain bersama Marsya.
“Ma, ijinkan aku merawat Marsya, aku akan lebih memperhatikan Kak Rio, aku tidak akan mengulang kesalahan ku yang seperti kemarin,” kata Ayura memohon sambil berlutut di depan Diana dan juga Rio.
“Tidak, Ayura. Mama akan mempekerjakan pengasuh untuk Marsya. Kau hanya boleh mengurus aku dan rumah. Jangan pikirkan tentang Marsya, dia akan jauh lebih baik bersama Mama.” Perintah Rio tidak bisa lagi di tawar dan di bantah.
“Tapi aku Ibunya, aku yang lebih berhak atas anakku,” Ayura masih memohon dengan pilu.
“Aargghh….” Rio yang gusar mendegar tangisan Ayura berteriak membuat Ayura kembali ketakutan. Dengan kasar Rio menarik Ayura masuk ke dalam kamar dan memukulnya.
“Ampun, Kak. Sakit…” Ayura merintih kesakitan membuat Rio menghentikan tangannya yang akan kembali memukul istrinya.
Rio membangunkan Ayura, dia melihat bibir Ayura yang mengalirkan darah segar. Rio menghapus darah itu dengan jarinya.
“Aku sudah lama tidak menghukummu kan?” Ayura menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu apa maksud Rio. Karena Marsya yang sering menangis di tengah malam membuat Rio tidak pernah lagi menyentuh Ayura karena mereka selalu terganggu oleh tangisan Marsya.
“Kau membantahku karena merindukan sentuhanku kan?” Rio mulai melancarkan serangannya pada Ayura. Dia melepas satu persatu pakaian yang Ayura kenakan lalu mendorong Ayura hingga terpental di atas tempat tidur.
“Kau bisa bilang baik-baik sayang, kau tidak perlu sampai membuatku semarah ini,” Ayura merasakan sakit di pipi dan pundaknya yang di pukul Rio. Sekarang Rio malah menganiaya harga dirinya dengan menggaulinya dengan brutal dan kasar meskipun Ayura adalah istrinya.
Ayura hanya bisa menangis pasrah pada nasibnya.
“Kau selalu nikmat sayang, bahkan setelah melahirkan kau tetap bisa memuaskan aku,” Rio menciumi tubuh polos Ayura. Setelahnya dia bangkit dan membersihkan dirinya.
Air mata Ayura tumpah ruah, harga dirinya tercabik-cabik dengan perlakuan Rio dan keluarganya. Dia tidak berdaya, tidak bisa melakukan apapun.
Setelah menganiaya istrinya, Rio keluar kamar dengan penampilan yang rapi dan wangi. Sama sekali tidak memperdulikan Ayura yang masih telentang di atas tempat tidur tanpa busana dengan memar di wajah dan di pundaknya.
Setelah sedikit merasa tenang, Ayura bangun dan membersihkan dirinya. Percuma juga dia menangis, toh tidak akan ada yang memperdulikannya. Dengan menahan sakit, Ayura mengganti seprei yang bau amis setelah percintaan mereka. Bukan, setelah Rio mengambil haknya dengan paksa.
Ayura mengobati luka memar di pipinya dengan salep yang dia beli di apotik waktu itu. Ini bukan pertama Rio membuat wajahnya memar, tapi ini yang pertama kali Rio memukul selain di wajahnya. Setelahnya Ayura meminum pil penunda kehamilan yang juga di belinya.
Ayura tidak mau lagi kecolongan, Rio sangat aktif mengambil haknya, Ayura tidak mau sampai dia hamil lagi. Cukup sekali dia kecolongan, Ayura tidak akan membiarkannya untuk kedua kalinya.
Tiba-tiba suara pintu di ketuk, Ayura buru-buru membuka pintu karena teringat pada anaknya. Benar saja, Diana sudah ada di depan pintu dengan membawa sebuah alat yang Ayura sudah tahu itu apa.
“Ini untuk apa? Aku bisa langsung memberi asi pada Marsya setiap saat, tidak perlu pakai seperti ini,” kata Ayura yang menolak saat Diana memberika alat pompa asi sekaligus dengan botolnya.
“Kau memang suka sekali membantah, apa kau mau aku adukan pada Rio?” ancam Diana. Melihat memar di wajah Ayura, dia yakin Rio pasti sudah memberi pelajaran padanya. Dan bukannya iba atau menyalahkan Rio, Diana malah menakut nakuti Ayura.
“Makanya jangan suka membantah suamimu, sekarang kau tahu rasa kan. Ayo isi ini dengan asi mu,”
“Tapi, Ma…”
“Tapi, tapi…. Kau memang keras kepala yah. Apakah harus Ro yang memompa asi mu, haah!” Ayura menunduk, air matanya kembali jatuh menetes. Belakangan ini, Ayura menjadi lebih cengeng. Air matanya gampang sekali keluar.
“Ayura ingin menyusui Marsya, Ma, ijinkan Ayura menyusui Marsya. Ayura tidak akan meminta yang lain.”
“Kau benar-benar tidak bisa di atur, aku akan telepon Rio. Biar dia yang memompa sendiri asi untuk Marsya.” Membayangkan hal itu di lakukan Rio membuat Ayura ketakutan. Dia bisa membayangkan sekasar apa Rio melakukannya.
“Ba…baik, Ma. Ayura akan memompa asi Ayura, Ayura mengambil alat yang di bawah Diana dan masuk ke dalam kamar. Setelah asinya berhasil kelaur setengah botol, Ayura keluar kamar dan mencari Diana. Ternyata Diana ada di dalam kamarnya bersama Marsya dan Rena.
“Boleh Ayura melihat, Marsya. Sebentar saja, Ayura mohon,” Diana memutar bola matanya dan membuka pintunya dengan lebar.
Marsya sedang di beri susu oleh Rena di atas tempat tidur. Melihat anaknya di perlakukan dengan baik oleh Rena dan Diana membuat Ayura lega. Setidaknya mereka masih punya hati untuk tidak menyakiti bayi kecil itu.
“Sudah kan?” Diana mendorong Ayura lalu menutup pintu. Jika tidak ingat ada Marsya yang sedang tidur, Diana mungkin sudah membanting pintu itu di depan muka Ayura.
“Habis di pukul lagi, yah?” tanya Rena pada Diana yang tadi sempat melihat pipi memar Ayura.
“Iya, siapa suruh keras kepala,” jawab Diana tanpa perasaan.
“Nanti dia lapor polisi bagaimana, Ma. Itukan sudah termasuk kekerasan dalam rumah tangga?” sambung Rena.
“Tidak mungkin, dia tidak akan berani. Kalau sampai dia berani lapor polisi, Mama tidak akan membiarkan dia melihat Marsya selama-lamanya. Mama akan suruh Rio ceraikan dia dan buang saja dia kejalanan.”
Diana sama sekali tidak takut jika saja Ayura berani lapor polisi atas kekerasan fisik yang sering Rio lakukan. Diana punya Marsya sebagai senjata untuk menekan Ayura.
Di balik tembok, Bibi Ima yang selama ini menyaksikan kelakuan Diana beserta kedua anaknya kepada Ayura diam-diam merasa iba pada Ayura. Awalnya Bibi Ima merasa Ayura hanya wanita pemalas seperti Rena. Namun semakin hari Bibi Ima semakin merasa bahwa Ayura bukan wanita yang seperti dia pikirkan selama ini. Perlahan-lahan perlakuannya pada Ayura pun berubah.
Bibi Ima dan Ayura mulai berteman, mereka berdua juga mulai akrab. Meski awalnya mereka berdua masih enggan saling berbicara kecuali urusan pekerjaan rumah, namu pada akhirnya Bibi Ima menjadi orang pertama yang menunjukkan simpatinya pada Ayura hingga Ayura pun mulai membuka diri pada Bibi Ima.
“Sabar, yah,” kata Bibi Ima memberikan segelas air pada Ayura.
“Terima kasih, Bi” setidaknya, ada seseorang di rumah itu yang bisa merasakan penderitaan Ayura.
Kemana Evan, ayah mertua Ayura? Laki-laki itu sedang sibuk mengurus bisnisnya bersama teman-temannya hingga jarang ada di rumah. Jadi tidak ada seorang pun yang bisa membela Ayura di rumah itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments