The Glory
Hazel Gabriella Ryder (17), seorang gadis secantik namanya, kerap kali tersembunyi di balik penampilan culunnya. Kacamata bulat besar dan rambut panjang yang selalu dikepang dua membuat kecantikannya tak terlihat oleh orang lain. Penampilan itu, yang tampak sederhana dan kurang menonjol, seringkali menjadi bahan ejekan teman-temannya di sekolah.
Hazel merupakan salah satu siswa paling cerdas di sekolah elit yang ia masuki berkat beasiswa, namun justru kecerdasannya itu menjadi alasan bagi orang-orang di sekitarnya untuk menjadikannya sasaran perundungan. Hailey dan gengnya, yang terdiri dari Laura, Emmy, dan Loren, adalah pemimpin utama dalam aksi bullying yang tanpa henti Hazel terima. Status sosial Hazel, putri seorang pemulung, membuatnya dipandang rendah oleh para siswa yang berasal dari keluarga kaya.
Di sekolah, Hazel tak pernah melawan. Tak ada yang bisa ia lakukan selain bertahan, menahan sakit hati dan rasa malu. Pada suatu hari, Hailey dan gengnya menyeret Hazel ke sebuah gudang sekolah yang sepi, tempat mereka biasa melampiaskan kekejamannya. "Kau benar-benar tak pantas ada di sini," Hailey berkata dengan penuh penghinaan. "Sekolah ini terlalu mulia untuk orang sepertimu."
Bugh!
Hailey menendang perut Hazel hingga gadis itu tersungkur ke lantai. Kesakitan, Hazel hanya bisa menggigit bibir, menahan rintihannya. Geng Hailey terus menyiksanya tanpa belas kasihan, sementara Hazel terbaring di sana, menahan tangis. Setelah puas, mereka pergi, meninggalkan Hazel sendirian di gudang, terluka dan tak berdaya.
Seharian itu Hazel tak bergerak dari tempatnya. Tubuhnya lemah, penuh luka lebam, dan hatinya dipenuhi dengan rasa putus asa. Ketika sore tiba, Hazel bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia berjalan tertatih-tatih kembali ke kelasnya, mengambil tas yang tertinggal, lalu meninggalkan sekolah dalam diam. Tidak ada satu pun teman yang peduli dengan keberadaannya, dan sekolah pun seolah menutup mata terhadap apa yang terjadi padanya.
Ketika sampai di rumah, seperti biasa, Hazel berbohong kepada ayahnya, Berto. Ia tersenyum lemah dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja di sekolah, bahwa ia memiliki banyak teman. Berto, yang tak tahu apa-apa, percaya pada kata-kata putrinya, mengira putrinya hidup bahagia.
Namun, di dalam dirinya, Hazel sudah berada di ambang kehancuran. Malam itu, ia keluar dari rumah dengan langkah yang hampa, tanpa tujuan pasti. Setiap langkahnya terasa berat, seolah gravitasi dunia ikut menambah beban di pundaknya. Angin malam kota berhembus lembut, tapi bagi Hazel, itu hanya menyisakan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Kakinya terus melangkah, membawa tubuhnya yang rapuh ke arah gedung tinggi di pusat kota, sebuah tempat yang mungkin bisa menjadi pelarian terakhirnya.
Saat tiba di puncak gedung, Hazel berdiri di tepi, memandang hamparan kota yang dipenuhi cahaya lampu. Bangunan-bangunan tinggi berdiri kokoh, jalanan yang ramai kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Dari ketinggian ini, semua terlihat kecil dan tidak berarti—sama seperti dirinya, pikirnya. Rambut panjang yang biasanya ia kepang rapi kini terurai berantakan, mengikuti arah tiupan angin malam yang keras. Hazel menarik napas dalam-dalam, tapi udara yang ia hirup tidak memberi ketenangan. Dadanya terasa sesak, beban hidup yang ia pikul sudah terlalu berat untuk ia tanggung seorang diri.
"Apakah ada yang akan peduli jika aku hilang?" pikirnya getir. "Mungkin hanya akan menjadi berita singkat di koran lokal, dan setelah itu… dilupakan." Di sini, di tempat setinggi ini, Hazel merasa di ambang jurang antara hidup dan mati. Semua penderitaan, penghinaan, dan kesendirian yang selama ini ia rasakan kini berkumpul menjadi satu. Rasanya begitu mudah untuk mengakhiri semuanya hanya dengan satu langkah kecil.
Dia memejamkan mata, mencoba mengingat hal-hal yang seharusnya membuatnya tetap bertahan. Wajah ayahnya muncul dalam bayangan—Berto yang selalu tersenyum meski lelah setelah bekerja keras setiap hari. Ia ingat bagaimana ayahnya tidak pernah menyerah, meskipun hidup mereka jauh dari kata sempurna. Namun, rasa sakit yang Hazel rasakan di sekolah, rasa tidak dihargai, terus merayap dalam pikirannya, mengaburkan kenangan indah itu.
Di tepi gedung, Hazel mengangkat tangannya ke udara, membiarkan angin malam yang dingin menyelimuti tubuhnya. Ini adalah momen di mana ia bisa memutuskan segalanya—mengakhiri penderitaannya atau mencoba melawan rasa sakit itu sekali lagi.
"Ayah, maafkan aku," bisik Hazel. Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku sudah tak sanggup lagi."
Ketika Hazel hendak melangkah lebih dekat ke tepi, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya ke belakang. Tubuh Hazel terhuyung dan ia jatuh ke dalam pelukan seorang pria muda. "APA YANG KAU LAKUKAN?!" seru pria itu dengan nada marah, napasnya tersengal-sengal.
Hazel terkejut dan menatap pria itu dengan mata yang penuh air mata, tapi tidak bisa berkata-kata. Pria itu menatap Hazel dengan pandangan tajam, penuh kebingungan. "Apa kau benar-benar ingin mengakhiri hidupmu di sini?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Tangisan Hazel pecah. Untuk pertama kalinya, semua rasa sakit yang selama ini ia pendam tumpah tanpa kendali. "Aku... aku tak bisa lagi... Hidupku hanya membuat semua orang benci padaku... Aku tak punya siapa-siapa..."
Pria itu memandang Hazel dengan bingung. Dia jelas tidak tahu apa yang terjadi pada gadis ini, namun ia bisa merasakan bahwa masalahnya lebih dalam dari yang terlihat. "Aku tidak tahu apa yang kau hadapi," ucap pria itu lebih tenang. "Tapi menyerah bukanlah jawabannya. Kau tak bisa begitu saja membiarkan dunia mengalahkanmu."
Hazel menunduk, tubuhnya gemetar. "Apa gunanya? Hidupku hanya penderitaan. Tak ada yang peduli. Aku hanya beban untuk semua orang…"
Pria itu menarik napas panjang, menenangkan dirinya. "Kau tidak tahu siapa saja yang peduli padamu. Ada orang di luar sana yang sangat mencintaimu, bahkan jika kau merasa tidak ada. Pikirkan keluargamu, orang yang mungkin mencintaimu lebih dari apapun. Pikirkan bagaimana mereka akan merasa jika kau menghilang."
Kata-kata itu menghantam Hazel, membuat dadanya sesak. Ia teringat Berto, ayahnya, yang setiap hari bekerja keras sebagai pemulung demi memenuhi kebutuhan mereka. Air mata mengalir lebih deras di pipinya. "Ayahku…," bisiknya lemah, suaranya patah.
Pria itu menghela napas lega, merasa telah mencapai sesuatu. "Ya, ayahmu. Bagaimana perasaannya jika kau menghilang tanpa memberinya kesempatan untuk membantumu? Kau tak bisa meninggalkannya seperti ini."
Hazel menggigit bibirnya, merasa terpojok. Selama ini ia berpikir tidak ada yang benar-benar peduli padanya, tapi pria ini membuatnya berpikir sebaliknya. Memang benar, ada satu orang yang selalu berjuang untuknya—ayahnya. Ia tak bisa meninggalkan ayahnya begitu saja.
"Jangan biarkan rasa sakit ini menguasaimu," kata pria itu lembut, kali ini tanpa kemarahan. "Kau bisa menghadapinya. Tidak mudah, tapi kau bisa bertahan. Bertahanlah untuk dirimu sendiri, dan untuk orang yang mencintaimu."
Hazel menunduk, air mata tak berhenti mengalir. "Aku... aku tak tahu harus berbuat apa..."
Pria itu mengangguk pelan, memahami keputusasaannya. "Kau tidak harus tahu sekarang. Yang penting adalah, kau memilih untuk bertahan. Itu langkah pertama."
Dengan perasaan campur aduk, Hazel berdiri di sana, membiarkan semua kata-kata pria itu meresap dalam pikirannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada seseorang yang memberinya harapan, meski ia adalah orang asing. Hazel memandang pria itu, matanya penuh rasa terima kasih, meskipun bibirnya tak mampu mengucapkan kata-kata.
Malam itu, di atas gedung tinggi, hidup Hazel berubah. Meski masalahnya belum selesai, ia tahu sekarang bahwa menyerah bukanlah pilihan. Ada orang yang mencintainya, dan itu cukup untuk membuatnya bertahan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Nabila
nyimak dulu
2024-07-06
0