Akhtar terlihat telah rapi dan bersiap untuk segera berangkat kerja. Namun sebelum itu ia akan menyantap sarapannya terlebih dalu, jika tidak maka ia akan bersiap untuk mendapat ceramah di pagi hari.
Hari ini Arumi membuat nasi goreng dan omelet sebagai menu sarapannya. Ia juga telah membuat bekal untuk makan siang suaminya. "Ayo sarapan dulu." ajak Arumi ketika ia melihat Akhtar baru saja keluar dari kamar.
Akhtar segera menuju meja makan karena telah mendapat panggilan dari sang istri. "Nanti siang saya akan jemput kamu." ucap Akhtar sambil menyendok makanannya.
"Mau kemana?"
"Ke suatu tempat. Nanti kamu akan lihat sendiri."
"Kalau tidak kasih tahu aku sekarang, aku tak mau pergi."
"Ck. Jangan kekanak-kanakan, kamu akan lihat sendiri jika sudah kesana."
"Jangan sok rahasia-rahasian juga sama aku."
"Pokoknya nanti siang aku jemput dan harus sudah siap."
"Hummp."
"Lanjutkan sarapanmu."
Mereka kemudian melanjutkan sarapannya tanpa bersuara. Hanya dentang sendok dan piring saling beradu sebagai pengisi suara di antaranya.
Setelah selesai dengan sarapannya, Akhtar bersiap untuk pergi. Namun sebelum itu ia harus melakukan ritual wajib terlebih dulu. Cium tangan untuk Arumi dan cium kening untuk Akhtar. Begitulah mereka sebelum berpergian.
Arumi mengantar suaminya sampai depan pintu apartemen dan kembali masuk setelah ia pergi jauh. Arumi kembali ke dapur dan membereskan bekas mereka sarapan tadi.
Seperti kebanyakan ibu rumah tangga lainnya, Arumi mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri tanpa bantuan seorang pembantu. Ia menyapu dan mengelap semua debu-debu yang menempel di setiap sudut ruangan. Setelah itu ia mencuci pakaian yang kotor dan membereskan kamarnya. Tak lupa ia juga menyetrika pakaian kerja Akhtar yang telah dicuci sebelumnya.
Rasa lelah mengelayut di seluruh tubuhnya, meski begitu ia tak mengeluh karena itu sudah menjadi kewajibannya. Arumi membaringkan tubuhnya di sofa dan memejamkan matanya. Ia mengingat lagi apa saja yang belum ia kerjakan atau sesuatu yang terlupakan.
Sepertinya Arumi mengingat sesuatu hingga membuat matanya yang semula tertutup kini terbuka lebar. "Ya, Tuhan." pekik Arumi sambil menepuk jidatnya dengan telapak tangannya.
Kemudian Arumi bangkin dari berbaringnya dan menuju ke dapur. "Tuh kan, bener ketinggalan. Hah, nih gara-gara Mas Akhtar jadi kelupaan deh. Aah, biarkan saja. Lagi pula dia juga bakal pulang nanti siang." gerutu Arumi ketika ia melihat kotak bekal yang telah ia siapkan dari pagi, ternyata lupa di berikan kepada Akhtar.
****
Hacyiiuh..
Akhtar baru saja selesai memeriksa pasiennya tiba-tiba saja bersin. Ia juga merasa gatal di hidungnya. "Perasaan nggak flu." gumam Akhtar sambil menyentuh hidung mancungnya.
"Eh, dicariin dari tadi akhirnya ketemu juga."
Akhtar yang semua masih fokus dengan kertas hasil pemeriksaan pasiennya, mendongak. Ia melihat seorang lelaki yang katanya akan pergi honeymoon kini berdiri dihadapannya.
"Masuk kerja?" tanya Akhtar heran.
"Iya. Ada tugas dari atasan, kebetulan harus pergi sama kamu."
"Nggak jadi Honeymoon?"
"Hah. Nggak jadi."
"Kenapa?"
"Kok sekarang kamu kayak perempuan sih banyak tanya."
"Ya udah aku diem."
