"Papa? Nakula?"
Sahal memejamkan mata. Mengapa pula mereka harus memergokinya saat terlibat suatu masalah? Sahal tidak ingin terlihat tidak becus di mata papanya. Akan tetapi, untuk masalah yang satu ini, dia yakin letak kesalahan bukan berada pada dirinya.
Harsa memandang anak keduanya dari kejauhan. Diam, berdiri di samping Koh Lim seolah-olah tidak mengenal sosok Sahal. Sama halnya dengan Nakula yang mengendikkan bahu, memberi sinyal bagi Sahal berupa anggukan singkat—semuanya baik-baik saja.
Wanita yang menyalahkan Sahal itu masih menyerocos, menggebu-gebu seakan tidak ada hari esok. Emosinya benar-benar meledak. Sahal sempat berpikir, wanita itu sedang mengalami masa sulit, lalu berkesempatan untuk melontarkan unek-uneknya saat ini. Makanya, Sahal memutuskan untuk diam saja.
Koh Lim berusaha menenangkan. "Tenang, Bu. Saya mohon tenang dulu ya? Mari kita bicarakan sama-sama soal kekeliruan yang ibu maksud." Mata sipit beliau tertuju pada Sahal. "Sahal? Apa benar kamu yang melayani pembelian ibu ini tadi?"
"Saya—"
"Dia ngakunya nggak melayani tukang saya, Koh."
Koh Lim menutup mata sejenak, lalu menghampiri Sahal. "Boleh saya lihat buku catatan pembeliannya, Sahal?"
Sahal menyerahkannya, "Ini, Koh. Waktu pembelian cat dengan warna yang dibeli ibunya, sekitar hampir setengah sepuluh."
"Hm, terus?"
Sahal berdeham, menuding nama yang melayani pesanan tersebut pada kolom pelunasan. "Di sini, tertulis nama saya yang melayaninya, Koh."
"Kamu? Jam seginian?" Koh Lim berbalik, mencari sosok yang biasanya bertugas untuk membagi shift para karyawan. "Hari ini, Sahal dapat shift apa?"
Menyadari pertanyaan tersebut ditujukan pada seorang pria bernama Dika, lantas sosoknya mendekat dan menjelaskan. "Sahal dapat shift setelah Zuhur, Koh. Tap tadi, Sahal datang lebih awal karena mau menggantikan Mono yang harus ke rumah sakit."
"Datang jam berapa kamu?" tanya Koh Lim pada Sahal.
"Sekitar jam sepuluhan lebih, Koh." Balas Sahal jujur.
"Berarti, bukan kamu yang melayani pesanannya ibu ini, tapi kenapa nama kamu yang ditulis sana Mono?" Koh Lim menggeleng. Dipanggilnya wanita yang masih marah itu, berdiri tidak jauh dari sosok Harsa. Harsa hanya mengangguk saat bertemu tatap dengan Koh Lim.
"Pa," Nakula mendekat. "Kayaknya bukan Bang Sahal ya, Pa? Bang Sahal teliti banget lho, Pa. Nggak kayak Bang Jujun atau Nakula."
Harsa hanya tersenyum kalem, "Namanya manusia itu, seteliti apapun, ya tetap bakalan berbuat salah, La. Kalaupun abangmu itu berbuat salah, ya udah, dia harus bertanggungjawab dan nggak kabur dari kesalahan yang dia perbuat itu."
"Iya, Nakula juga tau, Pa. Tapi jujur deh, menurut Papa, Bang Sahal beneran buat salah nggak? Menurut pendapat Papa pribadi nih,"
Harsa mengamati Sahal yang berada di antara Koh Lim dan wanita yang protes itu. Sejujurnya Harsa salut pada sikap anaknya yang satu itu. Masih bisa tenang dan melayangkan senyum setelah berhadapan dengan wanita tersebut.
Sementara itu, di sisi Sahal sana, Koh Lim sedang berbicara dengan wanita itu. "Untuk mengatasi kesalahpahaman yang terjadi ini, bolehkah saya meminta struk pembelian atas cat yang dibeli oleh tukangnya ibu?"
"Kenapa harus pakai struk pembelian segala? Koh Lim nggak percaya kalau saya beli di sini?" tukas wanita itu.
"Bukan begitu, Bu. Tapi tertulis nama orang yang benar-benar melayani pesanan ibu pada waktu itu, yang langsung tercatat otomatis bersamaan dengan waktu serta CCTV di kasir." Koh Lim tersenyum simpul. "Dari situ, kita bisa menyimpulkan apakah yang bersalah memang benar Sahal atau karyawan saya yang lain. Untuk urusan ganti rugi, saya akan—"
"Saya yang ganti, Koh Lim." Harsa menengahi. "Tapi, saya mau lihat siapa yang sebenarnya melayani pembeliannya ibu ini."
Koh Lim mengangguk tanpa banyak bicara. "Boleh saya lihat struknya, Bu?"
Dengan berat hati, wanita itu menyerahkan struk yang sudah dia remas-remas namun masih berada di kantong rok panjangnya.
Koh Lim menerima struk tersebut, membukanya dan meratakan kembali secepat mungkin dengan telapak tangan. Begitu terlihat nama karyawan yang melayani pembelian cat, Koh Lim mendengus pelan. Ditatapnya Sahal dan wanita itu bergantian.
