Tok Tok Tok
"Nona, saya bawakan makanan. Ini makanan kesukaan Nona," ujar Bi Inah dari luar kamar Rayinka.
Gadis berambut pendek itu baru saja selesai mandi usai bangun dari tidur pilunya. Kehadiran Mahran dalam mimpinya terasa nyata, dan perkataan pemuda itu... entah bagaimana membuat hati Rayinka sedikit tenang.
"Non... Boleh dibuka dulu pintunya? Bibi sekalian mau ngobrol.. " ujar Bi Inah lagi.
Rayinka tetap tak memberi tanggapan apapun. Hatinya masih kelu, ia tidak bisa memungkiri bahwa ia sedang marah pada seluruh orang yang ada di rumah ini, termasuk Bi Inah. Tak ada seorang pun yang mau mendukung gadis bermata biru itu. Bahkan Bi Inah pun, meski telah merawatnya sejak kecil, tapi tetap tak akan bisa berkutik terhadap perintah Aditama.
Tapi bukan berarti Rayinka menyalahkan semua pelayannya. Meski di fase sangat terluka, ia juga bisa paham, pelayannya berada di sini untuk bekerja. Mereka butuh gaji untuk memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga. Tidak terbayang jika mereka harus dipecat hanya gara-gara menolak titah Aditama, bukan? Mau makan apa keluarga mereka nanti? Sedangkan Rayinka masih anak gadis berusia delapan belas tahun yang tak bisa memberi gaji untuk mereka.
Jadi Rayinka paham betul, bahwa ia tidak bisa menyalahkan para pelayan yang telah melakukan tugas mereka dengan baik, yakni mengikuti titah Aditama. Hanya saja.. Rayinka merasa sesak sebab ia benar-benar sendiri di tempat itu. Ia tak memiliki seorang pun yang bisa membelanya, kecuali dirinya sendiri.
"Aku harus lebih kuat dari ini. Jika lemah begini, pak tua itu akan terus mengusikku," ujar Rayinka pelan.
Maka ia segera berganti pakaian, membuka ruang perpustakaannya. Ia membaca beberapa buku tentang bisnis hiburan di sana. Lalu tanpa sengaja ia menemukan sebuah buku yang tergeletak di meja, padahal harusnya semua buku rapi di rak.
Ia mengamati buku itu, di tengah-tengah buku ada sebuah penanda sehelai daun berwarna emas, 'Sejak kapan aku memiliki penanda seperti ini?', batin Rayinka.
"Tapi daun ini tidak terasa asing... Oh aku tau!"
"Ini sama dengan salah satu motif di baju Mahran dulu. Ah ya aku baru ingat, orang terakhir yang menjamah tempat ini kan dia. Astaga, dia meninggalkan barang seindah ini di sini?!"
Tanpa memikirkan hal lain lagi, Rayinka membaca bagian buku yang Mahran beri penanda itu. Sampai di paragraf terakhir halaman itu, Rayinka mulai berkaca-kaca.
'Musik itu bukan tentang alat, melainkan jiwa. Nada-nada yang tercipta, melodi yang mengalun, semuanya akan indah selama kita memberikan kehadiran cinta di sana. Maka siapapun yang tidak memiliki alat musik, bukan berarti mereka tidak bisa bersama musik. Sebab musik itu ada di hati, bukan di alat."
Kalimat itu membuat Rayinka ingat dengan mimpinya beberapa waktu lalu. Ia menangis sembari memeluk buku itu. Bukankah ini sebuah jawaban atas kelunya? Bukankah ini menjadi sebuah pelukan Tuhan untuknya?
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Rayinka semakin tergugu. Ia telah keliru, selama ini ia tidak pernah sendiri. Sebab Tuhan selalu membersamainya, dan Ia berikan musik untuk terus memeluknya. Sedangkan Mahran? Dia hadiah istimewa yang dikirimkan untuk Rayinka.
Usai menangis cukup lama, Rayinka meneguhkan hatinya. Mulai saat ini, ia akan menjadi lebih kuat, jauh lebih kuat dari pada dulu–saat ia juga bertekad jadi lebih kuat sebab mengetahui dirinya tidak lebih penting dari pada harta di hadapan orang tuanya.
"Pi, Mi, sikap kalian begini bukan malah membuatku tunduk, tapi semakin membuatku ingin menentang untuk membuktikan diri. Kalian kira Rayinka akan patuh dengan segala rantai yang kalian buat secara paksa? Rayinka sudah berusaha berdamai dengan rantai kalian. Tapi makin hari, rantai yang kalian ikat makin kencang hingga membuat seluruh tubuh Ray terluka. Kita lihat saja, Mi, Pi, siapa yang akan menyesal dengan perbuatannya."
Rayinka mengucapkan seluruh pernyataan itu dengan hati teguh. Selama ini ia masih berusaha mengikuti perkataan orang tuanya sembari menahan luka. Tapi jika sudah sampai tahap ini, ia tidak lagi bisa. Ia harus merubah rencana, bukan? Tidak lagi untuk mematuhi aturan, melainkan menciptakan aturan untuk membuat kedua orang tuanya menyadari kesalahan yang mereka perbuat pada Rayinka.
"Yosh, besok waktunya beli alat musik baru!"
Gelegar semangat cukup membara di hati Rayinka. Ia mulai menyusun rencana untuk menjadi lebih kuat. Meski tidak mudah, ia pasti akan melewatinya.
Sementara di balik pintu kamar Rayinka, Bi Inah masih setia menunggu. Ia tahu, keputusan Aditama pasti akan menyakiti Rayinka. Tapi ia tidak punya pilihan. Hidup keluarga Bi Inah di desa juga rumit. Ia tidak bisa berhenti dari pekerjaan itu saat ini.
Tapi di lain sisi, ia merasa begitu bersalah pada gadis penyuka senja itu. Gadis yang ia rawat sejak kecil sebab orang tuanya jarang memberi perhatian. Ia tahu Rayinka pasti juga marah kepadanya. Pelayan setengah baya itu mengira masih bisa menghibur Rayinka, tapi sampai petang ini, gadis berambut pendek itu bahkan tidak mau membukakan pintu.
"Non, nona baik-baik saja kan di sana??" paraunya sembari mengetuk pintu lagi. Tapi nihil... yang ditunggu malah bergelut dengan buku-buku di perpustakaan, menyusun rencana baru yang ia harap mampu menjadi tangga keberhasilannya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Bilqies
tega banget yaa kedua orang tua Rere....
bener bener jahat 😡
2024-05-11
1