Akhtar melangkah kembali menuju ruangannya, di ikuti Beno di sampingnya sambil menggerutu tak jelas. Tapi Akhtar tak mempermasalahkannya.
Akhtar masuk diruangannya, begitu juga Beno yang masih mengekor. "Pak direktur kasih tugas untuk keluar kota dan kita jadi partner." ucap Beno
"Katanya semingguan kita disana dan boleh ajak istri. Nah rencana aku mau ajak Dania sekalian honeymoon. Kalau kamu ajak Arumi sekalian."
Beno merasa kesal sendiri melihat Akhtar yang tak kunjung merespon percakapannya. Ia malah asyik dengan kertas-kertas tak jelas itu. "Akhtar Farzan Wijaya..! Kamu dengar nggak sih aku ngomong. Jawab kek, respon kek. Jangan diem aja."
Akhtar menatap datar sahabatnya. "Bicara salah, diem salah. Jadi aku harus gimana."
"Aku nggak bilang gitu."
"Tapi kamu bilang aku kayak perempuan yang banyak bicara."
"Ya, habisnya tadi kamu ngomong terus."
"Nah, tuh kan. Aku ngomong salah."
"Hah. Oke aku minta maaf, nggak seharusnya aku bilangi kamu kayak perempuan."
"Huh. It's oke."
"Jadi bagaimana dengan pengaturan tugas keluar kota?"
"Aku akan cek ulang lagi. Kalau soal ngajak Arumi, entar aku pikirkan dulu dan diskusikan sama dia."
"Pokoknya kamu harus ajak dia dan dia harus mau kamu ajak."
"Nggak janji." Akhtar bangkit dari duduknya.
"Kamu mau kemana?" tanya Beno ketika melihat Akhtar membereskan meja kerjanya dan menyimpan jas dokternya.
"Mau makan siang lah."
"Oh, Astaga. Nggak terasa sudah siang. Ya udah bareng yuk."
"Eeiits, sorry. Aku makan siang dirumah. Kamu pergi aja sendiri ke kantin."
"Wahh, sialan nih anak."
Kemudian Akhtar pun berlalu pergi meninggalkan Beno yang mengumpati dirinya. Beno juga memutuskan untuk pergi makan siang bersama istrinya, dari pada ia harus makan siang sendirian di kantin rumah sakit.
Sementara itu, Arumi terlihat mondar-mandir di depan pintu apartemennya. Ia telah siap setengah jam yang lalu, tapi Akhtar sampai sekarang belum juga menampakan dirinya. Akhirnya, Arumi memutuskan untuk berbaring disofa sambil menunggu suaminya.
Akhtar baru saja tiba di apartemennya setengah jam kemudian. Karena kemacetan jalan membuatnya sangat terlambat menjemput Arumi. Tak menunggu lama Akhtar segera masuk ke apartemennya. Namun saat masuk ia mendapati Arumi yang tengah terlelap di sofa ruang tamu.
Akhtar berjalan mendekatinya dan berniat untuk membangunkan Arumi. Akhtar membungkuk sambil menggoyangkan tangan Arumi. "Hei, bangun."
Arumi masih tak bergerak, ia masih asyik dengan tidurnya. "Arumi, ayo bangun." ucap Akhtar sambil memencet hidung Arumi.
"Aaaa.."
Arumi memekik kagek karena hidungnya di pencet hingga ia susah bernafas. Setelah merasa benar-benar tersadar, Arumi mendapati suami yang ditunggunya sedari tadi sedang asyik menertawakan dirinya.
"Iih, jahat banget sih. Kalau aku mati kehabisan nafas gimana?" omel Arumi kesal.
Akhtar menghentikan tawanya saat melihat Arumi mulai mengomel. "Nggak akan. Ayo kita pergi."
"Aku kira tidak jadi."
"Tentu jadilah."
"Trus kenapa lama sekali?"
"Oh, biasa macet. Ayo kita pergi sekarang." Arumi tak menanggapi lagi. Ia memilih diam dan mengikuti Akhtar pergi.
***
Mobil yang di kemudikan Akhtar berhenti di depan sebuah rumah yang besar. Rumah itu juga memiliki halaman yang luas dan banyak pohon lindungnya. Sangat sejuk.
"Rumah siapa, Mas?" tanya Arumi saat mereka baru saja keluar dari mobil.
Akhtar tak menjawab, ia berjalan lebih dulu menuju rumah itu dan tentu Arumi mengikutinya dibelakang. "Rumah siapa sih, Mas?" tanya Arumi lagi karena sangat penasaran.
Akhtar berhenti tepat di depan pintu utama rumah itu. Ia menoleh pada Arumi yang sudah berada di sampingnya. "Rumah kita." jawab Akhtar.
"Hah?"
Arumi masih tak mengerti maksud dari suaminya. Dengan perlahan Akhtar membuka pintu rumah itu. "Yuk masuk."
"Tunggu." Arumi menahan tangan Akhtar saat hendak masuk ke dalam rumah.
"Kenapa lagi?"
"Ini rumah siapa? Jangan sembarangan masuk deh."
"Huh. Ini rumah kita. Jadi ayo kita masuk melihatnya."
"Rumah kita maksudnya?"
"Ya rumah kita, untuk tinggal kita berdua. Saya membelinya kemarin. Tidak mungkinkan kita mau tinggal di apartemen itu terus."
Arumi terkejut mendengar penjelasan Akhtat. Ia tak menyangka, jika rumah sebesar itu akan menjadi rumahnya. Tapi bukankah terlalu besar jika untuk berdua? Pikir Arumi.
"Wah." ucap Arumi takjub setelah ia masuk. Rumah itu terlihat sangat mewah. Semua telah lengkap didalam. Rumah itu berlantai dua, sangat besar dan mewah. Arumi tak menyangka suaminya dapat membeli rumah yang sebesar itu.
"Gimana menurut kamu?"
"Bagus banget, Mas. Tapi apa tidak terlalu besar hanya untuk kita berdua."
"Kita nggak tinggal berdua."
"Lho sama siapa? Oh, orang tua Mas Akhtar juga akan tinggal disini. Hemm tidak apa-apa bagus itu tambah rame."
"Bukan."
"Hah?"
"Mereka tidak tinggal disini."
"Trus?"
"Ya, rumah ini untuk kita berdua dan juga anak-anak kita nanti." ucap Akhtar sambil memeluk Arumi dari belakang.
Pernyataan Akhtar membuat wajah Arumi merona. Ternyata untuk anak-anak mereka, tapi bagaimana mereka akan mendapatkan seorang anak? Akhtar saja sampe saat ini belum pernah menyentuh Arumi. Hah, Arumi sendiri bingung dengan ucapan Akhtar, tapi dia memilih diam.
"Besok kita sudah bisa pindah kesini. Cukup bawa pakaian saja, karena disini sudah ada semuanya." Arumi hanya mengangguk.
Kemudian Akhtar membawa Arumi disebuah ruangan yang besar dekat ruang keluarga, dilantai bawah. "Ini kamar kita, di lantai atas ada tiga kamar. Kamu bisa melihanya nanti jika kita sudah pindah. Nah disana dapur." tunjuk Akhtar ke arah tempat yang tak jauh dari mereka.
"Apa ini tidak terlalu besar?" tanya Arumi.
"Tidak. Kamu tenang saja, saya sudah mencari asisten rumah tangga untuk membantu mu dirumah."
"Bukan itu maksud ku-"
Bunyi sesuatu dari arah perut Akhtar, mengintrupsi pembicaraan Arumi. Akhtar tersenyum. "Nanti saja kita bicarakan lagi, saya sudah lapar. Belum makan siang."
Arumi memilih tak melanjutkan pembicaraannya, karena ia tak tega melihat suaminya kelaparan. "Ya udah kita pulang kalau gitu." ajak Arumi
"Kita makan diluar aja, ya. Kalau pulang terlalu jauh, saya sudah lapar sekali."
Arumi hanya mengangguk. Kemudian Akhtar membawa Arumi kesebuah restoran yang tak jauh dari rumah baru mereka.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Ibragus Shadan
klo q ad yg ngmongin pasti kegigit klo pas mkan.
2020-07-31
0