Jika keadaan di kediaman Gulzar penuh ketenangan dan ketenteraman, maka berbeda dengan apa yang Hamdan hadapi begitu tiba di sekolah. Memasuki kelasnya, eksistensi Hamdan dianggap sebagai jalan pintas bagi para gadis.
"Ham! Ke sini naik apa?" tanya salah satu gadis yang menjabat sebagai ketua kelas.
Hamdan meletakkan tasnya, menghela napas. "Ya naik motor sendirilah! Emangnya mau naik apa lagi?"
"Ya kan lo bisa nebeng sama Om Harsa kikikik~"
"Heleh! Nggak jelas,"
Hamdan beserta para laki-laki di kelas hanya mampu menggelengkan kepala. Tidak heran. Sejak mengetahui bagaimana rupa Papa Harsa saat mengambil rapor, banyak sekali perempuan yang kepincut akan ketampanan, harta, serta keramahan pria itu.
Bukan cuma gadis satu angkatan, bahkan ibu dari beberapa temannya seringkali mencegat Hamdan di gerbang utama hanya untuk meminta informasi pribadi Papa Harsa.
Tentu saja, Hamdan tidak memberikan informasi—nihil. Dia tidak bisa membayangkan Papanya itu dekat dengan wanita lain selain almarhumah Mama Sekar.
Terlebih, para kakaknya saja sudah membuat pusing. Jangan ditambah dengan perempuan asing yang mau enaknya sajalah! Hamdan takkan menyetujui wanita-wanita yang secara sukarela mau menjadi ibu sambungnya itu.
"Nanti sore aman?" tanya teman Hamdan yang bernama Indra.
"Hm," Hamdan mengangguk. "Tapi tunggu gue selesai ngaji dulu, Ndra. Terus kalau Bang Nakula santai, gue ajakin sekalian."
"Mau ke mana nanti sore?" tanya salah satu teman gadisnya yang bernama Miya. "Nanti harus lihat anak-anak Rohis yang baru, jangan kabur lo, Ham!"
Hamdan tersadar. Sebagai salah satu anggota Rohis yang aktifnya kebangetan, dia lupa kalau harus melihat anak kelas sepuluh yang baru saja bergabung. Apalagi, sebentar lagi dia akan keluar dari ekstrakulikuler yang satu itu karena sudah berada di tingkat akhir.
"Iya ya, sorry, Ndra. Gue harus ngelihat anak Rohis yang baru."
Indra mengangguk santai, "Nggak masalah, Ham. Oh iya, tadi ada anak kelas sebelah yang titip surat ke elo, Ham."
"Surat?"
Indra menyerahkan sebuah surat yang dimaksud. "Nih! Nggak tau dari siapa, orangnya pakai jaket, mukanya ditutupin pakai tudungnya."
Hamdan menerima ragu-ragu. Biasanya, yang kerap mengirim surat seperti ini antara gadis-gadis satu angkatan yang naksir Papa Harsa, dan bisa pula guru perempuan yang suka mencari perhatian alias restu darinya.
Miya mengernyit, "Nggak lo buka, Ham?"
Hamdan menggeleng, lalu menyimpannya di dalam tas. "Nanti aja gue buka sendiri. Gue juga butuh privasi kali ah!"
"Tapi mungkin nggak sih, salah satu penggemarnya Om Harsa?" terka Indra.
"Gue buang aja kali ya?" gumam Hamdan. "Eh, tapi siapa tau aja penting kan ya,"
Mereka bertiga kembali bercakap, tanpa tau, seseorang tengah mengamati dari jendela paling belakang.
•••••
Perpustakaan atau masjid, merupakan tempat di mana orang-orang bisa menemukan Sadewa tanpa ribet. Pada jam makan siang seperti ini, Sahal menuju masjid untuk melaksanakan salat Dhuhur, sekaligus mencari keberadaan Sadewa. Semalam, dia sudah berjanji untuk membelikan Sadewa makan siang.
"Udah salat, Wa?" tanya Sahal, didapatinya Sadewa duduk manis bersandarkan salah satu pilar.
Semula memejamkan mata, Sadewa hanya melirik Sahal lantas mengangguk. Bagi orang lain, sikap Sadewa tergolong menyebalkan dan minta ditimpuk. Namun bagi Sahal dan anggota keluarga Gulzar yang lain, mereka sudah terbiasa menanggapi keketusan Sadewa.
"Aduh!"
"Jangan dorong-dorong dong!"
"Woy! Jangan berisik!"
"Lo kali ah yang berisik!"
Sahal memandang Sadewa. Adiknya itu terlihat menahan kesal, tapi sudah diredakan dengan; astagfirullaah. Kadang, Sahal takjub dengan cara Sadewa meredam emosinya.
"Siapa?!"
Seruan Sadewa menghentikan gumaman para gadis yang bersembunyi di balik pilar gerbang utama memasuki masjid. Sahal dan Sadewa mengerutkan kening saat mendapati empat gadis yang berjalan cengegesan.
Sadewa mengenali salah satunya. Sintiya, teman satu jurusannya. Mengembuskan napas, Sadewa melayangkan tatapan menghunus. Bergeming, membiarkan empat gadis itu salah tingkah sendiri.
"Ada apa?" tanya Sadewa agak kalem.
Bahu Sintiya didorong oleh salah satu temannya. Gadis itu meringis, merapikan rambut sebahunya. "I-ini," Sintiya meletakkan sebuah kotak bekal di atas ubin masjid. "Bu-buat Om Harsa."
Sahal dan Sadewa menganga. Sahal membuka suara lebih dulu, "Kalian ke sini—ke masjid cuma mau begitu?"
Empat gadis itu mengangguk polos. Lagi-lagi, Sadewa beristigfar. Terlalu banyak hal merepotkan di dunia yang semestinya bukan urusannya. Namun jika perkaranya merupakan sang papa, mau tak mau dia harus menahan gadis-gadis itu untuk tidak mendekat selangkah.
"Pergi! Bawa pulang!"
"Ha?"Sintiya berdecak kesal, "Kok gitu sih? Buat Om Harsa ini, Wa! Kasihkan dong! Gue udah titip secara baik-baik lho,"
"Bodo amat!" Tangan Sadewa memberikan gerakan mengusir. "Pergilah! Gue bacain Ayat Kursi nanti kalian kepanasan lho!"
"Hih! Kurang ajar!" Dengan berat hati bercampur kesal, Sintiya mengambil kotak bekal yang diletakkan tadi. "Emangnya kita setan?"
Sahal menoleh ke arah adiknya. "Emangnya barusan lo ngatain mereka setan, Wa?"
Sadewa menggeleng, "Enggak tuh! Mereka ngerasa sendiri."
"Hih!" Sintiya mengepalkan tangannya. "Awas ya! Kalau gue jadi ibu tiri lo, gue bakalan nyuruh lo terus-terusan!"
Usai berkata demikian, Sintiya beserta tiga temannya melenggang pergi. Sahal mendengus lelah. "Heran deh gue sama temen-temen lo, Wa. Sukanya deketin Papa mulu. Lagian ya, Papa juga belum tentu bakalan suka sama perempuan lagi."
Sadewa memiringkan kepala, berpikir. "Lo mikir kayak gitu? Papa nggak bakalan suka sama perempuan lain? Dapat kisi-kisi dari mana itu, hah?!"
"Santai aja kali, Wa. Firasat gue kayak gitu, karena ya lo tau sendirilah—agak nggak mungkin Papa jatuh cinta lagi. Memang belum tua-tua amat. Pesonanya aja masih mempan ke cewek-cewek seumuran kita. Tapi misalkan Papa naksir perempuan lagi sih ... kayaknya gue yang nggak siap deh!"
Sadewa menengadah, memandang permadani langit yang memamerkan pesona birunya. "Gue juga, Bang. Kayaknya nggak bakalan siap buat nerima Mama baru di antara kita semua. Apalagi elo, Bang. Lo kan deket banget sama Mama."
"Gue emang deket, tapi nggak seberapa. Hamdan di urutan pertama, Wa." Sahal berbalik menuju tempat wudu. Dia harus segera salat, lantas mengisi perutnya yang minta diisi.
Memandang punggung Sahal, Sadewa menghela napas. Ditiliknya area masjid kampus yang cukup ramai oleh para mahasiswa.
"Ma," bisiknya pada angin yang berembus pelan. "Dewa kangen Mama."
•••••
"Lo kenapa?" tanya Arjuna yang berdiri di ambang pintu kamar Nakula. Sebagai saudara yang paling dekat dengan Nakula, sudah sewajarnya Arjuna mengajukan diri untuk menggali jawaban atas keanehan Nakula pagi ini.
Nakula melengos. Pemuda yang satu itu kembali menonton siaran ulang pertandingan basket dari luar negeri yang sangat dikaguminya. Arjuna mendengus malas.
"Pergi ajalah, Bang! Mumpung gue lagi pengin kalem nih," ujar Nakula tanpa melihat ke arah sang kakak.
"Gue lagi berbaik hati mau menghibur hati lo yang kesepian lho, La. Jangan dicuekin ah!" Arjuna malah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur Nakula. "Bunga barunya udah dateng, La."
"Terus? Lo mau gue bantuin gitu, Bang?" tanya Nakula sambil lalu.
"Heh! Lo kan tau sendiri seberapa banyak vas bunga botan di rumah kita," Arjuna mendekati Nakula, lalu tanpa aba-aba mematikan laptop adiknya. "Ayo! Nggak usah sok-sokan ngambek lo! Gue aduin Mama baru tau rasa,"
Nakula meredam emosi dengan menggertakkan gigi. Hanya di hadapan Arjuna, dia bisa sedikit melunak. Mungkin karena mereka pernah bertemu di rumah sakit yang sama saat pihak panti asuhan memeriksakan kesehatan keduanya.
Arjuna dan Nakula sudah bertemu duluan tanpa orang-orang ketahui. Dua tahun setelah pertemuan tersebut, mereka bersatu menjadi keluarga baru yang tidak diduga-duga.
"Ayo! Nanti Mama marah kalau bunganya layu semua," Arjuna menarik lengan Nakula, membawa pemuda tersebut keluar dari kamar guna menyambut kiriman bunga botan yang baru datang.
Nakula melihat kehadiran Papa Harsa yang mulai mengganti bunga baru di ruang keluarga. Sorot matanya beralih pada sebuah figura berisikan seorang wanita yang tersenyum manis ke arah kamera. Cantik sekali. Itulah Mamanya. Bunga paling indah yang ada di rumah ini.
•••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
💫0m@~ga0eL🔱
jadi terharu 😭
2024-05-30
0