Runut Kejadian

Setibanya di Puskesmas, Harsa bergegas menghampiri Nakula yang sudah dikelilingi oleh tiga saudaranya dan seorang perempuan berdiri di sudut ruangan. Hanya sosok Sahal yang belum terlihat, sebab pemuda itu sedang sibuk-sibuknya.

"Nakula?" Harsa mendekat. Hatinya nyeri sekali melihat kondisi sang anak yang babak belur. "Kamu kenapa bisa kayak gini, La?"

Nakula tersenyum simpul. "Cuma kepeleset, Pa."

"Kepeleset dari mananya sih, La?" Harsa memukul pelan pundak Nakula. "Mana ada kepeleset mukanya jadi ungu semua gini?"

"Ya kan kepelesetnya langsung menghadap lantai, Pa."

"Nggak sekalian menghadap ilahi, La?" Celetuk Sadewa. Semua tau kalau Sadewa cuma menyindir Nakula yang sok kuat, jadi tidak ada yang memelototinya. "Kenapa baru kabarin sekarang sih? Nggak adil lo, La! Malah hubungin Bang Jujun dulu."

Arjuna duduk di salah satu kursi plastik, sedang mengunyah apel bawaan Sadewa dari rumah. Dia hanya meringis saat ditatap oleh sang papa. Sedangkan Hamdan berdiri di dekat pintu masuk, memandang para saudaranya setengah sadar.

"A-anu, permisi ...."

Resha memberanikan diri untuk bersuara, tentunya mengundang tatapan dari keluarga Gulzar. "Sudah jam segini, saya boleh pamit pulang dulu?"

"Ah," Harsa tersenyum simpul. "Mbaknya temannya Nakula ya? Terima kasih sudah bantuin Nakula sampai ke sini ya, Mbak. Maaf, saya nggak bisa balas apa-apa."

"Nggak apa-apa kok, Om! Kebetulan aja, pas kejadiannya, saya lagi sama Nakula, kalau begitu, saya pamit pulang dulu, Om."

"Rumahnya di mana? Sebentar ya, saya panggilkan sopir saya buat ngantar Mbaknya pulang." Harsa mengeluarkan ponselnya.

Resha membelalak. "Eh? Nggak usah, Om! Sepupu saya sudah nunggu di depan. Terima kasih buat tawarannya, tapi saya sudah ditunggu sekarang."

"Oh, gitu ya?" Harsa kembali tersenyum. "Kalau begitu hati-hati di jalan ya! Sekali lagi, terima kasih karena sudah membantu anak saya."

"I-iya, Om. Permisi~"

Resha keluar secara perlahan dari IGD. Begitu berada di luar, dia mengembuskan napas. Gugup luar biasa. Resha tau kalau Nakula punya ayah yang masih muda, tapi dia tidak tau kalau awet mudanya bisa semendebarkan itu.

"Pantesan kalau di kampus banyak banget yang nawarin diri buat dari sugar baby-nya Om Harsa." Gumam Resha. "Tapi gue berani yakin sih ini, Om Harsa bukan tipikal sugar daddy yang mau nanggepin cewek-cewek nggak jelas gitu. Usaha mereka sia-sia. Ck! Kasihan kasihan kasihan~"

Sementara itu, kembali ke IGD. Harsa menghampiri dokter yang merawat Nakula. Setelah bertanya lengkap, Harsa memandang anaknya yang mempunyai kesabaran setipis tisu itu dengan raut tak dapat diartikan. "Luka yang kena knalpot, Papa nggak tega ngelihatnya, La."

"Nakula cowok, Pa. Jangan nggak tegaan gitu ah!"

Tak habis pikir dengan sikap santai Nakula, Harsa mencubit lengan kanannya yang baik-baik saja. "Sekarang cerita ke Papa," Harsa dalam mode serius. "Apa yang terjadi, La? Kenapa kamu bisa kayak gini?"

Nakula memandang sekitar—terlebih pada Arjuna yang sudah mendengar cerita keseluruhannya dari Resha. Dipandang begitu, Arjuna malah beralih pada cicak yang berjalan di langit-langit IGD.

Mau tak mau, Nakula menceritakan semuanya. Sebab dia pun enggan membuat keluarganya cemas.

"Jadi ...."

•••••

Nakula mengernyit heran. "Garangan mau ngapain lagi ini?"

Romeo berdecak. Turun dari motor Nakula dan menghampiri dengan wajah sombongnya. Di samping Nakula, Resha harap-harap cemas. Mengedar pandang untuk memastikan keadaan—sayangnya malah tidak ada orang yang lewat sama sekali.

"Jangan sombong, Nakula!" Peringat Romeo yang mengundang tanda tanya dari Nakula dan Resha. Batin Nakula, ini orang mengeluarkan kata-kata mutiara untuk diri sendiri gitu?

"Ini lo mau ngapain lagi deh?" Nakula berjalan santai melewati Romeo. Begitu juga dengan Resha, yang kebetulan keberadaan motornya tidak jauh dari tempat Nakula.

Melihat betapa santainya Nakula ditemani Resha, Romeo geram. "Ck! Lo tuh kalau nggak dikasih pelajaran, bakalan tetep sombong!"

"Mau lo apa sih? Gue sombong? Okelah! Terserah lo mau ngatain gue sombong dan segala macamnya. Tapi masalah utamanya itu apa? Gue nggak pernah cari gara-gara sama lo!" Amarah Nakula sudah tidak dapat dibendung lagi. "Lo benci gue karena apa? Hah?!"

Romeo mengepalkan kedua tangannya. "Lo mau tau kesalahan lo apa? Itu karena lo ada di sekitar gue dengan muka sok polos dan hidup enak!"

"Ha? Jadi lo minta gue buat pindah gitu?"

"Kalau pindah, nanti hidup lo enak lagi dong," Romeo menggeleng, memberi tatapan meremehkan. "Lo harus tetap di sini, tapi harus menderita!"

Nakula makin tidak paham. "Ck! Ini makin ngawur bocah satu nih!"

Saat Nakula berbalik menuju motornya dan mengabaikan Romeo, tiba-tiba saja dia diadang oleh dua orang bertubuh kurus dan penuh tato. "Eh? Apaan nih?"

"Habisin aja, Pak!" Seruan Romeo membuat Nakula dan Resha tersentak. "Nanti saya kasih imbalan kalau udah babak belur."

"Rom! Lo tuh apa-apaan sih?" Resha menarik kerah jaket Romeo. Khawatir, sebab dua pria suruhan Romeo mulai memukuli Nakula secara perlahan. Sengaja dibuat main-main, sedangkan Nakula sok bisa melawan keduanya.

Romeo menatap Resha malas, "Bukan urusan lo, Sha. Lo tonton aja tuh, Nakula yang jadi kesayangan orang-orang."

"Ha?" Resha tak mengerti. Seingatnya Nakula tidak menjadi kesayangan banyak orang seperti yang diucapkan Romeo. Nakula biasa-biasa saja. Apa karena unsur keluarga? Tapi jika karena unsur kekeluargaan, Romeo tak pantas menghadiahi Nakula dengan pukulan.

"Beraninya nyuruh orang ya lo," cibir Nakula dengan wajah yang kacau balau. "Makanya hidup lo nggak berwarna, cuma berani nyuruh orang sama sok jadi bos!"

Dikata demikian, Romeo bertambah geram. Yang tadinya sudah akan pergi, justru kembali mendekati Nakula dan melayangkan satu bogem mentah. Tidak cukup, Romeo melayangkan lagi pukulannya sehingga Nakula mundur tanpa dia sadari.

Akan tetapi, Nakula tidak menyadari jika ada sebuah motor yang melewati jalur terbuka di belakangnya. Romeo masih betah memukulinya, tidak ada tanda akan mengakhiri, seperti orang kesetanan. Jauh di belakang Romeo, Resha berteriak—memanggil siapapun yang bisa menahan Romeo. Tapi orang-orang yang bergumul, enggan turun tangan.

Saat itulah, Nakula tersungkur ke belakang, bertepatan dengan motor yang jatuh dan lengan kirinya mengenai knalpot motor tersebut. Seolah menyadari apa yang diperbuatnya, Romeo mematung begitu mendengar teriakan Nakula. Sama halnya dengan dua teman Romeo yang sedari tadi diam, sudah pergi duluan karena takut.

Resha berlari, mendekati Nakula yang susah payah berdiri. Keringat dingin membanjiri kening Romeo. Dipandanginya kedua tangan yang berdenyut-denyut, gemetar. Menyadari seluruh mata tertuju padanya, Romeo melangkah mundur. Dalam lima detik berikutnya, Romeo berlari secepat kilat meninggalkan tempat parkir—lari dari kenyataan yang diperbuatnya.

Nakula memandang kepergian Romeo penuh nanar. Sesaat sebelum Nakula jatuh bersama motor tadi, Romeo sempat menggumamkan satu hal.

"Seharusnya gue nggak ketemu lo, Nakula. Gue udah muak, setiap hari harus menghadapi kalimat-kalimat rindu yang ditujukan buat elo."

Nakula tidak paham.

•••••

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!