Hari ini pasien dibangsal yang sama dengan Arumi, telah di perbolehkan pulang setelah seminggu dirawat disana. Kini pasien yang tinggal di bangsal itu hanya ada Arumi seorang.
Masih seperti biasanya, Arumi duduk termenung sambil menatap luar jendela. Melihat anaknya yang masih seperti itu membuat hati Ningrum sakit. "Sayang, sudah waktunya makan siang. Ayo sini makan dulu." ucap Ningrum. Arumi hanya menurut saja ketika sang ibu menyuapinya.
Setelah memberi makan Arumi, Ningrum berencana untuk mengisi perutnya juga di kantin rumah sakit. "Sayang, ibu keluar dulu ya. Kalau mau ke kamar mandi nanti minta suster temani ya.." ucap Ningrum. Arumi hanya menganggukan kepala tanpa mengalihkan pandangannya.
Ningrum pun keluar dari bangsal, tapi sebelum itu ia berpesan pada salah satu suster untuk mengawasi putrinya. Bangsal itu menjadi hening seketika, hanya sesekali terdengar suara dari luar saja.
Air mata yang beberapa hari tertahan, kini meluncur dengan bebasnya. Disana Arumi menangis tanpa suara. Ia selalu menahan air matanya karena tak ingin membuat sang ibu khawatir. Rasa sakit akibat pukulan yang mendalam atas kepergian Gilang, masih jelas terasa di hati Arumi. Tapi selain menangis, ia tidak tahu harua bagaimana. Haruskah ia ikut menemani Gilang disana? Lalu bagaimana dengan ibunya, siapa yang akan menjaganya? Berbagai pikiran selalu memenuhi kepala Arumi dan itu membuatnya sakit kepala.
Sebuah kenangan tiba-tiba terlintas begitu saja, bersama dengan cairan bening yang masih belum surut. Ia menggenggam erat kearah dadanya, disana ia merasa begitu sesak hingga tak bisa bernafas.
Saat itu Gilang dan Arumi sedang berada di sebuah taman dekat rumah Gilang. Arumi menyenderkan kepalanya di bahu Gilang. "Kak, kalau kita sudah menikah mau anak berapa..?" tanya Arumi
"Berapa saja deh, yang penting kamu masih kuat untuk melahirkannya.." jawab Gilang.
"Ahaha.. Mau anak perempuan atau laki-laki..?"
"Perempuan atau laki-laki, yang penting sehat."
"Kak Gilang, sayang nggak sama Arumi..?"
"Sayanglah. Kalau nggak sayang mana mungkin kita bisa bersama sampe sekarang."
"Hihihi.. Iya deh, Arumi percaya kalau Kak Gilang itu sayang Arumi."
"Arumi juga harus janji ya, apapun yang terjadi kita harus bersama. Baik susah dan senang kita harus lewati bersama."
"Iya janji. Arumi akan hidup dan mati bersama kakak. Kita akan menua bersama." Gilang mengecup kening Arumi sayang dan dibalas senyuman manis yang biasa tersungging dibibirnya.
Tubuh Arumi bergetar karena menahan suara tangisannya agar tak terdengar oleh siapa pun. Akhirnya Ia menangis hingga lelah dan tertidur. Arumi tak menyadari jika adegan menangisnya itu tertangkap oleh sepasang manik hitam pekat yang biasa mengawasinya dari luar bangsal.
Beberapa hari telah berlalu, kondisi Arumi masih saja tak menunjukan perubahan dan masih sama seperti hari-hari lain. Ia juga masih suka menangis jika sang ibu sedang tidak didekatnya. Tapi hari ini seperti sebuah keajaiban untuk Ningrum, karena anak perempuannya itu sudah mau bicara. Kerena sebelumnya Arumi enggan untuk bersuara.
"Bu..!" panggil Arumi lirih, namun masih terdengar oleh Ningrum.
Mendengar suara Arumi memanggilnya, membuat Ningrum bahagia. "Apa sayang, coba ulangi lagi."
"Bu..!" ulang Arumi menuruti kemauan ibunya.
Air mata Ningrum menetes saat mendengar suara Arumi kembali terdengar di telinganya. Sudah sebulan ini Arumi memang tak pernah bicara atau mengeluarkan suara, meski untuk menyebut satu huruf saja. Tentu Ningrum sangat bahagia mendengarnya, ia memeluk dan mengelus rambut panjang Arumi.
"Akhirnya kamu mau bicara lagi sama ibu, Nak. Ibu seneng banget." ucap Ningrum. Arumi tersenyum dalam dekapan ibunya.
Senyum manis yang sudah lama tak terlihat kini kembali terhias di bibir mungil dan tipisnya. Meski hanya sesaat tapi itu sudah merupakan suatu kemajuan dari kondisi yang sebelumnya. Bagaikan suatu berkah bagi sepasang manik hitam pekat, menyaksikan senyum manis yang tersungging dari bibir mungil tapi pucat itu.
Ia tak menyangka jika pasien bernama Arumi itu memiliki senyuman yang begitu manis. Tapi ia merasa sedih karena senyuman itu harus hilang dalam sekejap saja.
"Bu, maafin Arumi ya. Arumi sudah menjadi beban untuk ibu." ucap Arumi lirih
Ningrum melepas pelukannya. "Nggak sayang, kamu nggak membebani ibu kok. Ibu senang anak ibu ini sudah mau bicara lagi sama ibu."
"Bu, kalau Arumi pergi ibu harus tetap bahagia ya. Arumi juga seneng bisa lihat ibu tersenyum meski banyak yang tak suka sama Arumi."
"Kamu ngomong apa sih sayang. Ibu nggak mau dengar kamu bicara yang aneh-aneh ya."
"Arumi nggak ngomong aneh-aneh kok. Arumi denger semua yang mereka bilang. Mereka bilang Arumi anak pembawa sial, siapa pun yang dekat Arumi pasti mati. Mereka benar,Bu. Buktinya kak Gilang meninggal karena Arumi. Mereka juga bilang kalau Arumi ini selalu nyusahin ibu. Arumi nggak mau nyusahin ibu dan membawa sial untuk ibu. Kalau Arumi mati pasti ibu tidak mengalami itu kan, Bu..!"
Ningrum menangis mendengar pernyataan anaknya, yang selama ini ia pendam. "Jangan dengerin mereka sayang. Biar mereka bicara apa, jangan di dengar. Ibu nggak pernah merasa Arumi menyusahkan, apa lagi membawa sial. Arumi itu anak keberuntungan Ibu." jelas Ningrum. Ia memeluk kembali Arumi dan mereka sama-sama menangis.
Mereka menangis hingga lelah. Arumi sendiri tertidur dalam dekapan sang ibu. Karena kondisinya yang masih lemah, membuat Arumi tertidur setiap kali habis menangis. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, Ningrum membaringkan Arumi agar lebih nyaman. Ningrum berharap agar esok menjadi hari baik dan kondisi Arumi juga membaik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
ncunaja
mantul Thor
2022-02-06
0