"Bu, maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi toko kami. Tapi," Koh Lim menunjukkan nama yang tertera. "Bukan Sahal yang melayani pembelian ibu, melainkan salah satu karyawan saya yang bernama Mono."
Wanita itu terdiam dengan mulut sedikit terbuka. Sahal bernapas lega. Dilihatnya buku catatan pembelian. Mungkin rekannya—Mono, dalam kekalutan besar yang membuat segalanya jadi keliru. Anggota keluarga Mono ada yang masuk rumah sakit, mungkin itu penyebabnya.
"Maaf," cicit wanita yang beberapa menit sebelumnya melontarkan kalimat-kalimat sengak pada Sahal.
Sahal menoleh. Tidak marah ataupun tersinggung, justru mengangguk dan tersenyum manis. "Saya juga minta maaf, Bu."
"Lho, kamu kenapa minta maaf?" tanya si istri dari pasangan yang masih menunggu dengan sabar di meja pemesanan.
"Iya, andai saya bisa berpikir jernih dan menyelesaikan masalah ini secepatnya, mungkin Koh Lim nggak harus turun tangan kayak gini." Sahal memandang Koh Lim. "Maaf, Koh. Saya jadi ngerepotin begini."
"Kamu pinter kok, Hal. Kamu masih bisa tenang kayak gini," Koh Lim beralih pada Harsa yang tersenyum di belakangnya, fokus tertuju pada Sahal. "Untuk ganti ruginya, Pak Harsa akan menanggung semuanya ya, Bu."
Wanita itu hanya mengangguk kecil. Dia enggan memandang tiap pasang mata yang tertuju padanya setelah semua aksi protes tanpa berpikir panjangnya. Malu luar biasa.
"Oh, sebentar, Bu." Sebelum wanita itu berlalu, Sahal menyerahkan segelas air mineral. "Ibu pasti haus kan? Ini, silakan diminum ya~"
Wanita itu terenyuh dengan kebaikan dan kesabaran yang dimiliki oleh Sahal. Pasangan suami-istri yang duduk anteng itupun merasa bangga, padahal Sahal bukan anak mereka. Setelah menerima air pemberian Sahal, wanita itu mengikuti Harsa dan Koh Lim untuk ganti rugi yang akan diurus oleh karyawan lain.
Sahal sempat melihat Harsa tersenyum bangga ke arahnya. Jujur saja, dia tidak tau apakah pantas dibanggakan setelah berhasil lolos dari kesalahpahaman tadi. Dia merasa, itu cuma kekacauan kecil biasa.
"Jadi," Sahal kembali berbicara dengan si suami yang masih memegang lembaran sample warna. "Tadi kita sampai di mana ya, Pak?"
"Duh! Kamu udah punya pacar atau belum sih, Sahal? Mau saya kenalkan sama anak perempuan saya?" tawar si istri tersenyum lebar.
Sahal cuma nyengir. Tidak mampu berkata-kata kalau urusan kenal-dikenalkan seperti itu. "Tapi," si istri kembali membuka suara. "Omong-omong, tadi itu siapa ya? Itu lho, yang katanya mau ganti rugi catnya ibunya tadi, siapa tadi kata Koh Lim? Pak Harsa? Kayaknya kita nggak pernah lihat ya, Pa?"
"I—"
"Bang," Nakula datang sembari menenteng dua kopi dingin.
Sahal tergagap. "Oh, ada apa, La?"
"Udah gue duga, lo nggak bakalan seceroboh itu, Bang."
"Ini siapanya Sahal ya?" tanya si istri, penasaran sekali.
"Siang, Bu. Saya adiknya Bang Sahal, Nakula." Meski wajahnya masih dipenuhi jejak pergumulan sengit cipataan Romeo, Nakula harus tetap ramah dan sopan.
"Oh, adiknya ya,"
Nakula kembali memandang sang abang. "Bukan cuma gue, tapi Papa juga yakin lo itu teliti banget."
Sahal berusaha memberi tanda bagi Nakula untuk tidak berbicara lebih banyak. Dia tidak mau pelanggannya tau jika dirinya merupakan anak dari Papa Harsa yang sudah dikenal baik oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia yang sama.
"Oh, Pa!"
Sahal menepuk keningnya. Nakula malah memanggil sang papa yang selesai berbicara dengan Koh Lim. Nakula melanjutkan, "Pa, habis ini pulang? Nggak ngajak makan Bang Sahal dulu?"
Harsa menatap Sahal. "Kamu mau makan bareng, Hal? Kalau iya, ayo! Soalnya habis ini Papa mau ke ruko buat memantau orang sana."
Sahal meringis, "Sahal masih ada pembeli, Pa. Palingan Sahal mau beli mi ayam aja. Papa sama Nakula makan berdua aja,"
Usai berkata demikian, Harsa dan Nakula pamit pergi. Sahal mengembuskan napas perlahan. Begitu melirik sepasang suami-istri di depannya, dia tersenyum manis.
"Jadi," si istri kembali dalam mode kepo. "Tadi itu Papanya ya?"
Ketahuan sudah.
•••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments