Hazel Gabriella Ryder (17), seorang gadis secantik namanya, kerap kali tersembunyi di balik penampilan culunnya. Kacamata bulat besar dan rambut panjang yang selalu dikepang dua membuat kecantikannya tak terlihat oleh orang lain. Penampilan itu, yang tampak sederhana dan kurang menonjol, seringkali menjadi bahan ejekan teman-temannya di sekolah.
Hazel merupakan salah satu siswa paling cerdas di sekolah elit yang ia masuki berkat beasiswa, namun justru kecerdasannya itu menjadi alasan bagi orang-orang di sekitarnya untuk menjadikannya sasaran perundungan. Hailey dan gengnya, yang terdiri dari Laura, Emmy, dan Loren, adalah pemimpin utama dalam aksi bullying yang tanpa henti Hazel terima. Status sosial Hazel, putri seorang pemulung, membuatnya dipandang rendah oleh para siswa yang berasal dari keluarga kaya.
Di sekolah, Hazel tak pernah melawan. Tak ada yang bisa ia lakukan selain bertahan, menahan sakit hati dan rasa malu. Pada suatu hari, Hailey dan gengnya menyeret Hazel ke sebuah gudang sekolah yang sepi, tempat mereka biasa melampiaskan kekejamannya. "Kau benar-benar tak pantas ada di sini," Hailey berkata dengan penuh penghinaan. "Sekolah ini terlalu mulia untuk orang sepertimu."
Bugh!
Hailey menendang perut Hazel hingga gadis itu tersungkur ke lantai. Kesakitan, Hazel hanya bisa menggigit bibir, menahan rintihannya. Geng Hailey terus menyiksanya tanpa belas kasihan, sementara Hazel terbaring di sana, menahan tangis. Setelah puas, mereka pergi, meninggalkan Hazel sendirian di gudang, terluka dan tak berdaya.
Seharian itu Hazel tak bergerak dari tempatnya. Tubuhnya lemah, penuh luka lebam, dan hatinya dipenuhi dengan rasa putus asa. Ketika sore tiba, Hazel bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia berjalan tertatih-tatih kembali ke kelasnya, mengambil tas yang tertinggal, lalu meninggalkan sekolah dalam diam. Tidak ada satu pun teman yang peduli dengan keberadaannya, dan sekolah pun seolah menutup mata terhadap apa yang terjadi padanya.
Ketika sampai di rumah, seperti biasa, Hazel berbohong kepada ayahnya, Berto. Ia tersenyum lemah dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja di sekolah, bahwa ia memiliki banyak teman. Berto, yang tak tahu apa-apa, percaya pada kata-kata putrinya, mengira putrinya hidup bahagia.
Namun, di dalam dirinya, Hazel sudah berada di ambang kehancuran. Malam itu, ia keluar dari rumah dengan langkah yang hampa, tanpa tujuan pasti. Setiap langkahnya terasa berat, seolah gravitasi dunia ikut menambah beban di pundaknya. Angin malam kota berhembus lembut, tapi bagi Hazel, itu hanya menyisakan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Kakinya terus melangkah, membawa tubuhnya yang rapuh ke arah gedung tinggi di pusat kota, sebuah tempat yang mungkin bisa menjadi pelarian terakhirnya.
Saat tiba di puncak gedung, Hazel berdiri di tepi, memandang hamparan kota yang dipenuhi cahaya lampu. Bangunan-bangunan tinggi berdiri kokoh, jalanan yang ramai kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Dari ketinggian ini, semua terlihat kecil dan tidak berarti—sama seperti dirinya, pikirnya. Rambut panjang yang biasanya ia kepang rapi kini terurai berantakan, mengikuti arah tiupan angin malam yang keras. Hazel menarik napas dalam-dalam, tapi udara yang ia hirup tidak memberi ketenangan. Dadanya terasa sesak, beban hidup yang ia pikul sudah terlalu berat untuk ia tanggung seorang diri.
