Episode. 07

Sebuah minuman kaleng yang dingin, terulur kearah lelaki bermanik hitam yang tengah duduk di tangga darurat. Dengan segera ia meraih minuman itu, kemudian membuka dan meneguknya. "Gimana.." tanya seseorang lelaki berkacamata bening.

"Apa..?"

"Soal keputusanmu untuk nikahi perempuan itu."

"Dia punya nama, Arumi."

"Ya siapa pun itulah. Gimana kamu serius dengan hal itu?"

"Mau gimana aku terlanjur berjanji sama dia."

"Kalau menurut aku sih, janji mu sama dia itu tidak bisa di hitung janji. Karena kan kamu dalam proses penyelamatan. Harusnya dia ngerti juga itu."

"Dia beda, Ben. Arumi itu sangat sensitif dan menurut kondisinya saat ini kalau dia tahu ucapan itu hanya bohongan dia akan kecewa. Siapa yang tahu dia akan melakukan hal gila lainnya."

"Ya tapi kan, dia itu hanya pasien doang harusnya ngerti juga dong. Kamu kan juga nggak tahu dia aslinya gimana, kalau dia hanya manfaatin kamu doang gimana?"

"Pikiranmu terlalu negatif melulu. Ya semoga tidak seperti itu."

Akhtar meneguk habis minuman yang diberikan oleh Beno, sahabatnya. Tak ada pembicaraan lagi, keduanya sama-sama diam dan tidak tahu mau bicara apa.

"Akhtar..!" panggil Beno. Memecah keheningan diantara mereka.

"Emm."

Beno meneguk minumannya, sebelum ia bertanya. "Bagaimana dengan dia?"

"Dia..?" tanya Akhtar. Ia mencoba mengingat. "Jangan bahas dia. Kamu tahu kan, dia pasti udah bahagia." ucap Akhtar. Ia telah mengerti 'dia' yang dimaksud sahabatnya.

Helaan nafas terdengar dari Beno. "Jadi sudah lupain dia?"

"Masih sulit lah, Ben."

"Kalau masih sulit, bagaimana dengan Arumi?"

"Nggak tahu. Sebenarnya aku juga bingung, waktu itu aku tidak berpikir panjang. Tapi janji sudah terlanjur janji."

"Jadi sekarang nyesel kan?" Akhtar tak menjawab, dia hanya tertunduk lesu.

"Saran ku, jika memang kamu memilih Arumi lebih baik kamu lupakan dia. Jangan sampai kamu menyakiti hati wanita."

"Cih. Sejak kapan kamu mengerti hal hati seperti itu?"

"Nggak tahu. Mungkin sejak aku jatuh cinta sama Dania."

"Hah.? Dania? Teman kita yang belum lama buka caffe itu.?"

"Iya, siapa lagi."

"Sejak kapan, kenapa nggak cerita sih..?"

"Kamu kan sibuk melulu, mondar-mandir keluar negeri terus. Ketemu juga jarang, gimana mau cerita."

"Ya seenggaknya telpon kan bisa atau chat gitu."

"Kayak cewek aja mau curhat di chat. Kamu tahu sendiri, kalau kamu itu sibuk kayak presiden."

"Hahaha. Oke, oke. Jadi bagaimana keterusannya.?"

"Kalau aku kasih tahu, kamu juga bakal kaget."

"Jangan bilang kamu...."

"Jangan nebak yang nggak-nggak. Aku mau nikah sama dia bulan depan."

"Apa..!"

"Tuh, kaget kan."

"Serius..? Hubungan kamu sudah sampe ke situ.?"

"Kapan aku bohong sama kamu. Lagi pula kamu juga mau nikah, masa aku mau nge-jomblo."

"Hahaha... Jangan lupa undang aku di acara kamu nanti, lumayan makan gratis."

Beno merangkul Akhar erat, membuat Akhtar sampai terbatuk-batuk. "Hahaha.. Orang kalau tinggal sendiri memang selalu mikir makan gratis ya."

Mereka terus tertawa dan bercerita sampai jam istirahat habis. Akhtar dan Beno merupakan sahabat sejak jaman masih kuliah dulu. Pertemanannya pun terjalin hingga sekarang. Dan kini mereka juga telah sama-sama bekerja di rumah sakit yang sama. Beno merupakan dokter bedah juga, sama seperti Akhtar. Mereka merasa beruntung dapat bekerja di tempat yang sama.

***

Kesehatan Arumi hari demi hari mulai membaik. Sejak insiden terakhir kali, ia tidak lagi merasa cemas dan berpikir tidak-tidak yang dapat mempengaruhi pemulihannya. Apalagi ia juga merasa bahagia dan bersyukur, karena ada seorang lelaki yang masih mau menerimanya. Meski keadaannya seperti itu.

Kamarin dokter Rafi berkata, jika Arumi sudah diperbolehkan pulang. Kondisinya benar-benar telah membaik. Jadi hari ini setelah mengurus segalanya, Ningrum akan membawa anak semata wayangnya itu untuk pulang kerumah.

Karena tak banyak yang di bawa sebelumnya, jadi Ningrum tak perlu waktu lama untuk selesai berkemas. Ningrum mencoba memapah putrinya untuk turun dan berdiri dari tempat tidur. Meski sudah di katakan sembuh, tubuh Arumi masih lemas.

Arumi berusaha untuk berdiri sendiri, tanpa bantuan ibunya. "Bu, biar Arumi sendiri. Arumi kuat kok." ucap Arumi. Ia memyunggingkan senyuman di bibir tipisnya, agar sang ibu tak khawatir lagi.

Melihat usaha anaknya, Ningrum akhirnya menyerah. Ia langsung meraih tas berisikan pakaian untuk dibawa. "Hati-hati jalannya pelan-pelan dulu." ucap Ningrum. "Bener nggak mau ibu bantu?" tanya Ningrum saat melihat Arumi berjalan dengan tertatih.

"Bener kok, Bu. Nih, Arumi bisa jalan sendiri. Ibu tenang aja ya."

Arumi berjalan dengan tertatih menuju pintu. Saat akan mencapai pintu, tiba-tiba pintu terbuka membuat Arumi terkejut hampir jatuh. Untung saja seseorang dengan sigap dan cepat meraih Arumi agar tak jatuh.

"Tuh kan, ibu bilang apa. Harusnya ibu bantu. Untung ada dokter Akhtar." omel Ningrum

Arumi langsung berdiri tegak dengan bantuan Akhtar. "Makasih, Dok." ucap Arumi

"Kenapa nggak bilang kalau sudah siap. Saya kan bisa bantu." ucap Akhtar.

"Tidak apa-apa. Dokter kan juga sibuk, lagi pula hanya masalah kecil saja." ucap Ningrum. Ia merasa tak enak jika hal kecil selalu dibantu oleh Akhtar.

"Karena sudah siap, yuk saya antar."

"Kita pulang sendiri saja. Dokter Akhtar pasti sibuk juga kan.?" ucap Arumi menolak.

"Tidak apa. Saya tidak sibuk hari ini, ayo."

Pada akhirnya, mereka pun diantar pulang oleh Akhtar. Sepanjang koridor, banyak pasang mata yang memperhatikan mereka hingga membuat Arumi resah dan takut. Arumi mempererat pelukan tangannya di lengan Akhtar.

Akhtar mencoba menenangkan Arumi, ia seolah mengerti apa yang di rasakannya. "Jangan perhatikan mereka cukup perhatikan saya saja." ucap Akhtar.

Mereka saling memandang dan tersenyum. Menurut Arumi, hanya Akhtar lah yang memang yang mampu menenangkannya. Sebenarnya bagi Arumi, Akhtar itu seperti obat penenang. Arumi memang masih belum sepenuhnya tersadar akan perasaannya. Karena jika menyangkut perasaan, dihatinya tentu hanya ada Gilang seorang.

Begitu pun Akhtar, menurutnya janji yang telah di buat itu memang harus ditepati. Karena dia bukanlah orang yang ingkar janji. Jika bertanya hati, tentu hatinya masih untuk dia.

Entah ini merupakan kesalah atau sebuah jalan bagi mereka untuk membuka lembaran baru agar menemukan jodohnya. Berjodoh atau tidaknya hanya Tuhan-lah yang tahu, manusia hanya berusaha saja. Lalu, apakah Akhtar merupakan jodoh terakhir untuk Arumi atau sebaliknya?

***

Terpopuler

Comments

Dzikri Zahra

Dzikri Zahra

takut Arumi kecewa suatu saat

2020-03-23

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!