"Eits! Maaf, Tante, saya lagi sakit dan butuh duduk yang nyaman, jadi saya duduk di sebelahnya Papa."
Laura memelototi Nakula yang cengegesan menduluinya. Tadinya, dia ingin mencari kesempatan, sekaligus membayangkan jika dirinya sudah menjadi istri Harsa dan duduk di sampingnya. Tidak taunya, malah dua anak Harsa yang terkenal keras kepala dan suka menyindir itu ikut-ikutan segala.
Terpaksa, Laura duduk di bagian tengah bersama Sadewa yang asyik membaca buku padahal mobil belum sepenuhnya melaju. "Kamu nggak pusing baca buku terus, Wa?" tanya Laura sok akrab.
Sadewa melirik sekelas, "Lebih pusing lagi kalau saya ngelihat orang nggak tau diri, Tante."
Laura cemberut. Bercakap dengan Sadewa tidak akan bermutu. Bocah yang satu itu tidak pernah ragu dalam berkata-kata—itulah mengapa Laura paling tidak menyukai Sadewa. Kalau bisa ditukar tambah, Laura akan menukar Sadewa dengan salah satu anak panti yang lebih penurut dan polos. Iya sih, Harsa dapat yang pintar, tapi saking pintarnya selalu membuat Laura kesal.
Di kursi depan, Nakula tersenyum puas. Terkadang, menghabiskan waktu bersama mulut pedas Sadewa yang menghajar seseorang, sangatlah menghibur. Lumayan, daripada pikirannya dipenuhi keganjilan atas sikap Romeo.
Dua menit perjalanan, terdengar lantunan nasyid yang sangat digemari oleh seluruh anggota keluarga Gulzar. Laura mendengus kesal. Dia tidak suka lagu beginian. Sukanya yang menggebu-gebu, dangdut koplo juga boleh—apa saja daripada yang aura religinya menguar seperti ini.
"Kalian berdua turun di kampus kan?" tanyanya pada Nakula dan Sadewa. Harsa melirik dari spion tengah, mengetahui maksud atas pertanyaan Laura. "Bentar lagi dong, ya?"
"Enggak tuh!" Nakula menyahut. "Saya mau ngikut Papa, soalnya muka saya masih kayak gini, Tante."
"Ha? Kamu nggak kuliah?"
Nakula menengok, menunjuk kelopak mata kirinya yang agak membengkak. "Saya nggak bisa ngelihat dengan jelas kalau kayak gini, Tante. Jadi saya ngikut Papa aja,"
"Cih! Kalau sakit tuh di rumah aja, istirahat! Jangan kayak anak kecil ngikut orang besar mulu!" Gerutu Laura.
"Di mata saya, mereka masih anak kecil, Laura." Sambung Harsa, sengaja menambahkan. Sedangkan Nakula dan Sadewa diam-diam terkikik.
"Lho, makanya mereka manja-manja gini, Mas! Kamu gitu sih!"
Nakula dan Sadewa melayangkan tatapan tajam. Menyadari hawa dingin tertuju pada dirinya, Laura meneguk ludah. Dia cuma ditatap oleh krucil-krucil pengganggu, semestinya tidak terusik. Akan tetapi, dia malah mengalihkan pandangan ke luar mobil.
Harsa tersenyum pelan. Ada dua anaknya yang berhasil menghibur paginya. Bila Nakula serius dengan perkataannya untuk tidak pergi ke kampus, justru dia senang. Tidak masalah meski harus mengekorinya ke mana saja.
"Pa?" Panggil Dewa.
"Hm? Ada apa?"
"Bisa berhenti di depan toko buku dulu? Dewa perlu isi binder baru," kata Dewa.
"Oh, iya, bentar," toko buku yang dituju masih dua belokan lagi. Laura menaruh harap, semoga dua pengganggu itu cepat turun sehingga dia bisa duduk di samping Harsa dan berlagak sebagai Bu Harsa—hahahahaha!
Sayangnya begitu tiba di toko buku, hanya Sadewa yang turun. Nakula bersandar santai sambil menyenandungkan lagu Maher Zain.
Laura menoel lengan Nakula. Kesalnya, reaksi Nakula berlebihan sekali. Kaget seperti ditoel setan. "Kamu nggak ikutan turun?"
"Lha? Kan yang mau beli si Dewa, bukan saya, Tante." Usai berkata, Nakula kembali bersenandung. Laura geram. Ingin sekali melipat Nakula jadi satu dan melemparnya ke Samudra Pasifik.
"Uangnya udah ada, Wa?" tanya Harsa penuh perhatian.
"Alhamdulillah jatah bulanan masih ada banyak, Pa. Tenang aja, Dewa nggak boros-boros amat kok!"
Harsa mengangguk kalem. Selama ini, sistem uang saku yang diberikan kepada anak-anaknya berupa jatah bulanan. Diberlakukan supaya mereka bisa mengatur pengeluaran sebaik mungkin, menggunakannya dengan pemikiran matang.
Bukan karena pelit, Harsa hanya ingin mengasah kesanggupan mereka perihal ekonomi. Banyak anak muda yang hidup boros dan lupa bahwa ada sebagian orang bersusah payah mendulang rezeki tak sebanyak yang lain.
Dari kelima anaknya, Arjuna dan Sahal sudah cukup dewasa dalam menentukan pengeluaran dan semacamnya. Maka dari itu mereka memutuskan untuk mencari kerja sambilan. Harsa mendukung apapun keputusan anak-anaknya. Jika mereka ingin membantu di pabrik atau memasok bahan makanan, Harsa akan menyambutnya dengan senang hati.
Akan tetapi, semua memiliki cita-cita yang berbeda dengan pemikiran berbeda. Pemaksaan tidak ada dalam kamus hidupnya—kecuali untuk kebaikan, bila ada.
"Kamu masih kasih mereka jatah bulanan, Mas?" Laura berkomentar.
"Iya."
"Kok gitu sih? Yang ada mereka malah senang karena jatah bulanan dari Mas Harsa itu pasti banyak, iya kan?" cetus Laura.
Nakula menyahut, "Alhamdulillah banyak, Tante. Saking banyaknya, kadang saya bingung mau dibuat beli apa."
"Wah? Papa kamu ngasih duit banyak banget ya?" Laura menyipitkan mata ke arah Harsa. "Mas? Kenapa kamu nggak kasih Papi, Mami sama aku jatah bulanan? Itung-itung membantu yang membutuhkan kan?"
Nakula melongo. Tak percaya dengan saran mencengangkan yang keluar dari mulut Laura. Harsa yang sudah pernah mendengar saran ini lebih dari sekali, hanya mampu mendengus lelah lagi.
"Tante Laura membutuhkan?" tanya Nakula disertai nada memojokkan. "Memangnya rumah yang Tante tinggalin mau roboh atau terbuat dari bambu?"
"Ck! Ya enggaklah—"
"Lha terus membutuhkannya dari mana?" tukas Nakula. "Membutuhkan buat beli barang branded?"
Bodohnya, Laura malah menggangguk semangat. "Eh?" Sadar dengan tingkahnya barusan, Laura langsung menggeleng. "Enggak ya! Kamu jangan asal tuduh!"
"Lah? Yang nuduh juga siapa? Orang Tante Laura sendiri yang jujur kok!" Nakula memonyong-monyongkan bibirnya, menirukan Laura.
"Jadi," Laura tetap bersikeras. "Gimana, Mas? Saran dariku tadi, Mas Harsa setuju kan?"
Beberapa detik dikuasai keheningan, sebab Harsa mencari kalimat yang tepat. Di sebelahnya, Nakula mengamati sang papa yang kebingungan. Nakula menyayangkan mengapa anggota keluarga almarhumah mamanya yang tersisa modelan begitu semua—worshiping money.
"La—"
"Pa! Berhenti di kafe sana, Pa!"
Seruan Nakula membuat Harsa tak sengaja mengerem mendadak. Laura yang tidak siap di belakang, terantuk kursi Nakula sampai badannya maju dan tenggelam di ruang kosong antara kursi depan dan tengah. "Aduh!"
Sebelum Harsa melihat dirinya dalam posisi menyedihkan, segera saja wanita itu kembali pada duduknya. Berdeham, memperbaiki rambut panjangnya yang di-curly sampai dua jam lamanya.
"Kamu mau ke kafe ini?" tanya Harsa usai memarkirkan mobilnya.
"Hm, Nakula pengin kopi lagi, Pa."
"Gitu? Ya udah, Papa ikut turun, sekalian beli camilan."
"Loh? Loh? Aku ditinggal?"
Laura kelimpungan membuka pintu mobil untuk mengikuti Harsa dan Nakula yang sudah turun duluan tanpa pemberitahuan.
Melewati pintu masuk, tak sengaja Harsa berpapasan dengan seseorang dan lengannya yang membenahi kerah mengenai minuman milik orang tersebut.
"Astagfirullah,"
Harsa gelagapan, dia tidak menumpahkan sepenuhnya ke lantai, tetapi ke gamis hijau muda milik orang yang berpapasan dengannya. "Ma-maaf, Mbak, lengan saya kayaknya kepanjangan,"
"Ha?"
Perempuan berhijab itu mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, lalu tertunduk dengan bahu bergetar. Harsa memicingkan mata, heran. Begitu pula dengan Nakula yang tidak paham mengapa perempuan itu tertawa—iya tertawa!
Sementara itu, Laura masih ketinggalan di luar. Sibuk memperbaiki penampilan bercerminkan mobil Harsa.
"Mbak? Kenapa?" tanya Harsa ragu.
Perempuan itu mengangguk pelan. "Iya, baru kali ini saya dengar alasan lucu kayak gitu."
"Lucu?"
"Iya," perempuan itu memandang gelas minumannya. "Alasannya bukan karena nggak lihat saya atau nggak lihat jalan, tapi karena lengannya Bapak kepanjangan."
Nakula menyadari lebih dulu, sontak menahan tawa. Memang, terkadang papanya itu bisa konyol juga. Harsa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ka-kalau gitu, tunggu sebentar ya, saya ganti dulu minuman—"
"Nggak usah, Pak!" Seru perempuan itu, menilik arloji ungu mudanya. "Saya harus ngurus sesuatu, terus tumpahannya nggak banyak kok! Saya pamit dulu, maaf karena nggak ngelihat lengannya Bapak yang panjang itu. Wassalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam ...."
Perempuan itu berlari secepat kilat. Meninggalkan Harsa yang tergagap karena perkataan tadi terdengar agak menggelikan. Di sampingnya, Nakula terkekeh.
"La?"
"Hm? Ada apa, Pa?"
"Papa makin tua ya?"
"Ha? Hahahaha~"
•••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments