Hampir satu jam Mia menyendiri di taman itu. Sesekali matanya meneteskan air bening yang membasahi kedua pipinya.
Hatinya kali ini kembali rapuh. Seakan tidak ada yang bisa dia lakukan lagi.
" Karena dirimu hatiku hancur. Hidupku hancur. Semua hancur."
" Sekarang lihatlah. Apa yang kamu lakukan telah berhasil menghancurkan hidupku. Semoga kamu puas. Ini kan yang kamu kamu mau? "
Kesalnya mengingat Beni yang tega memberinya luka atas pernikahan itu.
Mia menangis tanpa suara dengan semua yang ada dalam hatinya. Bibirnya seakan terasa kaku meski hanya sekedar berteriak meluapkan semua yang membebani batinnya.
" Apa hidupku akan terus bersama dengan air mata ini ya Allah. Apa hanya air mata ini yang bisa mengerti betapa sakitnya hatiku. Tolonglah ya Allah, beri aku cara untuk keluar dari derita ini. " Batin Mia terus terisak.
Sementara itu, di rumah sakit, Nucha yang baru saja di pindahkan ke ruang rawat inap atas permintaan Nyonya Melin dan dokter Anugrah, hanya bisa pasrah menuruti kehendak sang ibu.
Mau tidak mau Nucha harus opname untuk beberapa hari ke depan hingga kondisinya benar benar pulih.
Namun bukannya memikirkan kondisinya, kini hatinya justru terasa gundah gulana teringat sang istri. Nucha merasa seperti terkurung dalam sepi. Istrinya kini sendirian di kontrakan tanpa dia.
Tidak bisa berbuat apa apa.
Tidak mungkin pula dia meminta sang istri menginap di rumah sakit sementara kedua orang tuanya berada di sana.
Terlebih ibunya menentang hubungan mereka. Pasti akan menimbulkan masalah baru lagi.
Meminta bantuan sang Ayah yang selalu mendukung apapun inginnya, manalah mungkin. Dokter Anugrah tidak mengetahui pernikahannya.
Dan juga di sana ada Luna dan Yuna. Sungguh rasa pusing di kepala Nucha semakin bertambah karena masalah ini.
" Kenapa dia tidak membalas pesan ku. Apa dia sama sekali gak peduli? " Gumam Nucha di selah selah rasa gundahnya.
*
Waktu kian berlalu. Resah dan gelisah kini menemani sepinya. Bahkan kehadiran siapapun di ruang perawatannya, tak mampu mengalihkan.
Nucha bingung harus meminta bantuan siapa. Karena memang pernikahannya tidak ada siapa pun yang tahu selain bi Tuti.
Dirinya sungguh sangat mengkhawatirkan istrinya yang tinggal di kontrakan tanpa dirinya.
Sementara itu, di taman, Mia yang masih tertunduk terpuruk, kini perlahan menegakkan tubuhnya.
Menghapus sisa air mata yang masih melekat di kedua pipinya dengan kedua telapak tangannya.
Saat bersamaan, dering ponsel yang berada di dalam tas selempangnya pun berdering.
Perlahan tangannya merogoh ponsel di dalam tasnya. Sebuah nama yang dia sematkan di sana terpampang jelas di layar ponselnya.
Mia menghembuskan nafas kasar sembari membuang muka ke sembarang arah. Kesal? jelas hatinya terasa kesal.
Mengabaikan? Ya, Mia memutuskan untuk mengabaikan. Bahkan dia menonaktifkan ponselnya dan kembali menyimpannya di dalam tas selempangnya.
Melanjutkan kesendirian dalam lamunan.
**
Kini hari telah merambat naik hingga menghadirkan senja yang indah di ujung kota. Bahkan cahaya apapun yang hadir sore itu, belum bisa menyaingi indah sinarnya.
Namun suasana hati kedua insan yang di paksa hidup dalam satu ikatan itu, tak mampu melihat semua itu dengan rasa. Sebab terasa ada yang hilang dan menyisakan sakit.
Entah apa yang kini menjadi sebab yang pasti. Apakah karena telah tumbuhnya sebuah rasa yang tidak di sadari. Ataukah karena kenyataan pahit yang masih bertahan di sana.
***
Dua hari berlalu. Tidak seperti biasanya saat di kontrakan, Mia yang biasanya bangun dari tidurnya pukul 05 pagi, pasti langsung di sibukkan dengan segala aktivitas sebelum ke kampus, kini telah berbeda.
Meski bangun pukul 07.30, Mia terlihat santai.
Bahkan sarapan pun hanya dengan sepotong roti coklat dan teh hangat. Karena memang pagi ini Mia tidak ada semangat meski sekedar masak sarapan pagi.
Sudah sejak kemarin dia mencoba mencari pekerjaan baru untuk menyambung hidup. Namun belum juga ada keberuntungan.
Kini hidupnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Cuti kuliah, berhenti kerja, sungguh beban baru yang di rasa semakin menghimpit.
Beruntung tunggakan kontrakan telah di lunasi oleh Nucha.
Di saat Mia sedang fokus dengan sarapan di tangannya, tiba tiba pintu kontrakan di dorong paksa dari arah luar hingga terbuka lebar.
Mia yang sempat terkejut, mendadak terpaku ketika melihat seseorang sedang berdiri tegak dengan raut wajah yang sulit di artikan di ambang pintu.
Sedangkan Mia sendiri hampir tidak dapat mengekspresikan wajahnya.
" Kamu disini dengan santainya? " Ucap Nucha dengan kecewa.
Nucha yang sempat di rawat selama dua hari, kini telah pulih dan di ijinkan pulang. Dengan di antar kedua orang tuanya.
Namun karena sang istri kini memilih tinggal di kontrakan, Nucha terpaksa menemui istrinya setelah kedua orang tuanya pulang ke kediaman mereka.
Mendengar ucapan Nucha, Mia meletakkan roti dan gelas berisi teh di tangannya kembali di atas meja dengan pelan.
Dengan raut wajah datar, Nucha dapat merasakan bahwa sang istri pasti keberatan dengan ucapannya tadi.
Namun kali ini Nucha tidak peduli. Sebab dia merasa istrinya sudah sangat keterlaluan.
Mia kembali menatap wajah Nucha dengan dingin.
" Mau apa kesini?" Tanya Mia setelah beberapa saat memilih diam.
Nucha mengerutkan keningnya tak percaya. Bisa bisanya Mia bertanya sesuatu yang mengiris hati.
Dan sekarang Nucha tahu bahwa istri cantiknya itu tahu kondisinya namun sama sekali tidak peduli.
" Aku suami kamu Mia. Masih nanya kenapa aku kesini? Dan " Ucap Nucha dengan nada menekan.
" Oh iya. Kita pernah menikah." Ucap Mia memotong sembari tersenyum tipis seolah sedang mengejek.
Nucha mengerutkan keningnya kembali dengan tatapan tak percaya. Apa yang sedang terjadi pada istrinya itu. Meski hubungan mereka tidak pernah harmonis, tapi kali ini Mia benar benar tidak dia kenali.
" Mia. "
" Sebaiknya anda pulang ke rumah anda dokter Nucha Ardian. Kenapa malah kesini. " Celetuk Mia kembali memotong ucapan Nucha.
Batas sabar Nucha akhirnya menipis. Nucha maju beberapa langkah hingga tangannya bisa meraih tubuh Mia dan mendorongnya hingga berbenturan dengan sandaran sofa.
Tentu saja tindakan Nucha itu mengejutkan Mia. Mendadak rasa takut menyelimuti dirinya.
" Kamu jangan keterlaluan Mia. Saya masih suami sah kamu. Saya tidak keberatan kamu mengabaikan saya pada saat saya sakit sekalipun. Tapi saya tidak suka kamu injak harga diri saya sebagai suami. " Ucap Nucha penuh amarah.
Nucha bertindak seperti itu bukan maksud menyakiti Mia. Nucha hanya ingin menyadarkan Mia akan hubungan meraka dan tidak membuatnya tersinggung.
" Saya bukan mengabaikan anda. Tapi saya tau anda tidak butuh saya di sana." Ucap Mia mencoba membela diri di tengah ketakutannya.
Nucha mengerutkan keningnya.
" Apa maksud kamu. " Tanya Nucha meminta penjelasan.
Mia berusaha mendorong tubuh Nucha yang terus menghimpit nya. Namun tenaganya kalah besar dengan Nucha.
Akhirnya Mia memilih diam tak bergerak setelah lelah melawan tenaga Nucha. Hanya tatapan matanya yang mencoba mengisyaratkan permohonan.
" Lepas. Bahu aku sakit kamu tekan terus dengan keras. " Ucap Mia memohon.
Mata Mia bahkan mulai berkaca kaca. Dengan tatapan memohon, dia berusaha menahan rasa sakit. Sedangkan Nucha tidak menyadari bahwa tindakannya telah menyakiti istrinya.
Sedangkan Mia sendiri sedih bukan karena rasa sakit di tubuhnya saja. Tapi lebih ke hatinya karena melihat sikap Nucha.
Perlahan Nucha menarik diri. Ucapan dan tatapan Mia justru melukai hatinya. Nucha merutuki tindakannya yang kasar itu.
" Maaf " lirih Nucha menyesali
Mia menyadari ada rasa aneh yang timbul di hatinya saat ini. Namun dia tidak bisa menafsirkan rasa apakah itu.
Yang jelas, ketika mengingat pada saat dirinya melihat perlakuan manis Yuna pada Nucha, hatinya terasa kesal.
" Aku kesana saat baca pesan kamu. Tapi saat aku lihat kamu baik baik saja dan sudah ada yang menemani, aku memilih pulang. " Ucap Mia jujur.
Nucha menatap manik mata Mia. Nucha tidak menyangka Mia ternyata menemuinya di rumah sakit saat dirinya membutuhkan istrinya itu.
Nucha membuang nafas kasar mendengar ucapan Mia. Dia ingat saat itu Yuna terus menemaninya sepanjang hari. Pasti yang di lihat Mia saat itu adalah Yuna.
Dan Nucha sadar bahwa Mia sudah mengenal siapa Yuna.
"Kenapa gak nemuin aku dulu? " Tanya Nucha menyayangkan.
Mata mereka kini beradu pandang. Nucha dengan tatapan penuh kasih. Sedangkan Mia, entah apa arti tatapannya.
Andai Mia menghampirinya saat itu, ceritanya pasti akan berbeda. Meski Nucha tahu Yuna tidak terima.
" Sudahlah. Yang penting sekarang kamu sudah sehat dan sudah bisa pulang." Ucap Mia memilih menyudahi sembari membuang mukanya ke sembarang arah untuk menghindari tatapan Nucha.
"Maafkan aku. " Ucap Nucha tulus.
" Gak apa apa. Sekarang kamu pulanglah ke rumah. Istirahat di sana biar cepat pulih lagi. Disini gak ada tempat tidur untuk kamu istirahat. " Ucap Mia pelan mencoba meminta pengertian Nucha.
Lagi pula Mia masih ingin menyendiri saat ini. Ada banyak hal yang harus dia pikirkan menyangkut hidup dan masa depannya nanti.
𝘽𝙀𝙍𝙎𝘼𝙈𝘽𝙐𝙉𝙂.
Terima Kasih telah mampir disini.. 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments