"Wa?" Arjuna mengerjapkan matanya, kebingungan. "Serius beli pindang asin satu guci kecil gini?"
Sadewa mengangguk mantap. "Keasinan, Bang. Bisa darah tinggi kalau makan banyak. Apalagi gue, nanti nggak bisa konsentrasi tiap baca buku."
"Ck!" Arjuna memejamkan mata sejenak. Sekarang, mereka berada di depan penjual ikan pindang. Mulanya Arjuna tidak tau harus memilih yang mana, tapi Sadewa ingat jika Papa Harsa menyukai pindang asin. Sedangkan Hamdan menyukai pindang yang besar-besar.
"Iya gue tau lo nggak suka," Arjuna meneruskan. "Tapi ini kan buat stok satu pekan, Wa. Kadang Sahal atau gue juga suka nyemilin."
"Lo nyemilin pindang asin, Bang? Serius? Makanya muka lo nggak beda jauh sama ini semua," tuding Sadewa penuh penghakiman. Inilah salah satu sarkasme menyebalkan yang kerap keluar dari mulut Sadewa.
Arjuna cuma bisa mendengus kesal. Kalau ada Papa Harsa, dapat dipastikan Sadewa bakal kena tegur. "Astagfirullaah, sabarrr, orang ganteng harus sabar biar jodohnya makin dekat~"
"Yang ini udah," Sadewa mengecek catatan yang dibawanya. "Daging sapi udah, ayam udah, tinggal cumi sama lele."
Sadewa mengedar pandang, mulai melangkah mencari penjual cumi dan ikan lele. Sementara Arjuna masih berada di depan penjual ikan pindang, menunggu kembalian.
"Wa! Tungguin!" Seru Arjuna kelimpungan. Padahal dia paling tua di antara lima bersaudara, tapi suka heboh sendiri kalau ditinggal sendirian. Apalagi di tempat umum seperti pasar yang disesaki begitu banyak manusia.
"Ikan lelenya sekilo, Bu." Kata Sadewa tak peduli dengan seruan Arjuna. Sebagai anak yang paling waras, lebih baik menyelesaikan semua belanjaan yang dicatat oleh Papa Harsa.
"Eits!"
Arjuna yang baru tiba di samping Sadewa, terlonjak saat salah satu lele yang dipegang ibu penjual tergelincir ke arahnya. "Bu! Lelenya kabur!"
"Bang," Sadewa menatap malas. "Gue tarik omongan gue tadi. Lo bukan kayak pindang, lo lebih mirip sama lele ini nih! Setingkah-tingkahnya, paket komplit!"
"Nggak usah ngatain terus dong, Wa." Arjuna memukul pelan punggung sang adik. "Gue aduin Papa biar lo dapat pencerahan."
"Pengadu."
Arjuna memelotot, tapi dia tidak bisa membalas apa-apa. Pada dasarnya, tidak akan pernah menang jika beradu argumen dengan Sadewa.
Adiknya itu meneruskan pembelian tanpa perlu diawasi oleh Arjuna. Pikirnya, kalau tau kayak gini, gue nunggu di mobil aja, biar Dewa yang beli sendiri semuanya.
"Bang," panggil Sadewa.
"Hm, apaan?"
"Nih!" Sadewa menyodorkan satu kantong plastik hitam yang diisi oleh satu kilogram ikan lele.
Pasrah, Arjuna menerimanya. Namun saat berada dalam genggaman, kantong plastik tersebut bergerak-gerak—isinya maksudnya. "Loh?! Loh?!" Tentu saja Arjuna langsung panik, heboh.
"Kok masih gerak, Wa? Bukannya tadi udah dipukul sama diambil kotorannya? Lelenya jadi zombi, Wa?!" tanya Arjuna kebingungan.
Sadewa menggeleng disertai decakan singkat. "Mana ada zombi dalam bentuk lele sih, Bang? Emang begini, lele masih hidup dikit biarpun udah dimatiin."
"Kok bisa?!"
"Kodratnya emang begitu," Sadewa menepuk pundak kakak pertamanya. "Ayo! Kurang satu lagi, habis itu kembali ke titik pertemuan."
Sadewa kembali melangkah, sedangkan Arjuna mengikuti diselingi kehebohan dikarenakan lele yang masih bergerak.
•••••
Papa Harsa dan Sahal hanya perlu membeli kacang panjang sebagai penutup atas catatan belanja yang dibawa. Sebagai anak yang baik, Sahal turut membantu Papa Harsa untuk mencari selagi berjalan di tengah keramaian. Makanya, tidak heran kalau Sahal jadi incaran ibu-ibu di Perumahan Seroja karena pemuda yang satu itu kerap berbelanja satu-dua sayuran di tukang sayur keliling.
"Itu, Pa! Kayaknya bagus-bagus," tunjuk Sahal pada salah satu penjual sayuran yang menjual kacang panjang.
Papa Harsa menghampiri penjual tersebut, lantas membenarkan ucapan putra keduanya. "Hm, pinter kamu! Cuma kamu yang cocok buat diajak belanja kayak gini,"
Sahal tersenyum simpul, "Diberitahu sama Bi Rumi, Pa. Soalnya biasanya pas Bi Rumi mindahin sayur-sayur ke kulkas, Sahal suka nemenin dan kadang dilihatin jenis-jenisnya."
"Oh gitu," Papa Harsa manggut-manggut. "Makanya kamu nggak kaget pas Papa ajak ke sini,"
Papa Harsa membeli dua ikat kacang panjang kesukaannya, lalu tercoretlah semua jenis sayuran yang telah dibeli. Tanpa berlama-lama, keduanya menyusuri lorong-lorong kecil yang sebelumnya terlewati dari lorong utama.
Tiba di tempat parkir, Arjuna dan Sadewa sudah berada di samping mobil. Mereka bercengkerama dengan ponsel masing-masing, sedang belanjaan yang diangkut oleh Arjuna dibiarkan tergeletak di atas tanah.
Dengan cekatan, Papa Harsa membuka bagasi setelah membebaskan penguncian mobil. Arjuna bergegas memasukkan belanjaannya tadi, begitu juga dengan Sahal.
"Nakula sama Hamdan belum selesai?" tanya Papa Harsa pada Sadewa.
Sadewa menggeleng seraya menyimpan ponsel. "Belum, Pa. Tapi nggak tau kenapa, firasat Dewa sih nggak enak soal dua anak itu."
Papa Harsa terkekeh, "Nggak boleh gitu kamu, Wa. Soalnya Papa sendiri juga udah begitu."
Keduanya tertawa pelan—yang berhasil membuat Arjuna dan Sahal saling berpandangan, tidak mengerti sebab tak mendengar percakapan antara keduanya tadi.
"Papa!"
Seruan Hamdan membuat keempat manusia itu berpaling. Betapa terkejutnya saat mendapati kantong plastik kelewat banyak yang dibawa oleh keduanya. Iya, bukan cuma Nakula yang menenteng, Hamdan pun membawa beberapa.
"Banyak banget?" heran Sahal. "Pa? Mereka belanja banyak ya?"
Papa Harsa menggeleng pelan, "Seingat Papa enggak deh, seharusnya nggak sebanyak belanjaan kita, Hal. Itu sih malah lebih,"
Pria itu melongok belanjaan Nakula dan Hamdan begitu diletakkan di bagasi. Papa Harsa menahan napas. Memang membeli sesuai catatan. Hanya saja, jumlahnya bukan main.
Papa Harsa berbalik. Menghela napas, menatap Nakula dan Hamdan bergantian. "Kalian kenapa beli sebanyak ini? Mau buat usaha kecil-kecilan?"
Sebisa mungkin, Papa Harsa menahan emosi. Inilah arti dari keganjilan yang menyertainya sedari tadi.
Nakula menggeleng, "Enggak tuh, Pa. Memangnya kenapa?"
Sadewa mendengus usai melihat belanjaan Nakula dan Hamdan. "Kenapa beli tahu sama tempe sebanyak ini? Pisangnya juga—kenapa ada kelapa parut sebanyak ini?"
"Lah? Bener kan? Hitungannya buat seminggu dan enam anggota keluarga. Memang sebanyak itu kan?" Sambung Nakula tidak merasa bersalah. Hamdan cuma diam, menyimak.
"Papa memang mau bikin kolak," Papa Harsa berusaha untuk tetap tersenyum, meski dalam hati kebingungan harus diapakan kelebihan yang telanjur dibeli itu. "Tapi kalau bahannya sebanyak ini, lebih tepatnya bikin kolak buat satu perumahan."
"Tapi kata Bang Nakula," Hamdan berujar. "Bang Sahal suka kolak, jadi sekalian beli banyaklah!"
"Gue emang suka, tapi bukan berarti serakus ini juga," Sahal takjub dengan jalan pikiran Nakula, sementara Arjuna tergelak di sampingnya.
"Berarti?" Nakula memiringkan kepala. "Kebanyakan?"
"Iyalah! Pakai ditanya!" Sahut Arjuna heboh—seperti biasa.
Sadewa terkekeh, "Ada aja kelakuan lo, La. Terus ini mau di ke manain belanjaan segini banyaknya? Kalau kelamaan ditaruh di kulkas, tetep busuk juga. Kalau misalnya dibuat lusa, pengaruh sama rasa."
Papa Harsa mengembuskan napas perlahan. Tenang. Jangan ngereog di hadapan anak-anak!
"Oke," satu cara terlintas. "Kayak biasanya, di lapangan besok, ada senam umum kan? Kita bagikan aja ke sana. Besok, bantu Papa bikin kolak. Habis Subuh, langsung meluncur biar bisa pas waktunya."
Lima anaknya setuju.
"Boleh tuh!" Sahal menurunkan pintu bagasi mobil. "Sekalian senam juga, lama nggak ikutan senam bareng Pak Kholik."
"Itu sih elo, Hal. Gara-gara Pak Kholik mau deketin anak ceweknya ke elo." Gumam Arjuna.
Sahal melirik malas sang kakak. "Kayaknya lo juga harus gerak deh, Bang. Satu-satunya cara yang benar buat menyalurkan kehebohan elo selama ini."
"Hah! Itu sih pasti."
"Udah-udah!" Papa Harsa menuju kursi kemudi. "Kita harus cepetan pulang buat mindahin ini semua ke kulkas."
Walaupun Nakula dan Hamdan merasa kikuk karena terlalu banyak belanja, keduanya hanya mampu terdiam dan menuruti rencana Papa Harsa untuk membagikan kolak gratis ke agenda senam umum yang rutin diadakan di lapangan Perumahan Seroja tiap Ahad.
Nakula sih senang-senang saja jika disuruh berbagi. Akan tetapi, artinya dia akan bertemu dengan Romeo lagi. Iya, mereka satu perumahan.
•••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments