Keluarga Botan

Keluarga Botan

Pengantar Paket

"Lha, nanti kalau ada masjid, belok ke barat—nah! Kalau ketemu rumah paling besar di kompleks ini yang ada banyak bunga botannya, itu rumahnya Pak Harsa."

"Ah, yang paling besar ya? Ada bunga apa tadi? Botan? Terima kasih atas arahannya ya, Pak!"

"Sama-sama! Kalian ada urusan sama Pak Harsa ya?"

"Ah! Ini sih, Pak. Mau mengantarkan paket dari rekan kerjanya Pak Harsa, katanya Pak Harsa ini habis buka cabang di kota sebelah. Saya sama teman saya ini bertugas buat memberikan hadiah kecil-kecilan, Pak."

"Oh, ya sudah. Sana! Sebelum Pak Harsanya keluar, kalian harus ketemu."

"Baik, Pak. Terima kasih!"

"Terima kasih, Pak!"

Dua pemuda yang bertugas mengantarkan paket dari atasan mereka itu mengikuti arahan yang diberikan oleh bapak yang berjaga di toko kelontong tadi. Mereka menemukan masjid yang cukup besar, tampak asri dengan taman berisikan bermacam bunga di depan pagar. Motor tersebut berbelok ke barat, mencari rumah paling besar yang disinyalir memiliki banyak bunga botan di sekelilingnya.

"Itu bukan?" tanya si pengemudi kepada temannya yang memegang paket entah berisikan apa.

"Banyak banget bunganya," pemuda berambut ikal itu turun dari motor, lalu menghampiri rumah tersebut. Pagarnya setinggi delapan kaki yang di sisi-sisinya terdapat begitu banyak aneka bunga. "Tapi ini bukan bunga botan deh,"

"Ya coba aja, Bro! Bapaknya tadi bilang, pokok yang ada banyak bunganya kan? Kalau dipikir-pikir, nggak ada rumah yang bagian depannya ada bunga sebanyak ini."

Pemuda berambut ikal itu mengangguk. Dicarinya bel atau nomor rumah pada salah satu tembok. "Eh, nomornya bener, nomor empat belas." Baru saja hendak memencet bel, pagar itu terbuka pelan. Pemuda itu terdiam, menanti sosok yang akan keluar.

Seorang remaja mengenakan seragam SMA sambil memeluk dua buah buku paket. Tangan kanannya merogoh saku celana setelah berhasil mendorong pelan pagar rumah tersebut. Menyadari ada sepasang kaki yang menyapa pandangan, remaja itu mendongak pelan. Anak SMA dan pemuda pengantar paket itu saling bertatapan canggung.

"Ca-cari siapa?" tanya remaja itu nyaris seperti bisikan.

"Ah," sang pemuda tersadar akan tujuannya ke sini. "Di sini rumahnya Pak Harsa bukan? Ini, saya mau mengantarkan paket dari atasan saya buat Pak Harsa."

"Oh, cari Papa?" Remaja itu membuka kembali pagar rumahnya agak lebar. "Silakan, masuk! Mohon dimaklumi ya, agak berantakan, soalnya belum sempat bersih-bersih."

"Oh, nggak apa-apa ini saya masuk?"

"Kalau nggak mau masuk, tunggu di sini aja sampai ada yang dengar," celetuk remaja tersebut.

"Eh?" Tak mau menunggu sampai lumutan, pemuda itu memilih untuk masuk. Remaja tadi fokus pada ponselnya, tidak kunjung berangkat sekolah, padahal sudah hampir jam tujuh pagi.

Begitu melewati pagar, si pemuda menganga. Takjub akan keindahan taman atas rumah yang dikunjunginya ini. Halaman yang luasnya melebihi rumahnya sendiri ini, dipenuhi oleh bermacam-macam bunga yang kelewat indah. Mengitari seluruh halaman, pot-pot besar berisikan bugenvil disertai euforbia menjadi pelindung atas bunga-bunga lain yang tumbuh di bagian dalam taman.

Sudah seperti taman bunga yang sering dilihat di tempat wisata keluarga. Semuanya tertata rapi. Dari jenis bunga sampai warna yang mendominasi. Kupu-kupu yang berterbangan menambah kesan bahwa dia tengah berada di antara taman bunga paling indah yang pernah ada.

Omong-omong, tidak ada kekacauan sama sekali—seperti yang dikatakan anak SMA tadi. "Eh? Sampek lupa!" Tungkainya bergerak melewati taman bunga yang menyuguhkan aroma menenangkan.

Dari arah pagar, dia mendengar suara motor yang baru saja dimatikan. Pemuda itu berbalik, mengira-ngira siapa yang baru saja berhenti di depan rumah indah ini.

"Yoi! Hati-hati, Ham! Jangan ngebut lo! Luka lo baru sembuh itu!" Seru seorang pemuda yang kini menutup pagar. "Eh? Siapa ya?"

Pemuda berambut ikal meringis, "Cari Pak Harsa, Mas."

"Oh, cari Papa? Masuk! Sini!"

Si rambut ikal mengekori langkah salah satu anak Pak Harsa itu. Dari yang dia tau, anaknya Pak Harsa itu memang banyak, ada lima. Dia tidak tau, yang berseragam SMA maupun yang baru datang ini bernama siapa saja. Dia cuma tau, semuanya ganteng-ganteng dan salah satunya pernah memenangi olimpiade matematika sampai ke luar negeri.

"Maaf berantakan ya, Mas,"

Yang tadinya sudah terkejut, kini makin terkejut saat mendapati rumah yang luar biasa luas itu. Dari tempatnya berdiri, sudah terlihat jelas seluruh perabotannya merupakan perabotan mahal. Namun yang membuat terperangah, ialah adanya vas-vas berisikan bunga botan atau peony yang tampaknya ada di setiap sudut ruangan.

Pemuda berambut ikal itu mencari di mana letak 'berantakan' yang dimaksud oleh dua anak Pak Harsa tadi. Dia kebingungan, bagian mana yang berantakan?

"Biasanya bunganya udah pada diganti, cuma Pak Reno belum kirim bunga baru ke sini." Ujar sosok di sebelahnya.

"Ha? Bunga baru?"

"Iya, maaf ya, bunganya itu mulai layu, tapi masih belum diganti. Jadinya kelihatan aneh dan berantakan, tolong dimaklumi ya, Mas. Sebentar, saya panggilkan Papa saya dulu, Masnya duduk dulu nggak apa-apa. Mau minum apa?" tawarnya.

"Ah, nggak usah, Mas. Saya habis ini ada kerjaan lagi kok!"

"Oke! Kalau gitu saya panggilkan dulu,"

Ditinggal sendiri di ruang tamu yang sangat luas itu, si rambut ikal mengedar pandang. Menilik tiap benda yang sangat menarik perhatian. Mulai dari bermacam-macam kaktus yang berjejer di tengah-tengah ruangan dengan air mancur kecilnya, sampai foto-foto keluarga.

Foto keluarga paling besar berada di sisi lain ruang tamu yang di bawahnya terdapat setengah lingkaran bunga botan. Foto tersebut berisikan enam laki-laki. Dua di antaranya merupakan dua anak yang ditemuinya tadi, sedangkan empat sisanya dia tidak tau siapa.

"Fotonya Pak Harsa yang mana?" pemuda itu kembali mengedar pandang untuk mencari sekiranya terdapat foto bapak-bapak yang lebih tua, tapi nihil. Tidak terdapat banyak foto di ruang tamu ini.

"Cari saya?"

Ha?

Pemuda berambut ikal itu tanpa sadar membuka mulut lebar-lebar. Pria bertubuh jangkung dengan sepasang lesung pipi tersenyum ke arahnya. Setelan jas mahal yang dikenakan menambah kadar ketampanan pria itu terlihat pas dan menawan. Senyumnya manis sekali, kalau boleh berkomentar. Postur tubuhnya bagus pula, tegap dan sehat. Sebuah peci hitam pekat menyelimuti rambut hitam yang entah berpotongan macam apa.

"Pak Harsa?"

"Iya, dengan saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"

"Wah!" Pemuda itu menganga lagi. Ini Pak Harsa? Yang anaknya lima itu? Kok muda banget?

"Wah?" ulang Harsa tak mengerti.

"Oh, maaf, Pak. Ini, saya cuma mau memberikan hadiah dari atasan saya, Pak Bima. Selamat atas pembukaan cabang yang baru, kata beliau begitu."

"Terima kasih ya," Harsa menerima kotak tersebut dengan senang hati.

"Kalau begitu saya pamit—"

"Tunggu dulu! Masnya ke sini sendiri?"

"Sa-saya? Sama teman saya, Pak. Ada apa ya, Pak?"

"Ajak temannya buat masuk, sekalian sarapan bareng, oke?"

"Eh? Ta-tapi—"

"Saya tunggu di ruang makan, tolong diterima balasan kecil saya yang nggak seberapa ini ya?"

Pemuda berambut ikal itu cuma bisa menganga dan menemui temannya untuk sarapan bersama di dalam. Tidak sampai di situ saja, rupanya dua pemuda pengantar paket itu diberi uang saku masing-masing berupa dua lembar uang berwarna merah.

Keluar dari sana, keduanya berpandangan.

"Memang ya, yang namanya rezeki itu datang dari arah yang tidak disangka-sangka," kata pemuda yang mengemudikan motor.

Si rambut ikal mengangguk, tak lupa bersyukur sudah diperkenankan untuk bertamu di rumah penuh bunga yang pemiliknya merupakan orang kelewat baik. "Alhamdulillaah, ini sih bisa dipakai buat beli beras di rumah."

"Besok-besok, kalau disuruh Bos ke sini, gue sih siap aja!"

"Jangan ngelunjak, Bro! Orang baik jangan lo jadiin target penipuan diri."

"Tapi baik banget Pak Harsa ini. Mana masih muda lagi," si pengemudi menghidupkan mesin motornya. "Anak-anaknya kok nggak ikut sarapan ya? Eh, cuma satu ding, siapa tadi namanya? Sahal?"

"Udah-udah! Lo apaan sih, ngurusin anak-anaknya ikutan sarapan atau enggak? Udah, ayo balik kantor aja!"

"Oke oke!"

Dua pemuda itu melenggang pergi. Seseorang berdiri di salah satu balkon kamar yang berada di lantai dua memandang kepergian para pengantar tersebut. Melihat senyum yang terpeta pada dua manusia tadi, lelaki itu turut tersenyum.

"Walah! Pagi-pagi udah ada tamu aja," gumamnya. "Memang ya, Papa sibuk banget hidupnya."

•••••

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!