ISI HATI MIA

Menjelang subuh, Mia terbangun lebih dahulu dari Nucha yang biasa bangun lebih awal.

Mia tidak peduli lagi siapa yang saat ini sedang memeluknya semalaman. Sebab Nucha selalu melakukan itu sejak mereka tidur seranjang.

Yang terpenting Nucha adalah lelaki halal meski dirinya tidak percaya lagi pada cinta.

Hatinya memilih untuk menutup rasa itu. Bukan trauma akan hubungan sebelumnya. Akan tetapi baginya cinta itu hanyalah alat untuk memperdaya perasaan manusia hingga berakhir ke dalam kehancuran yang abadi seperti yang dia rasakan saat ini.

Dan saat ini, hatinya mengutuk rasa itu. Rasa cinta yang pernah ada di hatinya.

Perlahan Mia menurunkan kakinya dari ranjang. Berniat ke kamar mandi untuk wudhu. Namun saat dia berdiri, tubuhnya ambruk ke lantai hingga membuat Nucha terbangun karena terusik.

Bergegas Nucha bangkit dari ranjang dan menghampiri Mia yang meringis memegang kepalanya.

" Kamu kenapa? " Tanya Nucha dengan panik.

Seperti biasa. Mia tetap diam tanpa suara. Hingga akhirnya Nucha mengangkat tubuh ramping itu naik ke atas ranjang.

Tanpa menunggu apapun. Nucha bergegas ke ruangan kerjanya yang berada di samping kamar pribadinya. Tak butuh waktu lama, dia pun kembali dengan peralatan medisnya.

" Saya tidak apa apa." Tolak Mia saat melihat Nucha duduk di sampingnya yang terbaring.

" Badan kamu hangat. Muka kamu juga pucat. Saya harus memastikan kondisi kamu terlebih dahulu. " Tegas Nucha tidak mau di bantah.

" Tapi saya tidak mau. Saya baik baik saja. Anda tidak perlu berlebihan. " Tolak Mia tak kalah tegas.

Melihat sikap Mia yang keras kepala, membuat Nucha menghela nafas kasar.

" Dengan cara seperti ini tidak akan membuat kamu mati. Ini akan lebih menyakitkan dari apa yang kamu rasakan dalam hati kamu. " Ucap Nucha tak terduga.

Membuat Mia menatap wajah Nucha dengan penuh kebencian.

" Kamu boleh membenci saya. Tapi saya akan tetap menjaga kamu seperti janji saya pada Beni. " Ucap Nucha lagi tanpa peduli akan tatapan Mia yang kian tajam.

" Jangan menatap saya seperti itu. Kamu jangan beranggapan hanya dirimu yang terluka. Bukan kamu satu satunya yang hancur disini. " Ucap Nucha membalas tatapan tajam Mia.

Membuat tatapan Mia semakin tajam penuh kemarahan.

Dan sekali lagi Nucha harus melihat air mata Mia jatuh melewati pipi mulusnya tanpa terhalang. Membuat Nucha memalingkan pandangannya ke arah lain.

Sungguh air mata wanitalah yang menjadi kelemahan seorang dokter ganteng itu.

Nucha akhirnya mengalah untuk tidak memeriksa kondisi Mia seperti ingin Mia. Dia memilih ke kamar mandi untuk wudhu sebab adzan subuh pun telah berkumandang dengan merdu.

Sedangkan Mia memilih istrahat sebab kepalanya semakin terasa pusing.

**

Di pagi yang cerah, Nucha sedang berada di tepi kolam dengan segelas teh hangat dan koran di tangannya.

Sedangkan Mia yang sejak tadi sudah terbangun dari tidurnya, semakin tak kuasa menahan rasa pusing yang menyerangnya.

Bahkan tubuhnya semakin hangat. Wajahnya semakin pucat.

Dengan posisi duduk bersandar, Mia meringis memegang kepalanya. Tanpa di pungkiri lagi, sisi manjanya sebagai seorang wanita pun muncul secara alami.

Mia menangis lirih. Saat ini dia sungguh butuh sosok untuknya bermanja. Sedangkan dia sadar dia tidak punya siapa siapa lagi saat ini.

Tepat detik itu, pintu kamar pun terbuka dari arah luar. Dan yang muncul dari balik pintu tidak lain adalah Nucha.

Nucha tak lantas langsung masuk. Dia memilih bersandar di sisi pintu masuk dan mengamati Mia dari arahnya berada.

Nucha sendiri bingung harus mengambil sikap apa agar Mia sedikit menurutinya.

Dengan menghembuskan nafas kasar, Nucha perlahan melangkah masuk dan duduk di sisi ranjang tepat di depan Mia duduk.

Tak peduli dengan penolakan, Nucha meraih tubuh ramping itu dalam dekapannya.

" Tutup mata kamu agar kamu tidak melihat siapa yang saat ini sedang memeluk kamu. Bayangkan yang memelukmu saat ini adalah orang yng kamu inginkan. " Ucap Nucha saat Mia berusaha lepas dari dekapannya.

Saat itu juga tangis Mia pecah. Nucha paham sehingga dia semakin mengeratkan pelukannya dan membiarkan Mia meluapkan semuanya lewat tangisannya hingga selesai.

Tepat saat itu, bi Tuti pun muncul dari balik pintu dengan sarapan di tangannya. Bingung antara masuk atau tidak, bi Tuti memilih mematung di depan pintu yang tidak terkunci itu.

" Sudah lega? " Tanya Nucha lembut sembari mengelus puncak kepala Mia yang masih berada di pelukannya.

Tidak ada respon, Nucha melerai dekapannya. Tanpa Nucha sadari sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyum saat melihat wajah Mia dari arah yang begitu dekat.

Perlahan tangannya terangkat menghapus jejak air mata di pipi cantik Mia. Dan semua itu di saksikan langsung oleh bi Tuti dari arah pintu dengan jelas.

" Ekhem. Mas Nucha, sarapan non Mia sudah datang. " Ucap bi Tuti mengejutkan keduanya.

" Oh iya bi sini bi. " Pinta Nucha segera.

Dengan sigap Nucha meraih semangkuk bubur dari tangan bi Tuti dan mengaduknya dengan pelan. Semua itu tak luput dari penglihatan Mia maupun bi Tuti.

" Mau makan sendiri atau di suapin? " Tawar Nucha tersenyum menatap Mia.

Dengan cepat Mia meraih mangkuk di tangan Nucha dan memilih untuk makan sendiri. Nucha tersenyum gemas melihat tingkah Mia.

" Setelah sarapan, jangan lupa minum obat ya? Nanti saya ambilkan dulu obatnya. Badan kamu makin hangat, ini tidak baik baik saja seperti yang kamu katakan. " Ucap Nucha sengaja mengungkit.

Mia tidak peduli. Dia lebih fokus menatap sarapan di tangannya dari pada menanggapi ucapan Nucha. Ya begitulah Mia saat ini.

Mendengar ucapan Nucha, membuat bi Tuti menatap Nucha dengan heran.

" Loh mas Nucha gak ke rumah sakit? obatnya dimana biar bibi aja yang ambil. Ini sudah siang mas. Sarapan juga sudah siap dari tadi di meja. " Ucap bi Tuti heran kenapa sang majikan masih betah di rumah bahkan hanya memakai pakaian santai.

" Nucha juga sedang merawat pasien bi di rumah. Jadi hari ini Nucha di rumah aja. " Ucapnya santai sembari berlalu dari kamar.

Sedangkan bi Tuti hanya mengikuti sang majikan dengan arah pandangnya.

" Aneh. Sejak kapan betah di rumah seperti ini." Keluh bi Tuti menatap punggung Nucha yang mulai menghilang dari balik pintu.

" Eh non. Maaf non. Bibi gemas aja sama mas Nucha." Jelas bi Tuti menatap Mia yang sejak tadi memperhatikannya.

" Bibi gak usah bergosip bi. Nucha tau bibi sedang ngegosip soal Nucha kan? " Ucap Nucha yang muncul tiba tiba membuat bi Tuti terkejut.

" Haduuhh mas Nucha bikin jantung bibi copot aja. " Keluh bi Tuti gemas.

" Tuh kan benar kan bi Tuti gosipin Nucha? " Ucap Nucha memicingkan mata pada bi Tuti.

" Mana ada. Ya sudah, bibi ke belakang dulu. Masih banyak kerjaan. " Elak bi Tuti bergegas pergi dari hadapan keduanya.

Membuat Nucha menggelengkan kepala melihat tingkah asisten rumahnya itu. Sedangkan Mia sendiri memilih diam tak peduli. Terlebih kepalanya semakin terasa pusing.

Karena pusing di kepalanya semakin terasa, Mia memilih menyandarkan kepalanya di sisi ranjang dengan mata terpejam.

" Jika aku tau sesakit ini, aku tidak akan menyerahkan hatiku sepenuhnya. Perbuatanmu sulit untukku lupakan. Bukan hanya hatiku yang kau hancurkan. Tapi seluruh hidupku telah kau rampas tanpa rasa bersalah. " Ucap Mia

Nucha mengerutkan keningnya menatap wajah Mia.

" Apa dia sadar apa yang dia ucapkan? Apa ini isi hatinya yang selama ini dia pendam di hadapanku? " Monolog Nucha.

" Astaga Beni. Apa yang harus aku katakan padanya. Ternyata sesakit itu yang dia alami." Monolognya lagi.

" Mas Nucha, handphone mas Nucha dari tadi bunyi terus. " Ucap bi Tuti tiba tiba muncul lagi dengan ponsel Nucha di tangannya.

Nucha baru sadar ponselnya sejak tadi dia biarkan di meja di tepi kolam renang.

" Makasih bi. " Ucap Nucha meraih ponselnya dan menggeser tombol hijau yang berada di layar ponsel dengan segera.

Nucha melirik ke arah Mia beberapa kali saat menerima panggilan dari seberang ponselnya. Sesekali juga Nucha mengusap wajahnya dengan kasar.

" Baiklah tante. Waalaikumsalam. Terima kasih sudah menghubungi saya." Ucap Nucha di ujang panggilan dan menutup ponselnya.

" Mas Nucha. Di bawah ada bapak. " Ucap bibi yang sejak tadi sengaja menunggu Nucha selesai dengan ponselnya.

" Ayah? " Kaget Nucha menatap bi Tuti.

" Haduh bagaimana ini? Semoga Mia tidak keluar dari kamar sebelum Ayah pulang. " Monolog Nucha panik.

.

.

𝘽𝙀𝙍𝙎𝘼𝙈𝘽𝙐𝙉𝙂

Terima kasih ya buat kalian yang sudah mampir di karya saya ini.

Mohon dukungannya dari teman teman semua agar saya terus semangat lagi untuk menulis episode berikutnya. 🙏

💙🖤🖤

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!