"Apakah ada yang akan peduli jika aku hilang?" pikirnya getir. "Mungkin hanya akan menjadi berita singkat di koran lokal, dan setelah itu… dilupakan." Di sini, di tempat setinggi ini, Hazel merasa di ambang jurang antara hidup dan mati. Semua penderitaan, penghinaan, dan kesendirian yang selama ini ia rasakan kini berkumpul menjadi satu. Rasanya begitu mudah untuk mengakhiri semuanya hanya dengan satu langkah kecil.
Dia memejamkan mata, mencoba mengingat hal-hal yang seharusnya membuatnya tetap bertahan. Wajah ayahnya muncul dalam bayangan—Berto yang selalu tersenyum meski lelah setelah bekerja keras setiap hari. Ia ingat bagaimana ayahnya tidak pernah menyerah, meskipun hidup mereka jauh dari kata sempurna. Namun, rasa sakit yang Hazel rasakan di sekolah, rasa tidak dihargai, terus merayap dalam pikirannya, mengaburkan kenangan indah itu.
Di tepi gedung, Hazel mengangkat tangannya ke udara, membiarkan angin malam yang dingin menyelimuti tubuhnya. Ini adalah momen di mana ia bisa memutuskan segalanya—mengakhiri penderitaannya atau mencoba melawan rasa sakit itu sekali lagi.
"Ayah, maafkan aku," bisik Hazel. Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku sudah tak sanggup lagi."
Ketika Hazel hendak melangkah lebih dekat ke tepi, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya ke belakang. Tubuh Hazel terhuyung dan ia jatuh ke dalam pelukan seorang pria muda. "APA YANG KAU LAKUKAN?!" seru pria itu dengan nada marah, napasnya tersengal-sengal.
Hazel terkejut dan menatap pria itu dengan mata yang penuh air mata, tapi tidak bisa berkata-kata. Pria itu menatap Hazel dengan pandangan tajam, penuh kebingungan. "Apa kau benar-benar ingin mengakhiri hidupmu di sini?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Tangisan Hazel pecah. Untuk pertama kalinya, semua rasa sakit yang selama ini ia pendam tumpah tanpa kendali. "Aku... aku tak bisa lagi... Hidupku hanya membuat semua orang benci padaku... Aku tak punya siapa-siapa..."
Pria itu memandang Hazel dengan bingung. Dia jelas tidak tahu apa yang terjadi pada gadis ini, namun ia bisa merasakan bahwa masalahnya lebih dalam dari yang terlihat. "Aku tidak tahu apa yang kau hadapi," ucap pria itu lebih tenang. "Tapi menyerah bukanlah jawabannya. Kau tak bisa begitu saja membiarkan dunia mengalahkanmu."
Hazel menunduk, tubuhnya gemetar. "Apa gunanya? Hidupku hanya penderitaan. Tak ada yang peduli. Aku hanya beban untuk semua orang…"
Pria itu menarik napas panjang, menenangkan dirinya. "Kau tidak tahu siapa saja yang peduli padamu. Ada orang di luar sana yang sangat mencintaimu, bahkan jika kau merasa tidak ada. Pikirkan keluargamu, orang yang mungkin mencintaimu lebih dari apapun. Pikirkan bagaimana mereka akan merasa jika kau menghilang."
Kata-kata itu menghantam Hazel, membuat dadanya sesak. Ia teringat Berto, ayahnya, yang setiap hari bekerja keras sebagai pemulung demi memenuhi kebutuhan mereka. Air mata mengalir lebih deras di pipinya. "Ayahku…," bisiknya lemah, suaranya patah.
Pria itu menghela napas lega, merasa telah mencapai sesuatu. "Ya, ayahmu. Bagaimana perasaannya jika kau menghilang tanpa memberinya kesempatan untuk membantumu? Kau tak bisa meninggalkannya seperti ini."
Hazel menggigit bibirnya, merasa terpojok. Selama ini ia berpikir tidak ada yang benar-benar peduli padanya, tapi pria ini membuatnya berpikir sebaliknya. Memang benar, ada satu orang yang selalu berjuang untuknya—ayahnya. Ia tak bisa meninggalkan ayahnya begitu saja.
"Jangan biarkan rasa sakit ini menguasaimu," kata pria itu lembut, kali ini tanpa kemarahan. "Kau bisa menghadapinya. Tidak mudah, tapi kau bisa bertahan. Bertahanlah untuk dirimu sendiri, dan untuk orang yang mencintaimu."
Hazel menunduk, air mata tak berhenti mengalir. "Aku... aku tak tahu harus berbuat apa..."
Pria itu mengangguk pelan, memahami keputusasaannya. "Kau tidak harus tahu sekarang. Yang penting adalah, kau memilih untuk bertahan. Itu langkah pertama."
Dengan perasaan campur aduk, Hazel berdiri di sana, membiarkan semua kata-kata pria itu meresap dalam pikirannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada seseorang yang memberinya harapan, meski ia adalah orang asing. Hazel memandang pria itu, matanya penuh rasa terima kasih, meskipun bibirnya tak mampu mengucapkan kata-kata.
Malam itu, di atas gedung tinggi, hidup Hazel berubah. Meski masalahnya belum selesai, ia tahu sekarang bahwa menyerah bukanlah pilihan. Ada orang yang mencintainya, dan itu cukup untuk membuatnya bertahan.
Bersambung
Setelah beberapa saat kemudian, Hazel sudah merasa tenang. Dia langsung berdiri mengambil tasnya dan berlari meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan sepatah katapun pada pria yang telah mencegahnya melakukan tindakan yang sangat bodoh.
Pria itu menatap kepergian gadis culun itu. "Sepertinya penderitaan gadis kecil itu cukup berat." Gumam pria muda itu.
Hazel berlari menuju rumahnya, sesampainya dirumah ia langsung membuka pintu dan melihat ayahnya yang tengah membersihkan foto almarhum istrinya.
Hazel langsung memeluk ayahnya dengan sangat erat sembari menangis. "Ayah, maafkan Hazel." Ucapnya menangis.
Ayahnya yang cukup terkejut itu pun melihat kearah putrinya yang memeluknya dari belakang. "Ada apa sayang? Kenapa kau tiba-tiba meminta maaf pada ayah?" Tanya ayahnya.
"Maafkan Hazel karena belum bisa membahagiakan ayah." Jawabnya.
Berto pun memegang wajah putrinya yang mungil itu dan mengusap airmata yang membasahi pipinya. "Bisa melihatmu tumbuh setiap hari adalah kebahagiaan bagi ayah sayang." Ucap Berto yang justru membuat Hazel semakin menangis mendengar nya karena dirinya hampir melakukan tindakan yang sangat bodoh.
"Kenapa kau tiba-tiba seperti ini nak? Apakah ada yang mengganggumu disekolah?" Tanya ayahnya.
Hazel menggelangkan kepalanya. "Tidak ayah, ayah tenang saja tidak ada yang berani menganggu putrimu yang perkasa ini disekolah," jawab Hazel tersenyum.
"Baiklah sayang, lalu karena apa?" Tanya ayahnya mencubit gemas hidung putrinya.
"Hmm... Sepulang sekolah tadi Hazel tiba-tiba teringat dengan momi, Hazel tiba-tiba merasa bersalah terhadap momi, karena Hazel momi jadi pergi meninggalkan ayah." Jawab Hazel berbohong.
"Kamu jangan berbicara seperti itu sayang, momi pergi meninggalkan kita karena memang ini semua sudah menjadi takdir tuhan, tidak ada yang bisa mengubah takdir tuhan sayang." Ucap Berto.
"Kamu jangan berpikir seperti itu lagi, okay." Ucap Berto.
Hazel menganggukkan kepalanya. "Sekarang bersihkan dirimu, ayah akan menyiapkan makan malam untuk kita nanti." Ucapnya.
Hazel pun pergi masuk ke kamarnya dan membersihkan dirinya, setelah beberapa menit kemudian ia pun selesai membersihkan tubuhnya dan sudah bersiap dengan pakaian tidurnya yang kebesaran ditubuhnya.
Hazel menatap sebuah poster yang menempel di dinding kamarnya. "Aku pasti akan masuk ke universitas itu," gumam Hazel yakin pada dirinya sendiri.
Cklek! pintu kamar Hazel terbuka. Berto melihat putrinya yang sedang memandang poster universitas terbaik di kota itu. "Ayah yakin kau pasti bisa masuk kesana sayang." Seru Berto.
Hazel melihat kearah ayahnya dan tersenyum. "Aku janji kepada ayah bahwa aku pasti akan bisa masuk kesana dan akan menjadi orang yang sukses suatu saat nanti." Ucap Hazel.
"Ayah juga yakin putri ayah yang sangat pintar dan perkasa ini pasti berhasil nanti." Seru Berto menambahkan semangat untuk putrinya.
Ke esokan paginya seperti biasa, Hazel dengan rutinitas nya yaitu berangkat ke sekolah sampai disekolah sudah pastinya dirinya akan di bully oleh teman-temannya.
Bukkk
Sebuah penghapus papan tulis terjatuh tepat mengenai kepala nya, pada saat dirinya membuka pintu kelas. Semua siswa-siswi di dalam kelas itu tertawa senang melihat kejadian itu.
Hazel yang sudah biasa menghadapi situasi seperti itu hanya diam dan mengambil penghapus itu untuk membalikkannya ke tempatnya.
Brukkk
Lagi-lagi dirinya terjatuh pada saat ingin duduk di kursinya karena siswi dibelakangnya tiba-tiba menarik kursinya. Dan Hazel hanya bisa diam saja menerima semua perlakuan buruk itu.
"Eh culun, mana salinan pr yang aku mau kemarin." Ucap Hailey dengan arogan seperti biasanya.
Hazel mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Hailey. "Kau sudah menyalin semuanya kan?" Tanya Hailey.
Hazel menganggukkan kepalanya. "Bagus, good girl." Ucapnya mengacak-acak rambut Hazel yang terkepang dua.
Kriiinngg
Bel istirahat pun berbunyi menandakan semua para murid dapat merehatkan pikiran. Semua murid pergi ke kantin sekolah untuk menyantap makanan disana.
Berbeda dengan Hazel, ia justru pergi ke rooftop sekolah dimana tempat favoritnya dengan membawa bekal yang disiapkan oleh ayahnya tadi pagi. Hazel menyantap makanannya dengan tenang ditemani angin sepoi-sepoi yang menyejukkan dirinya.
Hanya ditempat itu ia bisa merasakan ketenangan tanpa diganggu oleh Hailey dan kawan-kawannya. Dari atas sana Hazel dapat melihat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh para murid seperti kegiatan olahraga.
Hazel ingin sekali dapat bermain basket bersama dengan yang lainnya karena basket merupakan olahraga kesukaan nya. Namun ia tidak dapat bergabung karena sudah pasti dirinya akan ditolak.
Jangankan beraktivitas, dirinya diam saja masih sering diganggu dan jadi bahan bullyan. Hazel merebahkan tubuhnya di kursinya kayu yang panjang disana. Dirinya memandang langit yang amat sangat indah.
"Apakah suatu saat nanti aku bisa mengapai mimpiku yang setinggi langit?" Gumamnya mengulurkan tangannya keatas.
Hazel mempunyai impian yaitu menjadi seorang arsitek terkenal suatu saat nanti, Itulah yang membuat dirinya bertekad untuk bisa masuk kedalam universitas ternama dan terbaik suatu saat nanti.
...****************...
Brukkk
Gerobak sampah yang digunakan oleh Berto ayahnya Hazel tiba-tiba tumpah karena tidak seimbang, "Oh tidak!" Ucap pria tua itu karena plastik-plastik sampahnya ikut terjatuh juga.
Berto pun memungut kembali plastik-plastik sampah tersebut, namun seorang pria muda yang kebetulan melewati jalan itu menghentikan motornya ketika melihat gerobak seorang pria tua jatuh.
"Biarkan aku membantumu paman." Ucap pria muda itu.
"Tidak usah nak, nanti tubuhmu bisa bau. Biarkan paman saja." Jawab Berto.
"Tidak apa-apa paman," seru pria muda itu mulai mengambil plastik-plastik sampah itu dan memasukkannya kedalam gerobak sampah.
"Terimakasih nak," ucap Berto.
"Iya paman, kemana paman akan mendorong gerobak ini?"tanya pria muda itu.
"Kesana nak diseberang cafe itu." Jawab pria tua itu sembari menunjukkan tempatnya.
"Okay paman, aku akan membantumu." Seru pria itu memegang tangkai gerobak sampah itu dan menariknya menuju tempat yang ditunjuk oleh Berto tadi.
"Ehh. Tidak usah nak. Paman bisa sendiri." Ucap Berto menyusul langkah kaki anak muda itu.
"Tidak apa-apa paman, anggap saja ini hari keberuntungan paman." Sahut anak muda itu.
Berto tersenyum dan akhirnya membiarkan anak muda itu membantunya. "Baiklah, kalau begitu paman berterimakasih anak muda," ucap pria tua itu tersenyum.
"Iya paman," jawabnya.
"Jarang sekali ada anak muda sepertimu yang mau membantu orang lain apalagi membantu seorang tukang sampah seperti saya ini." Ucap Berto memuji pemuda baik itu.
"Paman jangan berkata seperti itu,. Jika tidak ada paman maka lingkungan ini akan kotor , jasa paman itu sangat besar." Timpal anak muda itu sembari menarik gerobak sampah.
"Terimakasih nak, jarang sekali ada orang yg memandang pekerjaan seorang tukang sampah," ucap Berto tertawa lirih.
"Ini pekerjaan mulia paman dibandingkan dengan pejabat-pejabat negara yang suka memakan uang rakyat, justru orang seperti itulah sampah sesungguhnya." Seru pria muda itu. Berto tersenyum mendengarnya.
Bersambung
"Sudah berapa lama paman bekerja?" Tanya anak muda itu sembari menarik gerobak sampah.
"Semenjak putriku lahir, dan sekarang umurnya sudah 17 tahun." Berto tersenyum membicarakan putri tersayangnya.
"Oh ya? Berarti putri paman sekarang kelas XI tahun ini?" Tanya pemuda itu.
"Tidak, dia sekarang kelas XII karena dia anak yang cerdas jadi dia mendapatkan kesempatan lebih dulu satu tahun kelas dari teman sepantaran nya." Jawab Berto tersenyum senang setiap kali membicarakan putrinya kepada orang lain, karena dia benar-benar sangat menyayangi anak tunggalnya itu.
"Wow, paman pasti bangga sekali padanya." Seru pria itu.
"Dia merupakan harta paman yang paling berharga, terkadang paman merasa sangat bersalah karena tidak bisa memenuhi kebutuhannya seperti anak lainnya." Ucap Berto sendu.
"Aku yakin pasti putrimu sangat bangga memiliki ayah yang hebat seperti paman ini." Seru pria itu memberikan pujian kepada pria tua disampingnya.
Berto tersenyum mendengarnya. Tidak lama mereka pun sampai. "Terimakasih nak, maafkan paman karena bajumu jadi kotor dan bau." Ucap Berto merasa bersalah.
Anak muda itu tersenyum. "Sudah, tidak apa-apa paman," jawabnya.
Lalu anak muda itu berpamitan kepada Berto, setelah itu ia pun pergi menuju motornya tadi dan kembali melanjutkan perjalanannya.
"Tidak ku sangka ternyata masih ada anak muda yang baik hati seperti dia." Gumam Berto melihat kepergian anak muda tadi.
***
Matahari pagi masuk melalui sela-sela jendela kamar hingga membuat seorang gadis cantik berambut panjang mengerjapkan matanya lantaran silaunya sinar itu.
Hazel bangun dari tempat tidurnya, lalu kemudian ia mencuci mukanya, setelah itu ia pergi keluar dari dalam kamarnya. "Selamat pagi ayah," seru Hazel menghampiri ayahnya yang sedang menyajikan sarapan pagi untuk mereka berdua.
"Pagi tuan putri, selamat weekend." balas Berto.
"Ayah nanti Hazel mau pergi ke toko buku uncle Ed ya, soalnya tes masuk ke universitas MI akan dibuka sebentar lagi." Ucap Hazel.
"Iya sayang, belajar yang rajin agar mimpi kamu menjadi seorang arsitek terkenal bisa terwujud," ucap Berto.
"Siap ayah, suatu saat nanti Hazel akan membuatkan gedung yang sangat besar dan tinggi untuk ayah dan momi." Serunya.
Berto hanya tersenyum mendengar impian putrinya itu, dia berharap impian putrinya itu bisa terwujud suatu saat nanti.
Pukul sepuluh pagi setelah selesai bersiap, Hazel pergi menuju toko buku favoritnya karena disana ia bisa meminjam buku sepuasnya dan membawanya pulang tanpa harus membelinya terlebih dahulu.
Walaupun toko buku itu tidak terlalu besar seperti toko buku lainnya, namun buku-buku disana tidak kalah lengkapnya dengan toko buku lainnya.
Karena pemilik toko buku itu merupakan teman akrab ayahnya, maka dari itu pemilik toko itu mengizinkan Hazel membaca buku sepuasnya disana.
Ed juga mempunyai putra yang bernama Richard seumuran dengan Hazel, Hazel dan Richard berteman dekat apalagi mereka selalu satu sekolah dulu, namun semenjak Hazel pindah ke sekolah elit membuat mereka jadi jarang ketemu kalau bukan hari weekend di toko.
"Haii uncle!" Sapa Hazel dengan ceria seperti biasanya.
"Haii gadis cantik! Kau akan menghabiskan waktu weekend mu disini seperti biasanya lagi?" Ucap Ed.
"Exactly uncle! Tidak ada yang lebih menarik diluar sana dibandingkan dengan buku-buku disini." Jawab Hazel tersenyum.
"Oh ya uncle, dimana Ricard? Apa dia tidak membantu uncle di toko hari ini?" Tanya Hazel yang tak melihat keberadaan Richard karena pria itu selalu membantu di toko jika hari weekend.
"Dia uncle perintahkan mengambil pesanan di pasar." Jawab Ed.
"Carilah buku yang kau mau nak." Lanjutnya.
"Apakah buku bimbingan untuk masuk ke universitas MI sudah ada uncle?" Tanya Hazel.
"Oh ya uncle hampir lupa, kau tenang saja uncle sudah menyimpan nya satu untukmu nak," jawab Ed mengambil sebuah buku di dalam lacinya.
"Oh my god, thank you so much uncle." Seru Hazel excited mengambil buku yang diberikan Ed kepadanya.
"Belajar yang rajin agar kau bisa lolos seleksi nanti." Seru Ed.
"Siap uncle, uncle tenang saja, Hazel sang perkasa ini pasti akan lolos." Jawab Hazel menegakkan badannya seolah seperti seorang yang sangat gagah.
Ed tertawa melihat tingkah lucu Hazel itu.
Lalu Hazel pun duduk di salah satu meja yang sudah disiapkan disana untuk para pengunjung membaca.
Hazel tampak serius membaca dan mencermati buku panduan itu. Lembar demi lembar ia buka dengan saksama seolah tidak ingin jika sampai ada yang terlewatkan.
Dorrr
Tiba-tiba seseorang datang mengejutkannya dari belakang. "Richard, kau mau membuatku terkena serangan jantung di usia dini." Gerutu Hazel kepada Richard.
"Heii mata empat, tidak mungkin wanita perkasa sepertimu diserang penyakit." Ejek Richard duduk didepan Hazel.
"Diam kau anak mami!" Seru Hazel sembari menunjuk kearah Richard namun pria itu melihat sebuah lebam ditangan Hazel yang sedikit tersingkap.
Richard mengerutkan keningnya dan langsung memegang tangan Hazel dan melihat lebam itu. Hazel pun langsung menarik kembali tangannya karena takut Richard mengetahui lukanya yang lain.
Richard sudah mengetahui jika Hazel mendapat perlakuan buruk di sekolah barunya itu namun Richard tidak mengetahui seburuk apa perlakuan yang didapatkan Hazel disana.
Ia berpikir jika Hazel hanya mendapatkan ejekan saja dan tidak tau jika Hazel juga mendapatkan siksaan fisik dari orang-orang di sekolahnya. "Siapa yang melakukan itu padamu?" Tanya Richard dengan wajah serius.
"Bukan siapa-siapa, tadi malam aku memasak mie dan tidak sengaja terkena pancinya." Jawab Hazel Berbohong.
"Kau ini selalu saja ceroboh, hanya memasak mie saja kau sudah lebam seperti itu." Seru Richard.
"Sepertinya dapur memang bukan tempat yang cocok untukku," balas Hazel terkekeh kecil.
"Satu-satunya tempat yang cocok untukmu ya hanya toko ini," timpal Richard.
"Sudah sana, jangan mengangguku." Ucap Hazel.
"Baiklah, aku akan membantu ayah di kasir, semangat wanita perkasa." Seru Richard mengacak rambut Hazel lalu pergi.
Hazel kembali melanjutkan membaca bukunya, dia menghabiskan waktu seharian itu disana tanpa rasa bosan sama sekali, karena hobi yang sangat dia suka yaitu membaca dan belajar.
Berapa menit kemudian Richard kembali mendatangi meja tempat duduk Hazel dengan membawakan minuman beserta cemilan untuk sahabatnya itu. "Wow, terimakasih sang dermawan." Seru Hazel ketika Richard meletakkan cemilan tersebut diatas meja.
"Kau memang merepotkan Zel," ucap Richard mengambil satu cemilan itu.
"Hei, kau jangan memakan cemilanku Richard." Gerutu Hazel mengambil piring berisi cemilan itu.
"Dasar peliit, seharusnya aku tidak mengantarkan makanan ini kepadamu." Balas Richard.
"Lakukan saja jika kau ingin mendapatkan bogeman mentah dari uncle Ed dan aunty Ena," ucap Hazel mengulurkan lidahnya.
"Ck, memang aku tidak bisa berbuat apa-apa terhadap gadis perkasa sepertimu." Seru Richard kembali membantu ayahnya di kasir.
Hazel terkekeh kecil melihat kepasrahan Richard, karena uncle ed dan istrinya memang sangat menyayangi Hazel layaknya putri mereka sendiri.
Tidak terasa hari sudah sore dan toko milik Ed pun akan segera tutup, Richard kembali lagi mendatangi wanita yang tampak sangat fokus dengan buku yang dibacanya sampai-sampai lupa akan waktu. "Hei nona, kau ingin tidur disini?" Ucap Richard mengetuk meja Hazel dengan jarinya.
Hazel mendongakkan kepalanya. "Apakah sudah sore?" Tanya Hazel dengan polosnya.
Richard mengarahkan tunjuk nya kearah kaca yang berada disana samping Hazel. "Kau lihat sendiri?" Tunjuk Richard.
Hazel melihat kaca yang berada disampingnya sembari membenarkan letak kacamata besarnya. Lalu ia pun akhirnya berpamitan kepada Ed dan Richard untuk segera pulang kerumah.
Ed memberikan bingkisan makanan dari istrinya kepada Hazel sebelum dia pulang, Hazel berjalan dengan perasaan senang sembari memegang kantong plastik yang berisi makanan tersebut.
Dia terlihat sangat menikmati waktu weekend nya. Hazel bersenandung mengisi langkah demi langkah jalan yang ia lewati. Namun diperjalanan dia tiba-tiba melihat anak kucing yang terjebak diatas pohon.
Rasa kemanusiaan Hazel yang tinggi pun dengan segera menolong anak kucing tersebut. Hazel mencari-cari tangga atau sesuatu yang bisa membantu dia untuk naik ke atas pohon yang tidak terlalu tinggi itu.
Bersambung
Untuk Visualnya Nanti ya Ges🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!