Ronda Malam

Meskipun salah satu anggota keluarga Gulzar baru saja dirundung masalah, Arjuna dan Sadewa tak dapat mengabaikan tugas mereka untuk membersamai bapak-bapak yang lain dalam penjagaan pos ronda.

Dalam perjalanan menuju pos ronda, keduanya membahas kejadian yang menimpa Nakula. Arjuna menghela napas berat, ngeri juga melihat luka melepuh yang diakibatkan oleh knalpot. "Gue nggak bisa bayangin betapa panasnya kena knalpot, Wa."

"Berarti Nakula tangguh tuh, bisa nahan luka yang dia dapat dari kena knalpot, terus nggak mau memperpanjang masalah dengan dibawa ke kantor polisi."

Tadinya Arjuna mau menyumpal mulut Sadewa karena berceletuk yang tidak-tidak. Namun mendengar kelanjutannya, Arjuna mengiyakan dalam hati. "Kenapa sih, Nakula nggak mau bawa urusannya ke kantor polisi?" herannya.

Sadewa mengendikkan bahu. "Mungkin ada sesuatu yang cegah dia, Bang? Aneh juga sih, soalnya kita semua tau seberapa pendek sumbu kompornya si Nakula."

"Tapi kenapa gitu lho? Orang dia suka nyebut-nyebut polisi kalau ada masalah," Arjuna membenarkan sarung yang melingkari lengannya.

"Gue cuma nggak sanggup bayangin gimana panasnya api neraka, Bang." Kata Sadewa, membuat Arjuna merinding seketika.

"Kenapa bahas neraka, Wa?"

"Ya karena gue inget luka knalpotnya Nakula," Sadewa menggenggam senternya erat-erat. "Itu aja karena kena knalpot—bukan api langsung. Kita kena korek api aja udah kayak cacing kepanasan, apalagi disiksa di neraka—wahh kenapa jadi nyeremin gini ya?"

"Lo sih, pakai bahas neraka segala," Arjuna meringis. "Ya tapi bener sih, udah gitu neraka apinya warna hitam, nggak terima merah atau biru kayak kompor, tapi hitam! Duh! Makasih udah ngingetin topik yang satu itu, Wa."

Entah tulus atau tidak, Sadewa memikirkan hal lain. Membayangkan bagaimana kehidupan setelah dunia, dia sering termenung dan melupakan sekitar. Bahkan sekarang, berjalan setengah melamun.

Arjuna menyenandungkan satu nasyid kesukaannya, lalu menyadari Sadewa yang tertinggal di belakang. "Wa? Lo lagi mikirin utang negara?"

Sadewa tersadar. "Sorry, Bang. Gue nggak konsen jalan,"

Memang ada-ada saja ucapan nyeleneh dari si paling pintar itu. Beberapa langkah kemudian, keduanya tiba di pos ronda. Sebelahnya berdiri warung kopi yang diisi oleh tiga pembeli dan ibu pemilik warung.

"Wah! Mas Arjuna sama Mas Sadewa udah datang," seru si pemilik warung—Bu Lilik. "Mau kopi yang mana?"

"Kayak biasa, Bu. Hitam pekat seperti gelapnya malam. Hehehe~" Arjuna nyengir.

"Saya teh tawar aja, Bu." Ucap Sadewa, tidak terlalu suka yang manis-manis.

"Siap! Kalian duduk manis aja sama bapak-bapak yang lain! Ini gorengannya juga masih panas, baru mateng."

Arjuna mencomot satu tempe goreng setengah panas yang langsung dilahap tanpa ragu. Dari lima saudaranya, memang Arjuna yang tahan panasnya makanan.

Sadewa menilik tahu isi, tapi tak diambilnya. Sebab dia sedang mengurangi makanan berminyak. Maka dia duduk duluan bersama Pak Yogi dan Pak Prapto yang mengobrol santai sambil merokok. Sedangkan Arjuna sibuk memilih gorengan.

"Ada Nak Dewa," Sadewa menyalami dua orang tersebut penuh sopan santun. Pak Yogi bertanya, "Kuliah lancar, Nak?"

"Alhamdulillah lancar, Pak."

"Kamu itu les di mana, Wa? Kok bisa pintar banget? Bukannya kamu pernah menang olimpiade di luar negeri itu ya?" tanya Pak Prapto penasaran.

"Alhamdulillah enggak les, Pak. Dan ... iya, itu saya."

Arjuna duduk di sebelah Sadewa setelah memberi salam. Dia membawa sebuah piring plastik yang berisikan aneka macam gorengan. Sadewa menganga, "Ini semua lo habisin sendiri, Bang?"

"Iyalah!" Arjuna menghabiskan tempe keduanya. "Mau? Pak Yogi, Pak Prapto? Mau gorengan? Nanti kalau kurang, saya ambil lagi."

Pak Yogi menggeleng, "Kami udah kenyang, Nak. Makan kamu aja, tapi habis ini jangan tidur ya?"

Arjuna tertawa lebar. Salah satu kebiasaan yang telah dihafal mengenai Arjuna saat pos ronda, dia seringkali makan banyak lalu tertidur tidak lama setelahnya.

"Jam sebelas nanti, Arjuna sama saya, Sadewa sama Pak Prapto ya? Saya ke barat, kalian ke timur." Kata Pak Yogi seraya menunjuk denah Perumahan Seroja yang tertempel rapi di salah satu dinding Pos Ronda.

"Siap, Pak!" Seru Arjuna, sedangkan Sadewa hanya mengangguk patuh.

•••••

"Sekarang Arjuna sibuk apa?" tanya Pak Yogi dalam langkah pelan mereka mengawasi sisi barat perumahan.

Arjuna menutup mulut, menahan kuap yang menjadi-jadi. Benar saran Sadewa tadi. Kalau tidak lekas berkeliling, bisa dipastikan dia akan terlelap di pos ronda. Sekarang saja kantuk mulai datang.

"Oh, saya, Pak?"

"Hm, beneran ngantuk kan kamu,"

"Hehehe, saya sekarang masih di kafe, Pak. InsyaAllah kalau nggak ada halangan, setelah kelulusan saya bakalan ke pabriknya Papa." Biarpun mengantuk, dia harus tetap menjawab pertanyaan tadi.

"Oh, tapi Papa kamu itu hebat lho, Jun. Saya salut sama perjuangannya pas masih muda dulu, pas baru nikah sama almarhumah Mama kamu."

Mendengar perkataan Pak Yogi, mendadak kantuk yang mendera Arjuna pun hilang. Papa Harsa dan Mama Sekar. Satu topik paling menarik yang mampu mencuri fokusnya dari apa saja.

"Pak Yogi tetangga pertamanya Papa sama Mama kan?" tanya Arjuna.

Pak Yogi mengangguk, tampangnya sudah seperti Tok Dalang yang mau berbagi cerita ke Upin dan Ipin. "Saya ingat, dulu hubungan mereka nggak disambut baik sama keluarganya Sekar sebagaimana semestinya. Paman sama Bibinya memandang rendah Papa kamu karena dari keluarga biasa yang kerjanya juga cuma kerja kantoran biasa. Tapi sekarang ...."

"Tiap pekan bingung ke sini cuma buat pamerin hartanya Papa," Arjuna manggut-manggut. "Malah, kayaknya Tante Laura ngebet banget mau jadi mama sambung buat kami—ya alasannya sih gitu, saya sendiri nggak tau apa motif utamanya, Pak."

Pak Yogi terkekeh, teringat masa lalu. "Padahal, dulu Laura itu ya, ngelirik Papa kamu aja nggak mau lho! Sekarang, ngebet pengin jadi istrinya.

"Tapi ya namanya aja manusia, Jun. Manusia itu lemah sama harta duniawi. Saya bukannya mau menjelek-jelekkan ya, tapi contoh mutlaknya udah ada—Paman, Bibi, sama Laura. Mereka mendekati Papa kamu karena mau hartanya.

"Apalagi si Laura, tau kalau Papa kamu nambah ganteng, glow up! Eh, dia langsung ikutan up buat mengganti posisi Sekar. Ya nggak bisa!"

Arjuna terkekeh. Melihat ekspresi Pak Yogi, dia jadi ingin tertawa. Memang benar. Tante Laura yang berpenampilan mencolok itu ingin sekali menjadi bagian dari keluarga Gulzar. Sayangnya, tidak ada dari anggota keluarga mereka yang setuju. Terutama Arjuna dan empat saudaranya yang mengetahui perangai wanita itu.

Pemuda itu termenung, mengarahkan senternya tanpa minat. Baginya, Papa Harsa dan Mama Sekar merupakan orang tua terbaik yang pernah ada dalam hidupnya beserta empat saudaranya yang lain.

Tanpa mereka, mungkin Arjuna tidak bisa menikmati momen menyenangkan nan indah yang telah dirasakannya sampai pada detik ini. Allah Maha Baik. Berkenan memberi kehidupan layak bagi Arjuna yang terpupuk begitu banyak dosa.

Di tengah rasa syukur yang memenuhi dada, Arjuna merasakan sebuah tepukan pada lengan kirinya. "Jun," bisik Pak Yogi, menyorotkan senternya pada salah satu rumah kosong yang belum terjual.

"Ha? Iya? Ada apa, Pak?" Arjuna ikut-ikutan berbisik. "Ada maling?"

"Kamu dengar suara nggak?"

•••••

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!