"Akhirnya sampai juga," ujar Hudson, menarik nafas lega.
"Kalau begitu, ayo," Elisa melangkah. Namun langkahnya tertahan sebab Hudson.
"Kau mau ke mana? Jangan buru-buru, Nona. Kok bisa mati nanti tunggu." Hudson membacakan mantra sihirnya. Sampai keluar sebuah bayangan berbentuk jari-jari seperti sebelumnya. Bentuk sihir ini yang mencuri dari penyihir penyembuh untuk mengobati Elisa dulu. Bayang-bayang tersebut masuk ke dalam tanah. Perlahan, mereka menghilang begitu saja.
"Jari pengambil informasi ini akan mencari tahu data mengenai hutan ini. Kita tidak bisa sembarangan untuk masuk. Sudah jelas kan banyak rintangan di dalamnya nanti," jelas Hudson.
"Kalau begitu, kita istirahat saja dulu," ajak Hudson.
Mereka berempat pun beristirahat di sebuah pohon besar. Tak berapa lama, keempat-empatnya tertidur. Sangat gelap karena situasi mereka yang sangat lelah dari perjalanan sampai membuat mereka tidur terlelap.
Ketika Ceroz terbangun, ia melihat bayang-bayang itu sudah kembali.
"Bangun, bangun, bangun, bangun," ujarku, membangunkan ketiga orang yang tertidur ini.
"Soman, Elisa, Hudson, bangun," ucapku, membangunkan mereka kembali.
Namun, ketiganya tak ada satupun yang bangun. Mereka hanya menjawab, "Hmm, ya, sebentar lagi."
"Ayo lah, buruan bangun. Jari bayang sudah kembali," seruku, sedikit menaikkan nada suara.
"Benarkah?" Hudson bangun dari tidurnya. Meski pun matanya masih terpicing, dan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, ia duduk membodoh buat beberapa waktu.
Hudson, dengan mata yang masih terpicing, berusaha untuk fokus. Ia merasakan denyut lemah dari jari bayang yang baru saja kembali. "Benar," katanya, suaranya serak. "Informasi sudah kembali."
Ia meraih bayangan itu, dan seketika, informasi mengalir ke dalam pikirannya. Sebuah peta hutan, rintangan yang ada, dan bahaya yang mungkin mereka hadapi. Semuanya tampak jelas di pikirannya.
"Kita harus berhati-hati," kata Hudson, suaranya serius. "Hutan ini lebih berbahaya dari yang kita duga. Ada makhluk-makhluk yang tidak kita kenal, dan tanaman beracun yang belum pernah kita lihat sebelumnya."
Soman, yang akhirnya bangun dari tidurnya, mendengarkan dengan serius. "Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanyanya.
"Kita harus mempersiapkan diri," jawab Hudson. "Kita perlu membuat perisai sihir untuk melindungi diri kita, dan mempersiapkan obat-obatan untuk mengatasi racun."
Elisa, yang juga sudah bangun, mengangguk. "Baiklah," katanya. "Mari kita mulai."
Mereka pun mulai bekerja, mempersiapkan diri untuk tantangan yang akan mereka hadapi. Meski lelah dan takut, mereka tahu bahwa mereka harus melanjutkan. Mereka berempat, bersama-sama, siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan mereka.
Mereka berhenti tepat di pintu masuk Hutan Tengkorak. Udara dingin dan lembab menyambut mereka, membuat bulu kuduk mereka merinding. Di depan mereka, pintu masuk hutan tampak mengerikan dengan tengkorak manusia yang terpampang di atasnya. Seolah-olah tengkorak-tengkorak itu berbisik, memberi peringatan kepada siapa pun yang berani memasuki hutan.
Pohon-pohon di sekitar pintu masuk tampak lembab dan kering, sebagian besar hanya tinggal ranting. Beberapa pohon bahkan tampak seperti tengkorak manusia, dengan lubang-lubang yang mirip mata dan mulut. Di sisi kanan pintu masuk, tengkorak-tengkorak manusia berceceran, seolah-olah mereka adalah benih yang ditanam oleh hutan itu sendiri.
"Tempat ini...," ucap Soman, suaranya hampir tak terdengar. "Ini lebih buruk dari yang aku bayangkan."
Elisa mengangguk, matanya memandang tengkorak-tengkorak itu dengan ekspresi serius. "Kita harus berhati-hati," katanya. "Siapa tahu apa yang menunggu kita di dalam."
Hudson, yang selama ini terdiam, akhirnya berbicara. "Kita tidak boleh gentar," katanya. "Kita harus melanjutkan, tidak peduli seberapa mengerikan tempat ini."
Mereka pun melangkah maju, memasuki Hutan Tengkorak dengan hati-hati. Meski takut, mereka tahu bahwa mereka harus melanjutkan. Mereka berempat, bersama-sama, siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan mereka.
Mereka berhenti tepat di pintu masuk Hutan Tengkorak. Udara dingin dan lembab menyambut mereka, membuat bulu kuduk mereka merinding. Di depan mereka, pintu masuk hutan tampak mengerikan dengan tengkorak manusia yang terpampang di atasnya. Seolah-olah tengkorak-tengkorak itu berbisik, memberi peringatan kepada siapa pun yang berani memasuki hutan.
Pohon-pohon di sekitar pintu masuk tampak lembab dan kering, sebagian besar hanya tinggal ranting. Beberapa pohon bahkan tampak seperti tengkorak manusia, dengan lubang-lubang yang mirip mata dan mulut. Di sisi kanan pintu masuk, tengkorak-tengkorak manusia berceceran, seolah-olah mereka adalah benih yang ditanam oleh hutan itu sendiri.
"Tempat ini...," ucap Soman, suaranya hampir tak terdengar. "Ini lebih buruk dari yang aku bayangkan."
Elisa mengangguk, matanya memandang tengkorak-tengkorak itu dengan ekspresi serius. "Kita harus berhati-hati," katanya. "Siapa tahu apa yang menunggu kita di dalam."
Hudson, yang selama ini terdiam, akhirnya berbicara. "Kita tidak boleh gentar," katanya. "Kita harus melanjutkan, tidak peduli seberapa mengerikan tempat ini."
Mereka pun melangkah maju, memasuki Hutan Tengkorak dengan hati-hati. Meski takut, mereka tahu bahwa mereka harus melanjutkan. Mereka berempat, bersama-sama, siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments