Episode. 04

Lelah berbaring, Arumi mendudukan dirinya di atas tempat tidur. Ia merapikan rambut panjangnya yang sedikit berantakan. Terlihat dari wajahnya jika hari ini ia nampak cerah, menandakan ia baik-baik saja. Juga tak ada tanda-tanda akan ke anehan dari dirinya. Beberapa kali ia memperbaiki duduknya agar terasa nyaman. Tak jauh dari darinya ada seorang suster yang menemaninya.

Arumi merasa bosan menunggu ibunya yang tak kunjung datang. Padahal sudah setengah jam yang lalu ia pergi. Kembali ia membaringkan tubuhnya lagi dan memejamkan matanya, berharap dapat tertidur hingga ibunya datang.

Tapi seorang suster yang lain datang ke bangsal tempat Arumi inap. Ia menghampiri suster yang sedari tadi mengawasi Arumi. "Masih ngawasin itu." tunjuk suster yang baru datang ke arah Arumi.

"Iya. Ibunya tadi pesan harus selalu diawasi."

"Ah. Begitu. Hemm, dia itu nampak kasihan banget ya."

"Sssstt... Nanti didenger sama dia, kalau ngamuk lagi berabe tahu."

"Halah, orang dia tidur juga mana denger. Masih muda tapi kondisinya memprihatinkan."

Arumi memang akan terlelap, tapi mendengar seseorang membicarakannya membuat Arumi urung untuk tidur. Ia hanya memejamkan mata dan pura-pura tertidur saja.

"Iya, sayang banget. Kalau dipikir-pikir seharusnya dia itu bisa move on. Apa lagi kan sudah lama suaminya meninggal."

"Dia mungkin depresi karena nggak bakal ada lagi yang mau sama dia. Masih muda udah jadi janda, terus baru nikah suaminya meninggal. Apa lagi banyak yang bilang dia memang pembawa sial jadi kalau menikah lagi otomatis akan membunuh suaminya yang lain."

"Ssstt.. Kamu ngomong apa sih. Jangan terlalu banyak bicara nanti bahaya tahu, bisa salah paham."

"Salah paham gimana, kan memang faktanya gitu kan."

"Sudah, kamu pergi saja deh. Aku nggak mau gosip kayak gituan lagi."

"Ya sudah. Aku juga nggak mau lama-lama dekat orang pembawa sial. Kamu hati-hati aja jangan sampe ketiban sial juga."

Cairan bening itu menetes perlahan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan oleh mereka semua itu benar. Dia memang pembawa sial, jika tidak maka Gilang tak akan mengalami itu semua. Arumi mengusap airmatanya perlahan, kemudian bangun dari tidur dengan alaminya.

"Suster, bisa minta tolong..?" tanya Arumi tiba-tiba.

Suster itu agak terkejut karena baru pertama kali ia mendengar suara Arumi. Karena sebelumnya ia tak pernah berbicara dan berpikir sejak kapan dia bangun. "Ah, Iya. Apa yang bisa saya bantu..?"

"Tolong panggilkan ibu saya, ibu sudah pergi terlalu lama."

"Tapi nanti siapa yang temani anda disini..?"

Arumi menunjukan senyumanya untuk pertama kali pada orang selain ibunya. "Saya tidak perlu di jaga lagi, saya baik-baik saja."

Nampaknya suster itu percaya dengan apa yang di ucapkan oleh Arumi dan tak ada kecurigaan apapun padanya. "Baiklah, saya akan pergi untuk memanggilnya. Anda harus tetap disini, jangan kemana-mana." pesan suater. Arumi mengangguk sebagai persetujuannya.

Setelah suster tadi benar-benar pergi, Arumi turun dari tempat tidurnya dan berjalan keluar dari bangsalnya. Dengan tertatih ia menaiki tangga darurat dan menuju rooftop.

Sementara itu...

"APA..!" Ningrum memekik kaget mendengar pernyataan dokter Rafi.

"Ayo, Bu. Kita harus menyusul dokter Akhtar." ucap dokter Rafi

Tak lagi menunggu ayam goreng pesanannya, Ningrum melangkah tergesa-gesa bersama dokter Rafi menuju bangsal anaknya. Saat di tengah jalan, seorang suster menghentikan langkah mereka.

"Akhirnya saya menemukan anda." ucap suster itu

"Lho Sus, bukankah anda yang menjaga anak saya. Kenapa disini.?" tanya Ningrum

"Oh itu Bu, anak ibu meminta saya memanggil ibu. Katanya ibu lama sekali meninggalkan dia."

"Jadi sama siapa Arumi sekarang." tanya dokter Rafi.

"Sendiri, Dok."

"Apa..? Kenapa bisa kamu tinggalkan dia sendirian. Ayo kita segera kesana."

Ningrum dan dokter Rafi kembali melanjutkan langkahnya dan meninggalkan suster tadi dalam pikiran yang bingung. "Lho, mereka itu kenapa sih. Kok malah kelihatan panik gitu." guman suster itu yang masih tidak tahu dengan situasinya itu.

Rooftop...

Disana Arumi menangsi, menumpahkan semua rasa tertekannya. Pikirannya sedang kacau dan tak dapat berpikir jernih. Ia kembali mengingat semua gosip tentang dirinya selama dirumah sakit.

"Aku memang pembawa sial." ucap Arumi lirih.

Ia memukul-mukul kepalanya, rasa frustasinya memenuhi rongga otaknya. Dengan perlahan ia melangkah menuju pagar pembatas dan berdiri disana. Arumi kembali berniat untuk mengakhiri hidupnya lagi. Ia berpikir jika tak ada lagi yang bisa menghalanginya. Jika ia mati ia dapat bertemu dengan Gilang, suaminya. Juga tidak akan membawa sial untuk ibunya.

Arumi berniat melompat dari gedung rumah sakit yang berlantai 10 itu. Dengan ketinggian itu, maka ia tak akan merasakan sakit. Pikir Arumi. Saat kakinya hendak melompat tiba-tiba sebuah suara menghentikannya.

"Berhenti..!!"

Arumi menoleh keasal suara. Dari jauh ia melihat seorang lelaki dengan pakaian seperti dokter, sedang mengatur nafasnya. Tapi ia tak akan menghiraukannya, Arumi memalingkan wajahnya dan berniat lagi untuk segera terjun. Lagi-lagi suara itu menghentikannya.

"Berhenti..! Saya mohon tetap berdiri disana jangan melakukan gerakan apa pun."

Lelaki itu perlahan mendekat ketika melihat Arumi mendengarkan perintahnya. Ia berhenti tepat berjarang 2 meter dari Arumi, karena ia takut jika terlalu dekat bisa-bisa Arumi langsung terjun kebawah. Ia ingin melakukan pendekatan dulu sebelum menyuruh Arumi turun.

Masih tak ada gerakan dari Arumi, kemudia lelaki itu kembali melangkah perlahan mengikis jarak mereka.

"Jangan mendekat atau saya melompat." ucup Arumi memperingatkan tanpa berpaling.

"Tenang, saya tidak akan mendekat selama kamu tetap diam disana. Jangan gegabah, kita bicarakan baik-baik. Ayo turun dari sana." ucap lelaki itu

"Hah. Apa urusannya anda dengan saya. Jika saya mati semua akan senang dan tidak lagi berbicara dibelakang saya."

"Ibu mu akan sedih jika kamu mati seperti ini."

"Tidak..! Ibu akan senang, karena tidak ada lagi yang membawa sial untuknya."

"Tenanglah, kamu bukan pembawa sial untuk ibu mu."

"Huh, tahu apa anda. Saya sudah muak dengan kalian semua, bicara manis di depan saja."

"Tidak ada yang seperti itu."

"Jangan ikut campur lagi, ini bukan urusan anda. Lagi pula siapa anda mengurusi hidup saya."

"Ingat, saya Akhtar dan saya seorang dokter. Jadi saja punya hak mengurusi pasiean saya."

"Hanya seorang dokter, lalu kenapa?"

Tiba-tiba Arumi kembali menangis dengan kencang, membuat Akhtar bingung. Tapi ia akan memanfaatkan situasi itu untuk perlahan mendekat lagi.

"Stop..!"

****

Terpopuler

Comments

Ibragus Shadan

Ibragus Shadan

itu kok ad suster kyk gt,bs d bui loh,cz jd pnyebab org bnuh dri.

2020-07-31

0

Lee Joo Hong Nuswantara

Lee Joo Hong Nuswantara

suster tuh ada kode etik ga boleh ngobrol dekat pasien...apa lg bicar buryk. bisa kena sangsi

2020-03-11

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!