Penyihir pengobat

"Aghh," Soman melepaskan kekuatan sihir pengobatnya, berusaha dengan keras untuk menghidupkan kembali Elisa yang tak kunjung sadar. Namun, usahanya terasa sia-sia. Elisa masih tetap terkapar dalam kondisi tak sadarkan diri.

"Sama saja, Roz. Tak ada perubahan," kataku, menyerah atas keadaan.

"Sudahlah, tak usah memaksakan," ucapku setelah melihat Soman terus berusaha tanpa hasil yang memuaskan.

Namun, tiba-tiba, Elisa tiba-tiba menggeliat seperti bangun dari tidurnya, membuat kami terkejut.

"Elisa! Kamu sudah sadar?" tanyaku dengan antusias.

Elisa tampak bingung, dan dengan lemah ia menyahut, "Ya, sud...ah," lalu tubuhnya kembali merosot lemas ke tanah.

"Sial! Aku kira sihirku tadi berhasil," ucap Soman sedih ketika Elisa kembali tak sadarkan diri.

"Aku akan mencobanya," tambahnya sambil bersiap mengeluarkan sihirnya lagi. Namun, tiba-tiba saja Ceroz berseru, "Tidak berhenti, Soman!"

"Apa yang terjadi, Roz? Kenapa kau melarangku?" tanya Soman.

"Kau tidak boleh memakai sihirmu lagi," jawabku tegas. Aku hanya ingin mengingatkan Soman karena sudah banyak energi sihir yang ia keluarkan sejak tadi.

"Tapi, Roz, ini demi Elisa," jawab Soman.

"Aku tahu, tapi kekuatan sihirmu hanya terbatas. Apa kau lupa sihirmu sangat lemah? Jika kau memakainya lagi, tubuhmu akan pingsan. Kau sudah menguras energi sihirmu," ujarku mengingatkan Soman.

Aku tahu Soman hanya ingin membantu Elisa, namun sihir yang digunakan Soman tidaklah mempan terhadap Elisa. Hal tersebut membuatku semakin khawatir dan waspada.

"Sebaiknya kita berdua harus istirahat sejenak. Aku akan mencari cara lain untuk menyelamatkan Elisa," ujarku mencoba menenangkan Soman.

Soman dan aku akhirnya setuju untuk beristirahat dan kembali berkonsentrasi mencari cara untuk menyelamatkan Elisa.

Setelah puluhan jam lamanya beristirahat, Ceroz dan Soman akhirnya bangun kembali. Kian waktu yang cepat berputar, dan mereka yang kecapean saat terbangun, matahari sudah tenggelam. Soman melihat ke arah Elisa yang kunjung tak sadar.

"Elisa, malang sekali kau," ucap Soman pelan.

"Huuf," menarik nafas capek.

"Aku punya ide," sahut Soman.

"Apa idemu?" Ceroz melirik pada Soman yang sedang duduk berselonjor di tanah.

"Bagaimana kalau Elisa kita bawa ke Oasan, agar dia diobati oleh ayahku?" sahutku. Meski ide ini sedikit meragukan untuk kembali, tapi jalan satu-satunya yang dapat menolong Elisa adalah penyihir pengobat.

"Kalau begitu yasudah ayo kita ke Oasan," aku kemudian berdiri, setelah posisiku tegak sempurna aku membantu Soman bangkit dan memberikan tongkatnya, lalu mengangkat tubuh Elisa yang sudah tak sadar itu.

Sore itu kami melakukan perjalanan. Selama sepuluh hari, kami bertiga berjalan kaki, naik kereta, dan menumpang kapal untuk mencapai Oasan. Kami melewati hutan-hutan lebat, gunung-gunung tinggi, dan sungai-sungai besar. Kami juga melihat berbagai kota dan desa yang memiliki keindahan dan kekuatan sihir dari kota mereka.

Kami mengalami banyak kesulitan dan bahaya di sepanjang perjalanan. Kami harus berhati-hati dengan binatang buas, perampok, dan tentara yang berkeliaran di jalan. Kami juga harus menghindari orang-orang yang curiga atau bermusuhan dengan kami. Kami sering kehabisan makanan, air, dan uang. Kami juga harus menemukan tempat untuk beristirahat dan bersembunyi dari cuaca yang tidak menentu.

Namun, kami juga mendapat banyak bantuan dan kebaikan dari orang-orang yang kami temui. Ada yang memberi kami makanan, minuman, atau obat. Ada yang menawari kami tempat tinggal atau transportasi. Ada yang memberi kami informasi atau arahan. Ada yang menemani atau melindungi kami. Mereka semua membuat kami merasa tidak sendirian dan tidak putus asa.

Yang paling kami khawatirkan adalah kondisi Elisa. Tubuhnya semakin lama semakin mengeras dan berat. Wajahnya semakin lama semakin pucat dan dingin. Napasnya semakin lama semakin lemah dan pendek. Kami tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Kami hanya bisa berharap dan berdoa agar dia tetap bertahan sampai kami sampai di Oasan.

Akhirnya, pada hari ke sepuluh, kami melihat sebuah kota besar yang berkilau di cahaya matahari. Itu adalah Oasan, kota terbesar dan terindah di dunia. Kota yang penuh dengan keajaiban dan kemajuan. Kota yang menjadi rumah bagi ayahku, penyihir pengobat yang bisa menyembuhkan Elisa.

Kami pun mempercepat langkah kami dengan penuh harapan dan kegembiraan. Kami yakin bahwa kami akan menemukan jawaban dan penyelesaian di sana. Kami yakin bahwa kami akan menyelamatkan Elisa dari kutukan yang menimpanya.

Sesampainya di Oasan, kami langsung disambut dengan tatapan-tatapan tajam dan sinis dari orang-orang di sekitar kami. Mereka berbisik-bisik di antara mereka, seolah-olah kami adalah orang asing yang tidak diinginkan di sana. Aku tahu mereka menceritai kami, terutama aku.

Bahkan aku mendengar langsung dari orang-orang sekitar berkata, "Oh, jadi itu anak menteri pengobat sihir yang cacat. Berani sekali ya dia datang kemari, padahal dia sudah dibuang orang tuanya," ujar mereka dengan nada mencemooh.

Aku merasa sakit hati mendengar perkataan mereka. Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan dengan kecacatan ini. Aku tidak pernah meminta untuk ditinggalkan oleh orang tuaku. Aku hanya ingin hidup normal seperti orang lain.

Aku mencoba mengabaikan mereka dan berjalan terus menuju rumah ayahku. Aku berharap dia masih mau menerimaku sebagai anaknya. Aku berharap dia bisa membantu Elisa yang terkena kutukan. Aku berharap dia bisa memberiku sedikit kebahagiaan.

Namun, harapanku segera sirna ketika aku melihat sosok ayahku berdiri di depan pintu rumahnya. Dia melihatku dengan tatapan dingin dan marah. Dia tidak menyambutku dengan senyum atau pelukan. Dia hanya berkata dengan suara keras, "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak punya hak untuk datang ke tempat ini. Pergi, sebelum aku mengusirmu dengan paksa!"

Aku terkejut mendengar ucapan ayahku. Aku tidak percaya bahwa dia bisa begitu kejam padaku. Aku menatapnya dengan tatapan sedih dan memohon, "Ayah, tolong jangan katakan begitu. Aku datang ke sini karena aku butuh bantuanmu. Lihatlah Elisa.

"Aku tidak perduli, kau anak hina. Masih beraninya berdiri di hadapanku," bentak lelaki bertubuh besar itu.

"Yah, tolonglah. Yang dapat menolong Elisa kita penyihir pengobat atau penyembuh," pintaku kekeh.

"**Ada keributan apa di sini?" ujar seorang wanita remaja keluar dari dalam rumah.

Itu adalah Arbel, kakak perempuan Soman.

Dan di susul dengan dua orang laki-laki dan perempuan yang juga merupakan saudara kandung Soman.

"Apa kau tidak dengar apa kata ayah kau? Di suruh pergi," bentak Taurus.

"Bang, aku dengar. Aku hanya minta bantuan ayah untuk membuat Elisa sadar," ujarku memohon.

"Kau ini selain cacat kau juga budek ya," hina Taurus.

Ketiga saudara itu tertawa. Mereka menertawakan Soman. Soman yang berada di posisi itu hanya bisa diam, sedangkan Ceroz geram melihat perilaku saudara Soman.

"Benar-benar kelewatan," mengepalkan tanganku geram.

"Eeh, tunggu. Lihat ada yang marah di sini," sindir Taurus.

"Berhenti mengejek saudara kalian," perintah Ceroz. Namun ketiga saudara itu masih mengejek Soman.

"Atau ...."

"Atau apa? Kau ingin menyerang kami?" Zera melafalkan mantra sihirnya.

"Sudah, stop. Jangan apa-apakan Ceroz," Soman berdiri di depan Ceroz.

“Bagus, kau sudah cacat. Masih bisa menjadi sok pahlawan,” ejek Arabel.

“Jangan bilang Soman cacat,” aku membela. “Dia bukan cacat. Dia adalah sahabat kami yang paling berani. Dia lebih hebat dari kalian semua. Dia tidak pernah menyerah atau mengeluh. Dia selalu berusaha atau berjuang. Dia adalah orang yang paling kami banggakan.”

“Cihh,” Taurus berludah ke sembarang arah. “Kalau begitu .…”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!