Sebelumnya, ini tidak pernah terjadi. Papa Harsa memandang kelima anaknya yang berdiri canggung di depan pasar tradisional pada Sabtu siang yang sudah terik ini.
"Pa? Papa serius? Kenapa nggak nyuruh Bi Rumi?" tanya Sadewa mewakilkan para saudaranya.
Papa Harsa memiringkan kepala, tersenyum. "Bi Rumi anaknya lagi sakit, masa Papa harus nyuruh beliau buat belanja?"
Jawaban Papa Harsa membuat lima anak itu melempar lirikan. Melihat anak-anaknya diselimuti keraguan hanya karena mau memasuki pasar, Harsa menggeleng dan mencari sesuatu dalam saku baju kokonya.
"Nah!" Papa Harsa mengeluarkan tiga catatan kecil yang sudah dipersiapkan dari rumah. "Jujun sama Dewa—nih! Kalian beli di bagian hewani ya? Kula sama Hamdan, kalian cari tahu, tempe, sama bahan makanan lain, udah Papa tulis di sana. Sahal? Kamu sama Papa, kita belanja sayur-sayuran."
"Siap!"
Sahal nyengir. Senang bisa memasuki pasar bersama Papa. Sebab tandanya, dia tak perlu repot-repot mencari ini-itu. Cuma perlu mengekor dan membawa belanjaan saja.
Empat saudaranya memberi tatapan mencibir. Malahan, belum apa-apa Nakula dan Hamdan sudah saling emosi sendiri karena harus mencari yang namanya kelapa parut. Mereka tidak tau bagaimana cara membelinya.
"Ayo, Hal!" Ajak Papa Harsa memasuki lorong utama pasar yang menghadap barat.
Sahal melangkah riang, "Ayo, Pa!"
Reaksi empat saudaranya menyuguhkan tatapan maut. Begitu punggung Papa Harsa dan Sahal menjauh, mereka melangsungkan rapat kecil-kecilan.
Arjuna memimpin, "Gue nggak tau perbedaan ikan pindang yang asin sama yang biasa, terus sama ikan-ikan yang ada di sini."
"Bang," Sadewa mencubit pelan lengan Arjuna. "Lo kan tinggal bilang sama penjualnya ikan, biar diambilin sama dipilihin. Nggak perlu mikir yang mana segala!"
"Iya ya," Arjuna memicingkan mata, mengamati—setidaknya—ada sampai enam perhewanan yang perlu dibeli. "Ya sebenernya nggak ada masalah sih, kita cuma disuruh beli kan? Uang juga udah dikasih sama Papa, daftarnya lengkap, ya udah sih, emang Nakula aja yang banyak drama."
"Heh! Nggak usah ngatain orang—" Nakula sudah mau nyerocos panjang kali lebar, tapi ditahan oleh Hamdan terlebih dulu.
"Bang, mending kita jalan aja daripada debat alot di depan pasar kayak gini, oke?"
Perkataan Hamdan langsung diangguki oleh ketiga abangnya. Tanpa berlama-lama lagi, Arjuna dan Sadewa melipir ke lorong pertama yang mengarahkan mereka pada perdagingan.
Nakula mendengus kesal. "Panjang daftarnya?"
Hamdan menggeleng, "Cuma lima jenis, Bang. Tahu, tempe, gampang sih! Tapi harus cari pisang, kelapa parut sama tape, kayaknya mau bikin kolak."
"Ah, lo aja nanti yang cari, gue ngikut sambil bawa belanjaan aja. Uangnya kan lo yang bawa." Kata Nakula.
"Lah? Di sini yang Abang siapa? Kenapa gue maju duluan?" heran Hamdan seraya menerima beberapa lembar uang yang tadinya dibawa oleh Nakula. "Kesalahan banget gue belanja sama lo, Bang."
"Ya emang kesalahan. Lagian, situasinya gini banget deh, mana pernah kita mampir ke sini?" Nakula mengekori langkah Hamdan yang menuju lorong ketiga.
"Nggak usah nyalahin siapa-siapa, Bang. Gue tau, lo pasti mau nyalahin Bi Rumi atau anaknya karena sakit di saat kulkas kosong kayak gini kan?"
"Hahaha, suka bener lo kalau nebak."
Hamdan menggeleng, "Nggak boleh gitu kali, Bang. Kalau Papa tau, ceramah tujuh hari tujuh malam, sanggup?"
"Ah! Ya jangan dikasih taulah!"
Nakula berpikir. Dilihatnya sosok Hamdan yang lebih tinggi darinya, padahal dia lebih tua. Terkadang iri juga, tapi kondisi tubuh seseorang kan bukan dia menentukan. Semua sudah diatur. Sebagaimana kesehatan seseorang.
"Emang kayaknya setan yang ada dalam diri Romeo berpindah ke gue deh," gumamnya malah menyinggung nama sang rival.
"Lo masih gelut terus sama Bang Romeo? Kayak anak kecil," cibir Hamdan yang mendengar gumaman Nakula tadi.
"Diem aja lo, Ham! Gelut atau enggak, dia yang selalu cari masalah sama gue. Lo tau sendiri kadang gue memilih untuk kalem."
"Kalem dari Hongkong?"
Hamdan berbelok membelah keramaian sebelum Nakula sempat membela diri. "Oh?"
Nakula berhenti tepat di belakang Hamdan, mengernyit. "Kenapa, Ham?"
Hamdan memandang sekeliling. "Yang jualan tempe ada banyak, Bang." Dia berbalik, memberikan ruang bagi Nakula untuk melihat ke depan.
Nakula terperangah. "Ya jelas, Ham. Pabrik tempe nggak cuma satu di dunia, ada banyak."
"Samperin yang mana ya?" Hamdan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mereka berhenti di tengah jalan, lantas diperingatkan oleh salah satu penjual untuk menepi. "Sekalian yang deket aja kali ya?"
Lagi-lagi Nakula cuma bisa mengekori Hamdan yang menepi ke salah satu ibu-ibu penjual tempe dan tahu. Kebetulan pula, di sebelah penjual tersebut ada yang menjual beraneka macam pisang.
"Pinter lo, Ham. Sebelahnya pas jualan pisang. Bisa cepet duluan nih, bisa balik mobil dulu kita." Nakula menepuk pundak Hamdan, sedangkan si bungsu kebingungan memandangi tempe dalam berbagai ukuran.
"Tempe, cah ganteng?" tanya si penjual.
"Ah, iya, Bu," Hamdan menilik catatan yang diberikan Papa Harsa. "Nggak ditulis beli yang mana."
"Ha? Kenapa?" heran Nakula.
"Ini, Bang. Lihat dong! Tempenya banyak ukurannya, tapi Papa nggak nulis kita harus beli yang mana dan berapa." Hamdan memperlihatkan catatan yang dipegangnya.
Nakula manggut-manggut. "Ya udah, gini aja, logikanya aja anggota keluarga kita sebanyak ini kan? Ada yang makan dua kali, ada yang lima kali. Jadi ...."
Hamdan menyimak.
"... kita beli yang besar ini, beli enam sekalian." Nakula menuding tempe yang kira-kira sepanjang dua jengkal telapak tangannya.
"Ah, oke! Biasanya memang lo yang ngemil tempe, Bang." Hamdan tersenyum kepada ibu penjual. "Yang ini ya, Bu. Enam."
"Nggeh, ada lagi, cah ganteng?"
Nakula menyahut, "Tahu, Bu."
"Berapa?" tanya si ibu seraya mengambil kantung plastik baru.
Nakula dan Hamdan saling berpandangan. "Bang? Papa kalau beli tahu di penjual keliling itu berapaan?"
"Gue mana tau, Ham! Gue nggak pernah lihat Papa belanja sama sekali." Nakula mengusulkan. "Beli lima puluh ribu?"
"Lima puluh ribu?" Hamdan mengangguk. "Iya! Kan kita ada berenam. Buat seminggu, ya pas itu. Beli lima puluh ribu, Bu!"
"Eh?" Ibu penjual kaget. "Tahu? Lima puluh ribu? Betul, cah ganteng?"
"Betul, Bu." Nakula tersenyum lebar. "Soalnya anggota keluarga kami ada banyak, hehehe~"
"Oh, sebentar nggeh, cah ganteng."
Kedua pemuda itu mengangguk patuh, menunggu dengan tenang sembari mengamati pergerakan ibu penjual yang memasukkan tahu-tahu ke kantong plastik.
Mulanya, mereka biasa-biasa saja saat ibu penjual sudah membungkus tiga kantong plastik berisikan tahu. Akan tetapi pada kantong plastik ke-tujuh, mereka jadi bingung.
Hamdan mendekat, berbisik. "Bang, lima puluh ribu emangnya dapat berapa plastik sih?"
Nakula mengendikkan bahu. "Banyak."
"Ya iya, banyak. Tapi ibunya nggak berhenti tuh! Kalau kebanyakan, bisa kena marah Papa nanti."
"Halah! Kan Bang Jujun suka ngemilin tahu, Ham. Dia sanggup lah buat habisin sepuluh plastik dalam dua hari gitu."
"Yang bener?"
"Gue jamin."
"Semuanya delapan puluh ribu, cah ganteng." Kata ibu penjual.
"Kasih duitnya, Ham!"
"Oke!"
"Untung Papa ngasih tas belanja sekalian, Bang." Ujar Hamdan setelah memasukkan tempe dan tahu yang jumlahnya banyak itu, lalu dijinjing oleh Nakula.
"Iya dong! Papa kan pinter, Papa bisa memprediksi semuanya, Ham."
"Eh, pisang, Bang." Hamdan menarik lengan Nakula ke tempat penjual pisang. "Bu, mau beli pisang!"
Si penjual pisang tersenyum senang karena kedatangan pembeli. "Silakan! Mau yang mana? Berapa?"
"Hmm," Hamdan kebingungan lagi. "Pisang yang buat kolak, Bu. Yang enak."
Ibu penjual pisang terkekeh. "Semua pisang ini enak kok, Nak! Tapi kalau buat kolak, pisang kepok juaranya."
Nakula berceletuk, "Pisang kepo?"
"Kepok, Bang. Ada tambahan hurufnya." Ralat Hamdan.
"Beli berapa sisir, Nak?"
"Eh? Berapa ya?"
Ibu penjual pisang mengangkat dua sisir pisang kepok yang kurang lebih terdiri dari lima belas buah. "Satu sisir, segini, Nak."
"Empat!" Seru Nakula, membuat Hamdan membulatkan matanya.
"Bang? Nggak kebanyakan?"
"Bang Sahal suka kolak, Ham. Lo tau sendiri dia bisa bolak-balik dapur cuma buat ngambil kolak kan?"
"I-iya sih," firasat Hamdan mengatakan, ada yang tidak benar. Padahal memang dari tadi tidak ada yang betul. Namun, dia tetap berpegangan pada asumsi Nakula untuk berbelanja dalam jumlah banyak karena anggota keluarganya.
Belum tau saja, Arjuna dan Sadewa berpatokan sebaliknya.
•••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
💫0m@~ga0eL🔱
🤣🤣🤣 mau jualan tahu berontak kali ni bocah 🤭
2024-05-30
0