Pelanggan Cantik!

Sahal menilik arloji yang tersemat pada pergelangan tangan kirinya. Masih ada tiga puluh menit lagi sebelum dia datang ke toko bangunan. Berhubung dia mendapat shift setelah istirahat makan siang, maka tungkainya berbelok ke kafe tempat Arjuna bekerja.

Kafe itu selalu ramai akan pengunjung. Namun kalau boleh jujur, Sahal jarang sekali membeli makanan ringan ataupun camilan di kafe ini. Biarpun saudaranya bekerja di tempat ini, rasa yang diberikan tidak sesuai dengan lidahnya.

Yah, selera orang berbeda-beda kan? Sekalipun saudaranya sendiri bekerja di sana, tak menampik dia bebas mengutarakan pendapat. Begitu memasuki kafe, kebetulan saja Arjuna sedang melayani satu pembeli sehingga menyadari eksistensinya lebih dulu.

"Wah! Tumben, Hal?" Sahal tersenyum simpul, menilik menu yang terpampang nyata di depannya. Dinto melambaikan tangan pada Sahal, mereka saling kenal. "Mau menu baru ciptaan gue, Hal?"

Sahal langsung menolak tanpa ragu. "Maaf, Bang. Tapi dibandingkan jadi juri buat kreasi elo, mending gue cari aman aja, capcin aja oke! Sama kentang goreng, gue mau santai bentar sebelum ke toko."

Arjuna mencibir, tapi menuliskan pesanan Sahal tanpa protes berlebih. Bagaimanapun Sahal seorang pembeli, dan dia harus melayaninya sebaik mungkin.

Sahal menggeser langkah menuju sisi yang memberikan pesanannya, ketika lonceng kafe berbunyi pelan—tanda ada pembeli lagi. Pemudi berhijab hijau botol, melangkah seiring derap heels lima senti yang berbaur dengan keramaian kafe.

Saat pemudi itu sampai di sisi pemesanan, ponsel yang menjadi fokus pun dilepaskan dari penglihatan. Dia melihat papan menu, tapi sosok jangkung dengan postur tubuh yang akrab menyapa pandangan.

"Sahal?"

Si pemilik nama menoleh. "Oh, Kamila?" Tanpa sadar, Sahal tersenyum lebar, namun langsung ditepis dan mengalihkan pandang. Dia tidak mau berlama-lama memandang seorang perempuan. Kalau suka, dia yang bakal kelimpungan. Apalagi tidak mahramnya.

Kamila sama mengertinya, lekas menilik papan menu selagi mengobrol tanpa saling bertatapan. Aneh. Tetapi, memang seperti itulah cara berbicara mereka yang senantiasa dia jalankan. "Ternyata kamu suka beli di sini ya?"

"Enggak kok! Ini aja kebetulan lewat, lagian setelah ini kan gue kerja, Mil." Balas Sahal dengan tatapan yang terfokus pada punggung Arjuna. Abangnya itu tengah membungkus pesanannya.

"Oh, gitu ya," Kamila meringis. Dia tidak sanggup berbicara lebih banyak lagi. Sama halnya dengan Sahal yang pasrah saja. Dua-duanya, menyukai keterdiaman dibanding apapun.

Sahal yang tidak enakan sudah membuat seorang perempuan mengakhiri percakapan, lantas bersuara. "Jam segini, mau ke mana, Mil?" tanyanya mengingat kelas mereka baru berakhir lima belas menit lalu.

"Mau ke perpus, sekalian cari buku baru." Kamila menoleh sekilas, sedangkan Arjuna menyerahkan pesanan Sahal dan mengamati pemudi berhijab yang pesanannya dicatat oleh Dinto.

Detik itu, Arjuna merasakan semilir angin asing yang melambai ke arahnya. Tatapannya terpaku pada sosok kalem Kamila yang tengah melakukan pembayaran. Katakanlah Arjuna alay—namun dalam bola matanya, Kamila dikelilingi oleh bunga-bunga. Melebihi bunga di rumahnya.

Sahal mengernyit. Roman Arjuna agak konyol. Melihat ke mana tatapan abangnya terarah, Sahal menganga. "Bang?" Sebisa mungkin, Sahal memutus pandangan Arjuna yang tertuju pada Kamila.

"Astagfirullaahaladzim!" Arjuna menggeleng, lantas meraup wajahnya menggunakan udara kosong. "Temen lo, Hal?"

Sahal mengangguk.

"Cantik."

Arjuna terkekeh setelah menyerahkan uang kembalian Sahal. Berkedip-kedip tidak jelas yang hanya bisa ditanggapi Sahal dengan gelengan. Beruntung Kamila tidak sadar tengah menjadi topik sekilas sepasang saudara tersebut.

Kamila memang cantik—kan perempuan! Bagi Sahal, semua perempuan yang ada di muka bumi ini pada dasarnya cantik.

Sahal duduk di salah satu kursi dekat jendela untuk menghabiskan pesanannya, sedangkan Arjuna kembali bekerja meski diam-diam tersenyum sendiri kala membuatkan pesanan milik Kamila.

Saat Kamila berlalu, Arjuna mengamati kepergian pemudi itu dengan penuh damba. Sahal ingin sekali menyiramkan air es ke kepala abangnya itu supaya lekas sadar. Kamila sempat melewati mejanya dan menyapa.

Sahal melirik Arjuna, sesuai dugaan, masih senyam-senyum sendiri. Mengembuskan napas, Sahal memutuskan untuk bertenang diri sembari membaca buku yang dibawa.

Sedang fokus membaca, tiba-tiba seseorang duduk di seberang mejanya. Mengganggu Sahal dengan deru napas tak beraturan, juga penampilan acak-acakan.

Sahal mendongak, mengetahui siapa manusia di depannya itu. "Ngapain?"

Arjuna menggeleng, "Bentar, gue mau duduk dulu sebelum ke atas,"

"Ada yang jagain?"

"Hm, bentar lagi selesai kok! Tapi salat dulu biar nyaman," Arjuna mencomot satu kentang goreng milik Sahal. "Yang tadi itu, temen satu jurusan?"

Sahal sudah menduga, Arjuna akan bertanya demikian. "Hm, kenapa?"

"Kok gue baru tau?"

"Ya kan elo nggak setingkat sama gue, Bang. Wajar dong kalau lo nggak tau siapa aja temen gue," sambung Sahal.

"Namanya siapa sih tadi? Gue nggak tau," tanya Arjuna.

"Kamila."

Arjuna memicingkan mata, "Kenapa nadanya ketus banget? Lo naksir Kamila ya? Makanya nggak mau gue tanyain soal dia?"

"Enggak, Bang. Gue lagi baca nih! Lo malah mengganggu konsentrasi gue yang tersisa beberapa menit ini, habis ini gue harus kerja," balas Sahal.

Arjuna berdeham. Selain Sadewa, Sahal ini juga pecinta buku. Tidak heran sih. Memang dia yang mengganggu Sahal. "Ya udah, gue tinggal salat dulu,"

"Hm," akhirnya dia bisa membaca lagi dengan tenang. Namun lima menit kemudian, Sahal menyudahi bacaannya dan bergegas pergi bekerja.

•••••

Nakula melirik Romeo tanpa minat. Kemarin, tidak ada halangan apapun dari musuhnya itu. Romeo terpantau tidak ada di rumah bibinya pada hari Sabtu dan Ahad, sehingga aman-aman saja.

Kegiatan berbagi kolak juga lancar. Keluarganya menerima ucapan terima kasih serta pujian yang bertubi-tubi. Romeo yang mendengar cerita bibinya, tentu saja tidak senang.

Sekarang saja, Romeo memandang sinis Nakula sembari bergumam, "Ya gitu kalau diadopsi orang kaya—kedapatan nama, padahal nggak ngapa-ngapain, uang juga punyanya orangtua."

Nakula mengernyit, ini orang nyindir ke dirinya sendiri atau gimana?

Berhubung kelas sudah berakhir, Nakula beranjak secepat mungkin. Dia harus pergi sebelum amarahnya tersulut lagi. Beberapa hari belakangan, dia berhasil meredam emosinya berkat bantuan Sahal.

"Kalau ngerasa emosi, istigfar sama ingat-ingat ya, mengeluarkan emosi yang percuma, bisanya bikin hati dan pikiran lo capek sendiri. Jadi tenang aja oke? Ingat! Memendam amarah itu salah satu cara memperbaiki diri sendiri."

Berbekal kalimat tersebut, Nakula jadi malas mengeluarkan emosi berlebih di hadapan Romeo. Dia tidak pernah cari gara-gara lho! Tapi diseret-seret terus.

"Udahan lah, Rom," salah satu teman Nakula, Resha mengurai atmosfer mengerikan yang muncul dari diri Romeo. "Lo tuh kayak anak kecil tau nggak? Lo nggak sadar kalau selama ini jadi perbincangan atas tingkah kekanakkan lo itu? Kenapa cari gara-gara sama Nakula terus sih?"

Romeo memberengut marah, sedangkan Nakula menjulurkan lidahnya—merasa menang sebab bukan dia saja yang muak. Teman-teman satu angkatannya yang sudah bosan dengan drama persaingan buatan Romeo juga mengeluarkan suara.

Resha melirik Nakula, sebal karena pemuda itu memasang tampang sombong. Dia tidak mau membela, namun keberadaan Romeo yang cari ulah itu membuatnya kesal setengah mati.

Dosen yang ditunggu sudah datang. Pada detik itu, Romeo duduk bersama dua temannya. Nakula menghela napas lega. Setidaknya dia bisa mengikuti materi tanpa sosok Romeo di dekatnya.

Namun sampai hari ini, Nakula masih penasaran; apa yang membuat Romeo menaruh benci padanya sampai begitu besarnya?

•••••

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!