Mahran Elio Valtor

"Nona tolong buka pintunya! Nona bahkan belum makan dari pagi," desak Bi Inah.

"Astaga. Bi Inah gak boleh tahu kamu di sini, bisa gawat," ujar Rayinka panik. Dia menoleh ke sana kemari mencari tempat persembunyian untuk Mahran. Tapi dimana?

Tepat ketika ia menoleh ke bawah ranjangnya yang dilapisi sprei menjuntai ke tanah membuat Rayinka tersenyum. Gadis bermata biru itu langsung menarik tangan Mahran dan memaksanya masuk ke kolong ranjang.

"Apa-apaan ini, Ray? Kamu berani kurang ajar sama kaisar, hah?!"

"Ssstttttt.... bapak kaisar, dengan hormat saya meminta bapak untuk masuk ke sana agar tidak terjadi hal-hal mengerikan lainnya, oke?"

"Tapi... "

"Udahhh, cepet masuk. Kalau gak mau ntar aku gak bakal bantuin kamu cari barang penting itu, gimana? Ayo cepet masuk, Mahran Elio Valtor"

Desakan Rayinka membuat Mahran mau tak mau hanya bisa mengalah. Dia datang ke dunia ini begitu sulit, mana mungkin ia harus menyerah begitu saja.

"Baiklah, anggap saja ini sebagai bentuk usahaku demi sepucuk harapan penyelamat negeriku," batin Mahran sembari menghela napas berat.

Usai Mahran mengikuti instruksi Rayinka, gadis itu kemudian membuka pintu sebelum didobrak oleh satpam rumah. Lalu ia melihat Bi Inah mematung dengan penuh kekhawatiran.

"Nona! Nona tidak papa, kan?" ujar Bi Inah lalu memeluknya. Pelukan itu membuat sebuah rasa hangat menjalar di hati Rayinka. Pelukan penuh kasih.

"Kenapa aku lupa kalau ada Bi Inah yang akan selalu memperhatikan aku?" batinnya sendu.

"Nona pasti kelaparan, kan? Makan dulu ya, Non?" ujar Bi Inah sembari melepas pelukannya.

"Bibi taruh meja aja. Rayinka makan setelah ini," jawab Rayinka lembut.

"Nona jangan pernah merasa sendiri ya, Non. Ada Bi Inah yang bakal terus dengerin cerita Nona. Jadi kalau Nona sedih, cerita aja sama Bibi, ya?"

Mendengar pernyataan itu membuat pertahanan hatinya rapuh. Matanya berkaca-kaca. Ia memeluk Bi Inah dengan erat. Selama ini hanya pelayan itu yang memahami Rayinka. Dia merawat Rayinka seperti putrinya sendiri. Bi Inah pernah memiliki putri dulu. Namun ketika usianya menjelang tujuh tahun, putrinya meninggal karena sebuah penyakit. Maka sejak itu, Bi Inah makin menyayangi Rayinka yang jarang mendapat perhatian kedua orangnya.

"Makasih ya, Bi. Rayinka pasti akan cerita kalau waktunya tepat. Hari ini Rayinka butuh waktu sendiri dulu," ujarnya sembari melepas pelukan terhadap Bi Inah.

Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum, lalu meletakkan makanan di meja, kemudian pamit pada Nona yang sudah ia anggap putrinya sendiri.

"Oh ya, Non. Saya hampir lupa," ujar Bi Inah sembari kembali berbalik ke hadapan Rayinka.

"Ini tadi ada teman Nona yang datang. Katanya Nona ndak bisa dihubungi, jadi dia menitipkan surat ke bibi. Kalau ndak salah namanya Den Dimas," lanjut Bi Inah sembari memberikan surat dengan amplop coklat.

Rayinka mengernyitkan dahi, jadi nomor tidak dikenal yang sedari tadi mengganggu kesendirian Rayinka adalah milik putra Mateo. Aneh, Rayinka tiidak merasa mengenal dekat putra bungsu Mateo itu. Tapi kenapa ia tampak sangat peduli? Bahkan di medsos X-nya pun nama Dimas Mateo selalu hadir di komentarnya usai kejadian malam pesta itu.

"Oke, Bi. Makasih ya," ujarnya. Dia akan melihat isi surat itu nanti, usai urusannya dengan Mahran selesai.

Bi Inah langsung bergegas pergi usai Rayinka mengambil surat itu. Hatinya cukup lega karena Bi Inah tidak benar-benar mendengar suara apapun dari balik kamarnya. Perihal pertanyaan sebelumnya, pasti itu hanya trik Bi Inah saja agar Rayinka membuka pintu kamarnya.

"Kamu boleh keluar," ujar Rayinka.

"Argh, astaga," celetuk Mahran sembari membersihkan bajunya dari sawang-sawamg di bawah kasur.

"Kamu itu cewek bukan sih? Masak di bawah kasur banyak sawang-sawang gitu," protes Mahran sembari mengebaskan tangan ke bajunya.

"Yah, biasanya sih tiap hari ada pembantu yang bersihin sampai kinclong. Cuma seminggu ini aku ga ngizinin siapapun masuk kamar karena pengen fokus nulis lagu," jawab Rayinka santai.

"Ya masak gak kamu bersihin sendiri, Ray?"

"Ya aku bersihin luarnya doang. Lagian kan aku fokus nulis lagu mana sempat bersih-bersih!"

"Kamunya aja males!"

"Bawel banget deh. Dari pada ribut, mending kamu pergi aja gih ke duniamu!" kesal Rayinka.

"Gak bisa. Aku cuma bisa kembali ketika senja datang," Mahran lalu merebahkan dirinya di atas kasur Rayinka.

"Terus maksudnya malam ini kamu tidur di sini? Di kamar aku?!"

"Yaa terpaksa gitu, Ray. Atau kamu bisa bawa aku keluar rumah terus nyariin aku tempat tinggal?!"

"Astaga, Mahran. Apa semua penduduk Aerheria merepotkan begini? kamu kan punya kekuatan magis atau apalah itu. Tinggal menghilang aja, teleportasi kayak di drama-drama itu masak gak bisa sih?!" cercah Rayinka makin kesal.

"Ray, aku gak bisa berteleportasi tanpa adanya senja. Aku dan kamu terhubung ke sini pun karena musik yang kamu mainkan ketika senja," jelas Mahran tetap tenang.

"Jadi sekarang, biarkan aku istirahat. Tubuhku masih belum pulih seutuhnya," lanjutnya.

"Gak ada! Bangun gak? Kasur ini cuma milik aku. Kamu tidur aja di balkon jendela sana!" Rayinka menarik baju Mahran agar bangun dari kasurnya. Ia sungguh tidak suka jika barang miliknya disentuh orang lain.

"Astaga aku juga bisa ngerasain dingin loh, Ray. Masak kamu tega nyuruh aku di luar?"

"Bodo amat, Mahran! Aku ga peduli. Yang penting kamu jangan tidur di kasur aku. Tidur sofa aja sana!" ujar Rayinka yang masih kesal.

"Lagian kamu minum aja itu rsmuannya biar pulih seutuhnya!"

"Ray, kalau ramuan itu ada banyak, aku pasti udah bawa satu kantong tas penuh untuk berjaga-jaga. Masalahnya ramuan itu terbatas. Dan sialnya, aku cuma bawa satu. Satu ramuan yang sudah kamu teguk," Mahran menatap mata Rayinka lembut. Dia berkata jujur, sedari tadi ia memilih bermeditasi untuk memulihkan diri meski harus berjam-jam. Obat itu memang mujarab, lebih baik daripada kekuatan memulihkan diri para penduduk Aetheria.

Mendengar pengakuan Mahran membuat Rayinka kasihan. Ia bahkan lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri kala sedang di masa kritis. Hatinya tiba-tiba menjadi hangat, rasanya begitu menyenangkan jika diperhatikan oleh orang lain.

"Jad gimana? udah boleh tidur di kasur?" tanya Mahran membuyarkan lamunan Rayinka.

"Ck, ikut aku!"

Atas rasa empati yang kini mengalir teduh di hatinya membuat Rayinka dengan sukarela membawa Mahran ke perpustakaan kamarnya. Ia menekan sebuah tombol di balik lukisan besar hingga terbukalah lemari yang awalnya berfungsi untuk menyimpan beberapa boneka. Lalu sebuah ruangan epik dengan susunan buku-buku terpapar indah.

Ya, kamar Rayinka memang memiliki ruang rahasia yang hanya bisa diakses olehnya. Aditama dan istrinya memang menyediakan semua itu untuk tempat belajar Rayinka. Namun beberapa waktu lalu, Rayinka meminta para pelayan rumah untuk. memasukkan sofa, meja, hingga kasur untuk membuatnya lebih nyaman–tentu tanpa sepengetahuan Mami dan Papinya.

"Tuh di sana ada kasur, tidur sana aja, paham?"

Mahran hanya menganggu sumringah. Ia melihat-lihat ruangan itu dengan mata berbinar. Buku-buku di dalam ruangan itu sungguh menarik hatinya untuk bisa melahap banyak ilmu darinya.

"Besok pagi aku sekolah, pulang jam 3 sore. Aku pasti sudah sampai di rumah saat senja tiba," jelas Rayinka.

"Baiklah, apa aku boleh membaca buku-buku di sini?"

Rayinka mengangguk, ia berbalik hendak kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

"Tunggu, Ray!"

Gadis muda itu lalu menoleh, "Ada apa lagi?", batinnya sanksi.

" Itu surat dari pacarmu, ya?" tanya Mahran membuat Rayinka kaget tak karuan. Bagaimana bisa Dimas dikatakan pacarnya?!

...****************...

Terpopuler

Comments

Amelia

Amelia

ah kepo juga tuh anak 🙄🙄

2024-04-30

1

Amelia

Amelia

tega bener sih rayinka 😭😭

2024-04-30

1

Amelia

Amelia

kok di kolong, di dalam lemari aja 👍👍

2024-04-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!