Nakula Kenapa?

Harsa memasang senyum seperti biasa pada Paman, Bibi, dan anak perempuan mereka yang bernama Laura. Mereka satu-satunya keluarga yang tersisa dari almarhumah istrinya. Mau tidak mau, Harsa harus tetap berlaku baik. Biarpun dulu mereka tidak pernah menganggap Harsa karena belum sesukses sekarang, namun dia tidak bisa sembarangan bersikap.

"Om, Tante, ada apa ya?" tanyanya basa-basi, padahal Harsa sudah tau apa tujuan mereka datang kemari. Tentu saja untuk memamerkan lahan yang dibeli Harsa beserta progresnya. Mereka masih menganggap Harsa sebagai menantu sendiri—sebenarnya mau menjadikan Harsa sebagai menantu mereka lagi.

"Mas Harsa," Laura berangsur maju, mendekat manja. "Tadi aku chat, kok nggak dibalas?"

"Oh, maaf," Harsa meringis. "Saya barusan sampai di sini, karena sebelumnya masih sibuk di pabrik, Laura. Saya nggak tau kalau ada chat dari kamu."

Laura mengerucutkan bibirnya, "Oke deh! Tapi sebagai gantinya, ajak kita makan di restoran mahal ya, Mas?"

Tante Hilda mengangguk semangat. Bibi dari almarhumah Mama Sekar itu juga paling semangat soal menghabiskan uang di tempat mahal. Sedangkan Pamannya, Om Bekti, tengah merekam proses pembangunan pertokoan disertai sapaan kepada para pengikutnya.

Harsa menahan diri untuk tetap ramah dan kalem. Jangan sampai goyah! Biar sekarang kesannya sangat memanfaatkan harta yang telah Harsa miliki, merekalah yang selama ini membesarkan istrinya. Tetap merawat setelah kedua orang tua Sekar pulang ke hadapan ilahi karena sebuah kecelakaan.

"Hm, tapi tunggu sebentar ya, saya masih harus ngurus beberapa hal."

Hilda dan Laura tersenyum senang. Berikutnya, Harsa pamit undur diri untuk menilik perkembangan pembangunan bersama kepala tukang yang telah menunggu di salah satu toko setengah jadi. Harsa mengembuskan napas lega. Setidaknya dia bisa menghindar selama beberapa menit.

Sementara itu, Hilda dan Laura langsung mengeluarkan ponsel. Merekam segala kegiatan seperti yang dilakukan oleh Bekti. Sedang asyik-asyiknya merekam, Laura tak sengaja mengarahkan kamera ponselnya pada sosok Harsa yang terdiam dengan tablet pada satu tangannya.

Laura menurunkan ponselnya, memandang Harsa penuh damba. "Mi, kenapa sih, Mas Harsa itu ganteng banget? Kenapa harus nikah duluan sama Mbak Sekar? Kenapa nggak langsung sama aku aja?"

Hilda mengikuti arah pandang anaknya. "Makanya itu, karena sekarang Sekar udah nggak ada, ya kamu berusaha deketin dia dong! Kamu jangan ngintilin Papi sama Mami terus! Coba deh, kamu buatin dia makan siang, atau temenin dia sekali-kali pas kerja gini. Rayu, kasih perhatian. Sekuat-kuatnya iman yang dia punya, laki-laki itu bakal luluh sama perempuan yang udah nemenin dia terus dan perhatian. Jangan lupa pakai baju yang seksi, biar dia nambah tertarik. Laki-laki kayak Harsa tuh, masih kuat, dia pasti butuh seseorang buat melampiaskan hasratnya, Laura."

Laura manggut-manggut mendengarkan petuah maminya. Dulu, saat pertama kali melihat Harsa dan Sekar menikah, dia biasa-biasa saja. Kala itu Harsa bekerja di salah satu perusahaan start-up yang gajinya pas-pasan. Tapi, siapa yang bakal menyangka jika semua itu hanya kedok semata?

Harsa mempunyai warisan yang tak ternilai jumlahnya, lalu digunakan untuk merintis pabrik dari nol, serta bekerja sama dengan banyak pemasok bahan makanan secara perlahan. Sekarang, pria itu sangat sukses. Entah berapa penghasilan yang diraup setiap bulannya. Laura cuma tau, pasti jumlahnya bukan main.

Apalagi, Harsa bertambah ganteng seiring bertambahnya aset yang dimiliki pria itu. Masalahnya, ada satu halangan terbesar—bukan, ada lima. Adalah anak-anak angkatnya yang sudah seenaknya memasuki hidup Harsa dan mengeruk kekayaan Harsa secara perlahan. Padahal, mereka berlima tidak pernah berniat buruk meski Harsa selalu memanjakan dengan fasilitas dan uang yang ada.

"Yang penting, aku harus bisa mencuri hatinya Mas Harsa. Kalau Mas Harsa suka sama aku, kan lima krucil itu pasti nurut-nurut aja, karena hidup mereka juga bergantung sama Mas Harsa. Iya kan, Mi?"

Hilda mengangguk, "Kamu nggak usah ngurusin kerikil-kerikil itu, Laura. Fokus aja buat menggoda si Harsa."

Tak lama kemudian, Harsa datang. Menepati janji untuk membawa mereka makan bersama. "Mari, Om, Tante, Laura, saya sudah booking meja di Delly."

Ketiga manusia itu melonjak senang saat mengetahui tujuan makan mereka kali ini sebuah restoran ternama. Dengan tidak tau dirinya, Laura duduk di samping kemudi. Harsa mendengus pelan. Semakin cepat sampai tujuan, semakin baik.

"Ayo!" Seru Laura tak sabar.

Baru saja menghidupkan mesin mobil, ponsel Harsa bergetar panjang—tanda adanya panggilan masuk. "Sebentar,"

Laura sempat melirik nama si pemanggil, dia langsung cemberut.

"HA?!"

Seruan Harsa membuat ketiga penumpang di mobilnya tersentak. Namun ucapan yang dilayangkan Harsa lebih mengejutkan.

"Maaf," nada suara Harsa penuh kekalutan tapi pengusiran menyertainya. "Bisa kalian semua keluar dari mobil saya dulu? Sekarang anak saya lebih membutuhkan saya daripada kalian."

•••••

Arjuna memarkir motornya secepat kilat, lalu menuju IGD di Puskesmas dekat rumahnya. Baru saja merebahkan tubuh setelah beres-beres dan menilik bunga yang mekar di taman, tiba-tiba saja dia mendapat panggilan masuk dari Nakula yang tak kunjung pulang.

Anehnya, saat panggilan tersambung, bukan suara Nakula yang menyapa pendengaran. Namun seorang perempuan, disertai kekhawatiran yang menjadi-jadi. Begitu diberitahu, Arjuna bergegas ke Puskesmas dekat rumahnya.

Di sinilah dia sekarang, memandang sang adik yang terbaring dengan luka lebam luar biasa di seluruh wajah dan ada bekas mengerikan pada lengan kirinya.

"Lo kenapa? Kecelakan?" tanya Arjuna. Luka yang diderita Nakula tidak bisa dianggap enteng. "Ini kenapa tangan lo yang satunya kayak gini? Ini kayak kebakar, La,"

"Yang itu kena knalpot, Kak." Ujar seseorang yang rupanya sudah menemani Nakula sedari tadi.

Arjuna mengerjap, "Oh, lo temennya Nakula? Bisa minta tolong dijelaskan, adek gue kenapa?"

Resha menatap Nakula, seakan meminta izin. Akan tetapi yang ditatap malah melengos entah karena apa. Resha mendengus lelah. Mau tak mau, dia menceritakan segalanya. Mulai dari berhadapan dengan Romeo dan dua temannya di tempat parkir, sampai Nakula terbaring di salah satu ranjang pesakitan Puskesmas—ngenyel tidak mau dibawa ke rumah sakit.

Arjuna menganga. Baginya, cerita yang baru didengarnya itu tidak masuk akal. Dalam artian, buat apa melakukan semua kekacauan itu sampai membuat Nakula jadi begini?

"Sekarang, di mana anaknya?" Arjuna beranjak, dipenuhi amarah. "Gue bakal minta pertanggungjawaban!"

"Weh? Nggak usah, Bang!" Cegah Nakula. "Udahlah, nggak perlu cari-cari dia segala. Gue muak lihat mukanya, jangan dicariin juga!"

"Tapi dia yang udah bikin lo luka kayak gini, La!" Arjuna menggeleng. Tak habis pikir, mengapa di saat begini, amarah Nakula tidak meledak-ledak. "Seenggaknya orang itu harus tau kalau keadaan lo nggak baik-baik aja, La."

"Orangnya udah tau, Bang. Lagian dia ada di depan gue tadi,"

"Lo terima begitu aja, La? Luka-luka kayak gini?"

Nakula terdiam. Dalam situasi biasa, tentunya dia sudah seperti gunung berapi meletus. Mulutnya pasti tidak bisa diam dan ingin sekali menghajar siapapun yang melintas di depannya.

Akan tetapi, Nakula teringat dengan bisikan Romeo yang tak sengaja didengarnya saat terkena knalpot tadi. Sebuah kalimat yang mampu menjelaskan mengapa laki-laki itu membencinya.

•••••

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!