Perlahan jari jemari Elisa mulai bergerak dan pelan-pelan membukakan matanya dari tidur panjangnya, yang sudah berlangsung beberapa minggu ini. Ia merasakan sakit di seluruh tubuhnya, terutama di bagian dada dan perut yang terluka parah akibat serangan musuh.
"Elisa," suara-suara yang ada di dalam ruangan itu sepenuhnya benar-benar bersuka cita atas bangunnya Elisa.
"Kalian," tangan Elisa menguatkan bertumpu untuk duduk namun karena lukanya yang belum terlalu sembuh total jadi Elisa kembali merasa sakit. Ia mengaduh pelan dan meletakkan tubuhnya kembali ke kasur yang empuk.
"Jangan duduk dulu, lukamu belum sembuh total," jelas Zone. "Kamu harus istirahat dan makan banyak agar cepat pulih."
"Kenapa aku bisa di sini?" Mata Elisa menatap tajam pada seseorang lelaki dewasa yang berdiri di samping kanannya. Ia mengenakan jubah hitam yang menandakan bahwa ia adalah seorang penyihir bayang.
"Teman-temanmu yang membawa kau ke tempat kediamanku," jawab lelaki itu dengan tenang.
"Aku di kediaman penyihir bayang?" Elisa tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Benar sekali nona Elisa, dari kubu putih," sahut Zone dengan senyum tipis.
"Setelah ini apakah kau akan mengatakan bahwasannya kami yang menyerangmu?"
"Sangat bodoh. Mana mungkin aku mengatakan itu untuk memfitnahmu. Aku tidak ikut-ikutan tentang apa yang sudah terjadi," bantah Elisa dengan tegas. "Aku yakin bahwa tidak semua penyihir bayang itu jahat."
"Sembuh nanti, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan latihan. Mungkin semua penyihir sudah tahu bagaimana pada saat aku menggunakan sihir hitam dan putih, aku tidak dapat memecahnya. Padahal dia bisa menjadikan satu bola yang tergabung antara hitam dan putih."
"Sebenarnya, aku tahu bagaimana caranya. Yang bisa untuk memisahkan kekuatan cahaya hitam dan cahaya putih, kau tidak bisa dengan latihan, tetapi dengan cara menemui salah satu tertua. Bahkan latihanmu saja tidak benar."
"Tertua?"
"Benar sekali. Terus gua, dia adalah penguasa elemen dari setiap sihir. Aku untuk mengetahui orangnya, yaitu sepuh Panderwi. Semua sihir, dia tahu."
"Di mana aku menemukannya?" Kali ini, Elisa benar-benar serius.
"Panderwi incaran kerajaan utama karena ia juga kena fitnah sama seperti kakek buyut kami dahulu yang difitnah. Hingga Panderwi menyamar menjadi rakyat biasa dan menyamar menjadi orang lain. Meski pun Panderwi sudah memalsukan kematian, sebenarnya dia masih hidup."
"Di mana dia tinggal?"
"Di ujung Gelareos, di seberang negeri lain. Tapi kita sendiri tak tahu Gelareos ini ujungnya di mana."
***
"Elisa, Elisa, kenapa diam saja?" Hudson menghampiri Elisa yang tengah duduk termenung di anak tangga. Dia merasa khawatir melihat temannya yang tampak murung.
"Entahlah, aku bingung, Hudson." Elisa menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca, seolah ada beban yang menghimpit dadanya.
"Bingung kenapa? Kau ini kan sudah sembuh. Harusnya senang dong, bahagia. Masak murung?" Hudson mencoba menghibur Elisa dengan senyumnya yang cerah. Dia tidak tega melihat Elisa yang biasanya ceria dan penuh semangat menjadi seperti ini.
"Ya, aku bingung bagaimana caraku menemukan Panderwi." Elisa menggigit bibirnya. Dia merindukan kakek Panderwi, orang yang telah mengajarkan banyak hal kepadanya, termasuk sihir bayang yang jarang dimiliki orang.
"Panderwi?" Hudson terdiam sejenak. Dia kembali berpikir. Sepertinya dia pernah mendengar nama orang ini, namun dia ingat-ingat lupa siapa orang tersebut.
"Hmmm...." Hudson menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ada apa, Hudson?" Elisa menatap Hudson dengan penasaran.
"Aku seperti pernah dengar namanya, tapi aku lupa." Hudson mengernyitkan dahinya. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang pernah dikatakan ayahnya tentang Panderwi.
"Tertua itu, ayahmu sudah menceritakannya," sahut Elisa. Dia ingat bahwa ayah Hudson adalah seorang pahlawan yang pernah bertemu dengan Panderwi.
"Iya, benar. Aku baru ingat. Kakek itu bisa memberitahuku bagaimana cara penggunaan kuasa tahap ketiga dari sihir bayang ini." Hudson menyadari sesuatu. Dia ingat bahwa Panderwi adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu menguasai sihir bayang sampai tahap ketiga, yang bisa membuat bayang-bayang menjadi nyata.
"Kau tahu di mana letak kakek Panderwi tinggal?" Elisa bertanya dengan harap.
"Tahu, di ujung Gelareos, tapi kita tidak tahu ujungnya. Namun, aku punya peta untuk kesana." Hudson mengeluarkan peta tersebut dari sakunya. Peta itu berwarna hitam putih, dengan garis-garis yang menunjukkan jalur menuju Gelareos.
"Aku punya peta buat kesana," Hudson menunjukkan peta itu kepada Elisa.
"Darimana kau dapat peta itu?" Elisa terkejut. Dia tidak menyangka Hudson memiliki peta yang begitu berharga.
"Kau ini lupa, ya? Aku ini kan punya sihir bayang. Aku bisa mengendalikan bayang-bayang. Aku dapat dari kerajaan Gelareos. Aku mengcopynya." Hudson menjelaskan dengan bangga. Dia memamerkan kemampuannya yang bisa membuat bayang-bayang menjadi alat untuk mencuri atau menyelinap.
Aku hanya bisa terdiam dan tercengang mendengar apa yang dibilang Hudson. Benar-benar luar biasa. Meskipun sihir yang dikendalikan Hudson untuk hal-hal jahil, tapi sihirnya kali ini sangat berguna.
"Kita harus segera berangkat, Elisa. Siapa tahu kakek Panderwi masih menunggu kita." Hudson menarik tangan Elisa. Dia bersemangat untuk bertemu dengan Panderwi dan belajar sihir bayang tahap ketiga darinya.
"Hudson boleh aku lihat petanya?"
"ini," memberikan peta itu pada Elisa.
"Hudson, boleh aku lihat petanya?" Elisa meminta peta yang dipegang Hudson.
"Ini." Hudson memberikan peta itu pada Elisa. Dia ingin melihat reaksi Elisa saat mengetahui rute yang harus mereka tempuh.
"Tunggu, ini kita akan melewati hutan tengkorak?" Elisa menjerit ketakutan. Dia menunjuk pada bagian peta yang menandakan hutan yang penuh dengan bahaya.
Mendengar nama hutan tersebut, Hudson dan Elisa membulatkan mata mereka sempurna. Mereka tahu bahwa rumor yang beredar tentang hutan tersebut benar-benar mengerikan. Banyak penyihir yang jadi tengkorak karena jebakan, monster, atau kutukan di hutan tersebut.
"Tidak ada jalan potong, ya?" Hudson juga ikut melihat peta tersebut. Dia mencari-cari apakah ada jalur alternatif yang lebih aman.
"Tidak." Elisa menggeleng. Dia merasa putus asa. Bagaimana mereka bisa melewati hutan tengkorak tanpa celaka?
"Wah, kalau begitu kita akan membuat sejarah. Seru, petualangan ini benar-benar menegangkan." Aku berdiri dan bersorak. Aku sangat semangat karena aku sudah lama ingin ke hutan tengkorak. Aku penasaran dengan apa yang ada di sana. Aku tidak takut dengan tantangan.
Elisa menatapku dengan heran. Elisa tidak mengerti bagaimana aku bisa begitu berani dan antusias. Mungkin Elisa berpikir bahwa aku gila atau nekat.
"Kau ini serius, ya?" Elisa bertanya dengan Hudson.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments