Beberapa bulan kemudian...
Sejak mertuanya memutuskan untuk tinggal bersama mereka, kini kehidupan Arumi dirumahnya sendiri tak lagi damai. Pasalnya Tania selalu saja menyiksa Arumi di saat Akhtar tidak dirumah. Tak ada yang mampu bicara untuk melaporkan hal itu, karena Tania selalu mengancam mereka yang berniat untuk melapor.
Arumi pun hanya pasrah saja. Tidak mungkin juga ia melawan pada ibu yang telah melahirkan suaminya. Bisa durhaka dia. Karena itu setiap perlakuan yang di berikan oleh Tania, Arumi hanya bisa tersenyum dan menerima begitu saja.
Tania juga sudah menetapkan, jika semua pekerjaan rumah harus di kerjakan oleh Arumi sendiri. Tidak boleh ada yang membantunya. Tak hanya itu, sering kali Tania juga memukul Arumi dengan gagang sapu atau benda tumpuk lainnya. Jika dia merasa tidak senang atau dalam suasana hati yang kurang bagus.
Terkadang Ririn merasa perihatin melihat kondisi Arumi. Tubuhnya biru-biru karena sering mendapat pukulan. Ingin membantu tapi ia juga takut, karena mama dari majikannya selalu mengancam akan bunuh diri. Tentu hal itu membuat Ririn sangat takut.
"Mbak Arumi, sini biar saya bantu sedikit-sedikit." bisik Ririn saat melihat Arumi sedang membersihkan rumah.
"Jangan nanti kalau ketahuan, mama bisa marah. Biarkan saya saja."
Ririn mengambil alih sapu yang berada di tangan Arumi dengan paksa. "Tidak akan ketahuan, Nyonya lagi istiraha-" belum sampat menyelesaikan kata terakhirnya, ucapan Ririn di potong oleh Tania yang baru saja menghampiri mereka.
"Ohh, kalian berani tidak mematuhi saya. Eh orang kampung, siapa yang menyuruhmu membantu dia. Hah." pekik Tania.
Ririn mengeratkan genggamannya pada gagang sapu. Ia sangat tidak suka jika dirinya direndahkan dengan sebutan orang kampung. Meski benar dia orang kampung tapi bukankah orang kampung masih manusia yang perlu di hargai juga.
"Ma, Ririn hanya mengambil sapu yang terjatuh. Dia tidak berniat untuk membantu aku." ucap Arumi bohong.
Meski benar Ririn berniat membantu, tapi tidak mungkin Arumi akan mempersulitnya juga. Kemudian Arumi mengambil kembali sapu yang dipegang Ririn.
Arumi tersenyum. "Makasih ya, Rin. Sudah kamu jangan disini saya mau lanjutkan ini."
Ririn tak habis pikir, bisa-bisanya Arumi masih bisa tersenyum di situasi seperti ini. Ririn saja sudah bergetar karena takut. Tapi itulah juga yang merupakan alasan Ririn masih bertahan dirumah itu, yaitu senyum Arumi yang mampu menenangkan. Juga ia tak mungkin meninggalkan Arumi sendiri dirumah yang sudah seperti neraka itu.
"Heh. Enak ya kamu mau pergi begitu saja. Lihat ini baik-baik akibat dari ulahmu."
Tania mendekati mereka dan mengambil sapu yang di pegang Arumi. Detik kemudian ia memukul tubuh Arumi dengan sapu tersebut hingga membuatnya merintih. Lebam yang sebelumnya saja belum sembuh kini harus di tambah lagi.
"Ini akibatnya kamu terlalu memanjakan pembantu. Rasakan ini." Tania terus memukul Arumi sampi terduduk.
Ririn yang melihat itu langsung berlutut, memohon belas kasihan. "Nyonya, Mbak Arumi nggak salah. Pukul saja saya, karena saya yang salah. Iya saya akui tadi saya mau membantu Mbak Arumi." Ririn menangis sambil berlutut.
"Hah. Kalian sama-sama wanita jalang, yang suka merebut milik orang."
Setelah merasa puas, Tania menyudahi pukulannya dan berlalu pergi. Ririn langsung menghampiri Arumi dan memeluknya. Airmatanya terus saja terjatuh. "Mbak, maafin saya ya Mbak. Kalau saja saya tidak berniat untuk membantu Mbak, mungkin tidak terjadi begini."
Arumi mengusap airmata Ririn dan masih menunjukan senyumannya. "Sudah, sudah. Ini bukan salah kamu, jadi jangan merasa seperti itu. Suasana hati mama lagi kurang bagus jadi dia begitu. Lagi pula sudah tidak terasa sakit kok."
Tentu Ririn bukanlah orang bodoh, meski Arumi bilang itu sakit tapi ia tahu jika itu sangat menyakitkan. Sungguh Ririn sangat beruntung memiliki majikan yang baik seperti Arumi. Setelah itu Ririn membantu Arumi berdiri dan mengoleskan salep pada lebam-lebam yang ada di tubuhnya.
***
Hoek.. Hoek..
Sudah dua minggu terakhir ini, setiap pagi Arumi harus berlari ke kamar mandi karena ia selalu merasakan mual yang luar biasa pada perutnya.
Akhtar menyusul Arumi saat mendengar suaranya seperti orang muntah. "Sayang, kamu kenapa?"
Arumi menoleh. "Nggak tahu sudah dua minggu ini, perut ku selalu mua-. Hoek." Arumi kembali muntah, tapi sama sekali tidak ada yang ia muntahkan.
Akhtar dengan sigap memijit tengkuknya agar Arumi merasa lebih baik. " Wajah mu pucet banget. Kita kedokter ya."
"Nggak usah, mungkin hanya masuk angin saja. Lagian Mas kan juga dokter, kenapa harus pergi kedokter lagi?"
"Mas kan dokter bedah, kalah meriksa gejala seperti ini kurang akurat."
"Owh, begitu. Ya sudah lah, ini hanya masuk angin aja. Mas nggak usah khawatir, udah sekarang cepat mandi. Aku mau siapkan sarapan dulu."
"Sebentar dulu." tahan Akhtar. "aku kangen sama kamu." bisiknya lagi di telinga Arumi.
Tentu Arumi tahu maksud dari suaminya itu. "Ini di kamar mandi lho, Mas."
"Nggak apa-apa. Kita coba di kamar mandi sekali-kali." ucap Akhtar sambil mencumbui leher istrinya.
"Kamu makin terlihat tambah seksi sayang, aku suka. Ingin terus manja-manja sama kamu." ucap Akhtar dengan suara parau.
Kemudian tanpa persetujuan Arumi, ia langsung melumat bibirnya dengan begitu lembut. Tak kuasa untuk menolak, Arumi pun hanya pasrah menuruti kemauan suaminya. Arumi juga membalas setiap lumatan yang diberikan Akhtar. Pada akhirnya mereka pun melakukan pagi yang panas dan bergairah di kamar mandi. Sekalian juga mereka mandi bersama.
***
"Rin..!" panggil Arumi.
Ririn yang sedang mencucu piring, langsung menghampiri Arumi. "Iya, kenapa Mbak?"
Arumi terlihat ragu-ragu saat ingin mengatakannya. "Katakan saja, Mbak. Apa yang bisa saya bantu."
"Emm, sebenarnya saya masih kurang yakin sih tapi nggak apalah dicoba."
"Lha emang kurang yakin apaan sih Mbak."
"Itu bisa minta tolong belikan sesuatu di apotik nggak? Soalnya kalau saya yang keluar nanti takutnya mama nyariin."
"Lho Mbak sakit?"
"Bukan, saya masih sehat kok."
"Trus ke apotik mau beli apa kalau bukan obat Mbak."
"Itu.. Sini deh saya bisikin."
Ririn pun mendekat dan memasang telinganya lebar. Arumi mendekatkan bibirnya pada telinga Ririn dan membisikan sesuatu. Hingga membuat Ririn terkejut.
"Hah. Mbak hamil? Serius Mbak."
"Jangan keras-keras. Ini belum tentu juga sih, tapi memang sudah 4 bulan ini saya telat."
"Wah bagus dong Mbak, kalau hamil. Saya yakin itu, Mbak pasti hamil. Apalagi sudah telat lama sekali."
"Ya syukur kalau hamil, Rin. Tapi kalau benar hamil perut saya kok belum buncit ya " Arumi mengelus-elus perutnya dan berharap dirinya memang benar hamil.
"Wajarlah Mbak, biasanya kalau hamil pertama itu memang tidak kelihatan. Nanti kalau sudah 5 bulan ke atas baru terlihat."
"Jangan sok tahu kamu. Kamu aja belum pernah hamil bagaimana bisa tahu."
"Hehe. Saya biasa baca artikel ke hamilan Mbak."
"Nikah dulu, baru buka artikel itu Rin."
"Hehe. Nggak apalah Mbak buat persiapan nantinya."
"Ya terserah kamu saja deh. Tapi jangan lupa ya, yang saya bilang tadi."
"Oke siip deh, Mbak."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments