Membantu

Nakula datang ke kampus sekitar jam satu siang setelah membereskan semua bunga-bunga baru bersama Papa Harsa dan Arjuna. Sebenarnya dia malas, tapi jika teringat dengan pesan Mama Sekar, dia akan tetap bertahan.

Mama Sekar sering mengingatkan akan betapa banyaknya orang yang tidak seberuntung dirinya—bisa menempuh pendidikan tinggi serta hidup nyaman.

Kehidupan kuliahnya memang baik-baik saja. Terkadang ada materi yang bisa ditangkap dan tidak. Ada pula beberapa tugas yang meminta perhatian lebih. Nakula masih bisa mengatasi keribetan semacam itu. Hanya saja, yang membuat ribet bukanlah dunia perkuliahannya. Akan tetapi sosok manusia menyebalkan yang kini berdiri di ambang pintu kelas dengan dagu terangkat tinggi.

Nakula mendengus kasar. "Ini apaan sih! Siapa yang bawa garangan terus ditaruh di depan pintu, hah?!"

Beberapa orang yang berlalu-lalang terkekeh mendengar seruan Nakula. Sedangkan laki-laki di hadapannya ingin sekali melempari Nakula dengan sesuatu. Kesal bukan main.

"Lo barusan ngomong apaan?"

Nakula menatap malas, "Garangan."

Laki-laki bernama Romeo itu hampir melayangkan pukulan pada Nakula. Namun secepat kilat dicegah oleh dua temannya yang tau-tau muncul dari dalam kelas.

"Rom, udah! Jangan gampang kesulut emosi dong!" Peringat salah satu teman Romeo.

Nakula berdecih. Biang kerok atas segala ketidaknyamanan yang menyelubungi kehidupan akademisnya, ya manusia bernama Romeo yang senantiasa menyombongkan dirinya lebih baik dari Nakula dalam berbagai macam hal.

Mulai dari prestasi sampai pacar, Romeo menang. Sesekali, Nakula sempat terhasut dan ingin sekali melakukan hal yang setingkat di atas laki-laki itu. Sayangnya, Nakula lagi-lagi berpikir kalau semua persaingan ini sesungguhnya tak ada artinya.

Termasuk polah kekanak-kanakannya yang meminta sang Papa untuk berkuda lagi—hanya karena dia melihat status Instagram Romeo kemarin yang menunjukkan bahwa rivalnya itu berkuda.

Setelah termenung sambil mengganti bunga baru di rumah tadi, tampaknya akan lebih baik jika uang yang dimiliki sang papa dihabiskan untuk hal berguna lainnya. Lagi pula, keluarganya sudah punya jadwal tetap berkuda sebanyak tiga bulan sekali.

"Minggir!" Usir Nakula pada Romeo dan dua temannya yang masih memenuhi pintu kelas.

"Ck!" Romeo menepis cekalan tangan dua temannya. "Jangan sombong ya, Nakula! Lo tuh nggak ada apa-apanya kalau nggak diadopsi sama Om Harsa."

Bagi yang baru pertama kali mendengar, ucapan Romeo tentunya akan menyayat hati siapapun yang ditujukan olehnya. Namun bagi Nakula—yang bahkan emosinya setipis tisu ini—tidak tergugah sedikitpun.

Saking seringnya menjadi bahan ledekan Romeo dan teman-temannya, Nakula jadi kebal. Amarah yang biasa memuncak dan menyembur ke mana-mana, justru tetap bertahan pada tempatnya.

"Terserah!"

Seringaian Romeo pudar. Nakula menggeser laki-laki itu untuk menepi. Alhasil, Romeo hanya mampu menelan kekesalan karena belakangan ini sosok Nakula tidak bisa diajak adu mulut ataupun adu jotos.

Nakula mencari kursi yang paling nyaman. Tentu saja paling belakang. Dia sudah biasa saat menyadari tak ada yang mau bersebelahan dengannya. Nakula tidak masalah. Lebih baik memang menyimak pembelajaran tanpa gangguan orang lain.

Namun kala diperlukan, orang-orang akan mendekatinya. Misalnya saja salah satu temannya yang baru berjualan kue buatan sendiri. Nakula menjadi pembeli pertama sekaligus memberi sedikit tambahan modal.

Nakula tau bagaimana rasanya susah. Sebelum mendapatkan satu kamar di panti asuhan, semasa kecil dia sudah berjualan ke sana-kemari demi mengisi perutnya dengan segenggam nasi—atau kurang dari itu. Apabila terdapat seseorang yang benar-benar mau memulai dari nol tanpa takut akan pandangan orang-orang, Nakula takkan ragu untuk membantu.

Dan kebaikan Nakula yang satu ini kerap memunculkan rasa persaingan yang tinggi dari Romeo. Laki-laki itu berpikir, Nakula cuma mau menyombongkan harta yang dimiliki oleh Papa Harsa saja. Sengaja menghambur-hamburkan uang untuk orang lain, yang tentunya cuma gaya-gayaan saja. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.

Tapi biarlah! Sikap masa bodoh patut dipergunakan pada saat seperti ini. Lagi pula, yang mencari gara-gara memang dari pihaknya Romeo. Nakula diam-diam saja tuh!

"Semoga aja gue bisa cepetan lulus biar nggak ketemu makhluk halus yang satu ini terus," gumam Nakula sebelum membuka chat masuk dari Arjuna.

•••••

Berikut chat yang dikirim oleh Arjuna kepada Nakula;

nanti mampir ke sini dongg

gue ada menu baru yuhuuu

Arjuna baru saja tiba di kafe tempatnya bekerja. Pekan lalu, dia menyarankan camilan berupa kentang bakar yang diberi saus serta bumbu tabur beraneka rasa, tidak lupa minuman sejenis cappucino cincau yang diberi perisa jeruk dan whipped cream di atasnya.

Memang bukan menu tambahan yang luar biasa, tapi lumayan banyak yang membeli sejak tadi pagi—kata rekan sejawatnya sih begitu. Maka dari itu, dia ingin mendengar komentar dari Nakula dan Sadewa.

Mengapa dua manusia tersebut? Antara lain, cuma mereka berdua yang blak-blakan. Tidak ada bumbu penghibur dalam perkataan mereka. Makanya, kalau soal berkomentar pedas, dua adiknya itu bisa diandalkan.

Pintu kafe terbuka pelan. Pelanggan demi pelanggan berdatangan. Sebagai anak yang tidak dari kecil terbiasa hidup malas, Arjuna lantas bekerja keras. Padahal, jika dia mau diam saja di rumah tidak masalah. Papa Harsa sudah memberi posisi tinggi di pabrik untuknya.

Namun dia meragu untuk bermalas-malasan seperti itu. Bukan gaya hidupnya yang selama ini berjalan.

"Akhir pekan ada yang reservasi, Jun." Ucap salah satu rekannya bernama Dinto.

Arjuna melirik selagi mempersiapkan minuman salah satu pelanggan. "Iya kah? Gue belum dikasih tau sama Pak Theo. Lembur dong? Tapi kayaknya gue ada izin mau ke rumah Bibi, To."

"Lo udah izin sama Pak Theo?" tanya Dinto memastikan.

"Udahlah! Orangnya ngasih izin," Arjuna memiringkan kepala, berpikir. "Apa gue tanya lagi aja ya?"

"Hm, tanya aja lagi. Tadi jam sembilanan gue juga baru dikasih tau sama Lenny."

"Oh, gitu," Arjuna manggut-manggut. Bila sempat, dia akan mendatangi ruang kerja sang bos di kafe ini. Kata Papa Harsa, izin yang tepat dan baik itu, ialah izin yang mengantongi persetujuan dari kedua belah pihak mau bagaimana keadaannya.

Sebagai anak yang saleh dan berbakti pada orangtua, Arjuna akan bertanya lagi pada atasannya nanti.

Saat itu, seseorang memasuki kafe dengan baju lusuh dan compang-camping. Seluruh pengunjung kafe langsung bergumam dan memasang tampang sinis pada pemulung yang baru saja masuk tersebut.

Dinto menyenggol lengan Arjuna, menuding pintu masuk dengan dagunya. "Jun, lo yang usir deh!"

"Ha? Ngusir apaan?" Arjuna mengikuti arah yang dituding oleh Dinto. Pemuda itu terperangah kala mendapati seorang ibu-ibu yang menggendong bayi mungilnya.

"To," Arjuna menghela napas. "Gue mana tega,"

"Lha terus siapa dong? Gue?" Dinto menggeleng. "Ngelihat aja nggak berani."

"Mas!" Salah satu pelanggan yang mejanya berada di dekat meja pemesanan, memanggil Arjuna dan Dinto. "Itu tolong diusir dong, Mas! Baunya nggak enak! Bau sampah!"

"Astaghfirullah," Arjuna mengelus dada. Memang terdapat aroma tidak sedap yang menguar sampai ke tempatnya berdiri—benar pula seperti sampah.

"Ya udah bentar," Arjuna melepas apron cokelat berlogokan kafe tempatnya bekerja. Kemudian, dia keluar dari meja pemesanan dan menghampiri pemulung yang satu itu. "Bu? Ada apa ya? Ada yang bisa saya bantu?"

"Nak ...." ibu itu memandang Arjuna penuh harap. "Ibu boleh minta airnya? Tadi ibu minta di warung sana, ibu langsung diusir, ibu sampai dilempari nasi basi,"

"Ah, air?"

Ibu itu mengangguk.

"Boleh, saya ambilkan, tapi mohon maaf, ibu mau nunggu di luar dulu?"

Ibu itu mengedar pandang, menyadari tatapan yang terarah padanya. "Ba-baik, Nak ...."

Arjuna menghela napas saat ibu itu mau menunggu di luar, lantas bergegas mengambil air mineral di salah satu kardus yang ada di balik meja pemesanan.

"Ibunya minta apa, Jun?" tanya Dinto.

"Minta air sih, To. Kasihan, sampai dilemparin nasi basi di warung sebelah deket fotokopian tuh!" Arjuna mengambilkan sekantung plastik, lalu diisi dengan dua botol air mineral berukuran tanggung. "Duh! Gue cuma bisa kasih segini nih! Kalau ketemu Sahal, gue kan bisa minta tolong beliin ibunya nasi bungkus."

"Nggak apa-apa, Jun. Alhamdulillaah kita masih bisa bantu kan?"

Arjuna mengangguk. Tidak mau berlama-lama, lekas dihampirinya ibu pemulung tadi yang menepi tepat di bagian bawah bangunan kafe yang membentuk bayang-bayang.

"Bu, ini airnya ya, maaf saya cuma bisa kasih ini."

"Terima kasih, Nak. Terima kasih sudah mau kasih saya air." Ibu itu menerima dengan mata berkaca-kaca. Arjuna jadi tidak tega hanya memberikan dua botol air mineral. Jika tidak sedang bekerja pada waktu yang ramai seperti ini, pastinya dia bakal lari ke warung tenda terdekat untuk membelikan nasi.

"Kalau begitu, saya jalan dulu ya, Nak ...."

"Jalan?"

Ibu itu hanya tersenyum, melenggang pergi setelah membawa karung berisikan botol-botol bekas yang baru disadari Arjuna beberapa detik setelahnya. Arjuna mengembuskan napas perlahan, meneroka sekeliling melalui pandangan.

Satu buana ini disesaki dengan berbagai macam manusia dari berbagai kalangan. Contoh singkatnya saja, ada yang seperti dirinya dan ibu pemulung tadi.

Arjuna tidak habis pikir. Membawa bayi mungil itu untuk bekerja di keramaian hari untuk memungut botol-botol bekas, atau yang sekiranya bisa ditukar untuk dijadikan uang—meski tak seberapa.

"Jun! Cepetan!"

Dinto menyadarkan dirinya dari kekalutan dunia yang menyita pikiran. Arjuna mengerjap-ngerjapkan matanya. Sudah berkaca-kaca, tapi sebisa mungkin untuk tidak menangis di tempat umum seperti ini.

Ah, kayaknya gue udah jarang mampir ke panti. Anak-anak apa kabar ya?

•••••

Terpopuler

Comments

💫0m@~ga0eL🔱

💫0m@~ga0eL🔱

Realita hidup yang menyedihkan 😢

2024-05-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!